Secara kebahasaan, satr berarti “tertutup, terhijab, atau tertabiri”. Para sufi memakai istilah satr dalam dua arti: (1) jika dihubungkan dengan manusia, berarti “tertutupnya hati manusia untuk mengenal Tuhan karena dihambat sifat manusia”; dan (2) jika dihubungkan dengan Tuhan, berarti “terlindungnya Tuhan dari hati manusia karena tabir yang dipasang Tuhan sendiri antara diri-Nya dan hamba-Nya”. Antonim dari satr adalah tajali.
Dalam dunia tasawuf, tujuan akhir yang ingin dicapai seorang sufi adalah berada di sisi Tuhan sedekat mungkin dan mengenal-Nya secara langsung, bahkan tenggelam dalam kemahaesaan-Nya yang mutlak.
Menurut para sufi, Tuhan tidak hanya dikenal melalui dalil akal atau pemberitaan para nabi, tetapi juga melalui pengalaman batin. Akan tetapi, pengalaman seperti itu tidak selalu dapat dicapai manusia, karena hati manusia tertutup oleh hijab.
Imam Al-Ghazali (450 H/1058 M–505 H/1111 M) menjelaskan satr secara simbolik. Ia membagi satr menjadi tiga bentuk: (1) satr yang berupa kegelapan murni, (2) satr yang berupa campuran antara cahaya dan kegelapan, dan (3) satr yang berupa cahaya murni.
Pembagian demikian didasarkan pada hadis Nabi Muhammad SAW yang berarti: “Allah mempunyai tujuh puluh tabir penutup yang terdiri dari cahaya dan kegelapan.” Hadis ini ditulis al-Ghazali dalam karyanya Misykah al-Anwar (Relung Cahaya) tanpa menyebutkan periwayatnya.
Satr yang berupa kegelapan murni adalah alam benda dan nafsu manusia. Keduanya dikatakan kegelapan murni karena tidak terpancar sedikit pun dari keduanya sinar berupa ilmu pengetahuan dan kesadaran. Dengan demikian, orang yang tertutup kegelapan murni adalah orang yang tujuan hidupnya hanya sebatas mengumpulkan benda dan memperturutkan hawa nafsu.
Keadaan demikian diingatkan Allah SWT dalam Al-Qur’an surah al-Jatsiyyah (45) ayat 23 yang berarti: “Maka pernahkah kamu melihat orang yang menjadikan hawa nafsunya sebagai tuhannya dan Allah membiarkannya sesat dengan ilmu-Nya dan Allah telah mengunci mati pendengaran dan hatinya….” Orang yang tertutup kegelapan benda dan hawa nafsu tidak mengenal adanya hari akhirat. Al-Ghazali menyebut orang seperti ini mulhid (ateis).
Satr yang disebut sebagai campuran antara cahaya dan kegelapan adalah satr yang bersumber dari indra, khayal, dan akal manusia. Indra, khayal, dan akal pada dasarnya adalah cahaya yang dapat menerangi manusia dan membuatnya dapat mengenal Tuhan serta menjadikannya seorang yang beriman kepada Allah SWT dan hari akhirat.
Akan tetapi, cahaya itu sering kali memudar karena pengaruh nafsu, setan, sifat manusia sendiri, dan hal duniawi lainnya. Akibat pemudaran itu, tertutuplah manusia dari cahaya ketuhanan. Dalam keadaan demikianlah orang menyembah berhala dan menyekutukan Tuhan dengan sesuatu dari ciptaan-Nya.
Adapun satr yang berupa cahaya adalah cahaya ketuhanan. Menurut al-Ghazali, Nur Tuhan sendiri dapat menjadi hijab antara hamba dan Tuhannya. Dikatakannya, amat banyak orang yang tertutup satr cahaya ini, antara lain adalah sebagai berikut:
(1) orang yang benar-benar mengetahui makna sifat Tuhan, tetapi dia tidak mau mendefinisikan sifat tersebut jika tidak berkaitan dengan sifat manusia;
(2) orang yang mengetahui adanya kemajemukan di langit dan di bumi, dan mengakui bahwa semuanya itu bergerak, namun percaya bahwa gerak itu disebabkan tindakan para malaikat atas perintah Tuhan kepada mereka, sementara Tuhan sendiri, dalam pandangannya, tidak berbuat secara langsung; dan
(3) orang yang telah mencapai tajali, tetapi terlena dan luluh dengan keadaan yang dicapainya itu.
Satr merupakan hukuman yang berakibat dukacita (huzn) bagi orang awam, tetapi merupakan rahmat bagi orang khawas karena menimbulkan girah (cemburu) di dalam hatinya untuk merebut cinta Ilahi. Kalau tidak ada satr, niscaya kaum khawas tidak menjadi semakin dekat dengan Tuhan.
Karena itu, menurut para sufi, Nabi SAW senantiasa memohon ampun (istigfar) kepada Allah SWT sebanyak tujuh puluh kali dalam sehari semalam (HR. Bukhari). Istigfar yang berasal dari kata gafr, gufran, dan magfirah yang berarti “ampunan”, pada dasarnya mengandung makna generik sama dengan satr, yaitu “tertutup”.
Menurut mereka, ampunan Tuhan berarti batasan antara Tuhan dan hamba-Nya. Dengan adanya batasan tersebut, seseorang akan senantiasa berusaha mendekatkan dirinya kepada Tuhan.