Secara etimologis, al-adab al-‘Arabi berarti “segala ilmu tentang orang Arab” atau “segala bentuk sastra Arab, baik prosa maupun puisi”. Pada masa Jahiliah, arti al-adab tidak sama dengan “sastra” kini. Kata ini bisa berarti “situasi, tindakan baik, latihan jiwa, dan akhlak baik”. Menurut Ibnu Manzur (630 H/1232 M–711 H/1311 M; ahli bahasa) dalam kitab Lisan al-‘Arab, al-adab berarti “seruan terhadap orang lain untuk melakukan hal yang baik dan melarang yang buruk”.
Pada masa Islam, kata al-adab berubah arti menjadi “pengetahuan tentang sesuatu dan pendidikan”. Dari kata ini terbentuk kata al-adib yang berarti “orang yang mengetahui sesuatu” atau “pendidik”. Arti kata al-adib kemudian berkembang menjadi “sastrawan”.
Pada masa Bani Umayah, penggunaan kata al-adab berkembang terus, sehingga kata itu menjadi topik baru yang berkaitan dengan pendidikan dan pengajaran. Pada masa ini dikenal sebutan al-mu’addibun yang berarti “sekelompok guru dan pendidik yang mengajarkan syair, cerita, sejarah, masa hidup, serta keturunan bangsa Arab, kepada putra khalifah dan pembesar istana”.
Oleh karena itu, kata al-adab mempunyai dua pengertian: (1) pendidikan dan pembinaan untuk mencapai akhlak mulia dan sifat-sifat terpuji dan (2) pengajaran syair dan prosa serta yang berkaitan dengan itu, seperti sejarah dan silsilah.
Pada masa Bani Abbas (Abbasiyah), kebudayaan dan peradaban berkembang pesat sesuai dengan perkembangan wilayah kekuasaan Islam pada waktu itu. Bersamaan dengan itu ilmu bahasa Arab berkembang pula.
Arti kata al-adab tidak hanya mencakup syair dan prosa, tetapi juga segala yang berhubungan dengan ilmu pengetahuan tentang orang Arab, seperti keturunan dan kisah mereka, nahu, sharaf, balaghah, dan ‘arud (ilmu menyusun syair).
Dalam perkembangan selanjutnya, kata al-adab mengandung dua pengertian seperti yang telah dijelaskan di atas.
Pembagian Sastra Arab. Secara garis besar, sastra Arab dibagi atas dua bagian, yaitu prosa dan syair. Prosa terdiri atas beberapa bagian, yaitu: kisah, amsal (peribahasa) atau kata mutiara (al-hikam), sejarah (tarikh) atau riwayat (sirah), dan karya ilmiah (abhats ‘ilmiyyah).
(1) Kisah adalah cerita tentang berbagai hal, baik yang bersifat realistis maupun fiktif, yang disusun menurut urutan penyajian yang logis dan menarik.
Kisah terdiri atas empat macam: (a) riwayat, yaitu cerita panjang yang didasarkan atas kenyataan yang terjadi dalam masyarakat; (b) hikayat, yaitu cerita yang mungkin didasarkan atas fakta maupun rekaan (fiksi); (c) qissah qasirah, yaitu cerita pendek; dan (d) uqsusah, yaitu cerita yang lebih pendek daripada qissah qasirah.
Kisah berkembang menurut zamannya. Pada periode Jahiliah, yang berkembang adalah kisah mengenai berbagai hal yang berkenaan dengan kehidupan suku, adat, dan sifat Badui. Pada periode Islam, yang berkembang adalah kisah keagamaan, seperti cerita para nabi dan rasul yang bersumber dari kitab Taurat, Injil, dan Al-Qur’an.
Kisah yang berkembang pada periode Abbasiyah tidak hanya terbatas pada cerita keagamaan, tetapi sudah berkaitan dengan hal lain yang lebih luas, seperti kisah filsafat. Adapun pada periode modern, kisah berkembang lebih pesat lagi, karena perkembangan hubungan antara Islam dan peradaban lain yang ada di dunia Barat.
Kisah yang berkembang pada masa ini adalah cerita panjang dan bersambung, misalnya Muntakhabat ar-Riwayat (Cerita Pilihan) oleh Iskandar Kurku, Riwayah Zainab oleh Muhammad Husain Haekal (1888–1956), al-Khiyam fi Rubu’ asy-Syam (Kemah yang Terdapat di Rubu’ Suriah) oleh Salim Bustani (1848–1884), Kifah thayyibah (Perjuangan Terpuji) oleh Naguib Mahfouz (l. 1911), dan al-Ajnihah al-Mutakassirah (Sayap Patah) oleh Gibran Khalil Gibran (1883–1931).
(2) Amsal dan kata mutiara adalah ungkapan singkat yang bertujuan memberikan pengarahan dan bimbingan untuk pembinaan kepribadian dan akhlak. Amsal dan kata mutiara pada masa Jahiliah lebih menggambarkan bangsa Arab yang hidup dalam keadaan yang penuh dengan kefanatikan terhadap kelompok dan suku.
Pencipta amsal dan kata mutiara yang terkenal pada masa ini adalah Aksam bin Saifi at-Tamimi, Qus bin Sa‘idah al-Iyadi, dan Zuhair bin Abi Sulma. Amsal dan kata mutiara pada masa Islam lebih menekankan hal yang bersifat religius serta berdasarkan Al-Qur’an dan hadis.
Tokoh terkenal pada masa ini adalah Ali bin Abi Thalib dengan karyanya Nahj al-Balagah. Adapun amsal dan kata mutiara pada masa Abbasiyah dan sesudahnya lebih menggambarkan hal yang berhubungan dengan filsafat sosial dan akhlak. Tokoh terkenal pada masa ini adalah Ibnu al-Muqaffa (720–756).
(3) Sejarah atau riwayat mencakup sejarah beberapa negeri dan kisah perjalanan yang dilakukan para tokoh terkenal.
Karya sastra terkenal di bidang ini antara lain adalah Mu‘jam al-Buldan (Ensiklopedi Kota dan Negara) oleh Yaqut ar-Rumi (1179–1229), Tarikh al-Hindi (Sejarah India) oleh al-Biruni (w. 448 H/1048 M), Tuhfah an-Nazzar fi Gara’ib al-Amsar wa ‘Aja’ib al-Asfar (Persembahan seorang Pengamat tentang Negeri Asing dan Perjalanan yang Menakjubkan) oleh Ibnu Batutah,
Zakha’ir al-‘Ulum wa Ma Kana fi Salif ad-Duhur (Perbendaharaan Ilmu dan Peristiwa Masa Lalu) oleh Abu Hasan Ali bin Husain bin Ali al-Mas‘udi (w. 956), dan Muluk al-‘Arab (Raja Arab) oleh Amin ar-Raihan (1876–1940).
(4) Karya ilmiah mencakup berbagai bidang ilmu. Karya terkenal yang berkenaan dengan kajian ini adalah Kitab al-hayawan (Buku tentang Hewan) dan Kitab al-Bukhala’ (Buku tentang Orang Bakhil) oleh al-Jahiz (w. 225 H/869 M); ‘Aja’ib al-Makhluqat wa Gara’ib al-Maujudat (Makhluk yang Menakjubkan dan Benda yang Aneh) dan atsar al-Bilad wa Akhbar al-‘Ibad (Peninggalan Negeri dan Berita tentang Manusia) oleh Abu Yahya Zakaria bin Muhammad al-Qazwaini (1208–1283); dan Sirr an-Najah (Rahasia Kesuksesan) dan Siyar al-Abthal wa al-Qudama’ al-‘Uzama’ (Sejarah para Pahlawan dan Pembesar Terdahulu) oleh Ya‘qub Sarruf (1852–1928).
Adapun syair terbagi atas dua bagian, yaitu asy-syi‘r al-gina’i dan asy-syi‘r al-hikami atau asy-syi‘r at-ta‘limi. Asy-syi‘r al-gina’i merupakan syair hiburan yang berisi ungkapan perasaan sang penyair. Syair ini terdiri atas asy-syi‘r al-wijdani, asy-syi‘r ar-ratsa’, dan asy-syi‘r al-fakhr. Asy-syi‘r al-wijdani adalah syair yang mengungkapkan perasaan penyair, seperti gembira, sukacita, dan derita.
Penyair yang dipandang sebagai tokoh asy-syi‘r al-wijdani adalah Abu Firas al-Hamdani (932–968) dengan kumpulan syairnya yang terkenal Diwan Abi Firas (diterbitkan pertama kali 1873) dan al-Mutanabbi yang terkenal dengan kumpulan syairnya Diwan al-Mutanabbi.
Asy-Syi‘r ar-ratsa’ adalah syair hiburan yang diungkapkan penyair ketika meratapi seseorang yang telah meninggal.
Di antara sastrawan yang dianggap sebagai tokoh syair jenis ini adalah al-Muahhil (w. 531) dengan kumpulan syairnya yang terkenal Ratsa’uh li Akhihi Kulaib (Ratapannya terhadap Saudara Kulaib) dan Abu Jazrah Jarir bin Atiyah (653–733) dengan kumpulan syairnya yang terkenal Diwan Jarir fi al-Madh wa ar-Ratsa’ (Koleksi Syair Jarir tentang Sanjungan dan Ratapan).
Asy-Syi‘r al-fakhr merupakan syair yang menyanjung kebesaran dan keperkasaan seseorang atau kelompok tertentu. Yang dianggap sebagai tokoh dalam jenis ini adalah Antarah bin Syaddad (w. 615) dengan kumpulan syairnya yang terkenal Diwan ‘Antarah fi al-Fakhr wa al-hamasah wa al-Gazal (tentang kebanggaan, semangat, dan sanjungan terhadap wanita).
Adapun asy-syi‘r al-hikami dan asy-syi‘r at-ta‘limi adalah syair yang berisi pendidikan dan pengajaran. Yang dianggap sebagai tokoh syair jenis ini adalah Zuhair bin Abi Sulma (530–627) dengan karyanya al-hauliyyat (Anak Domba), Labid bin Rabi’ah (560–661) yang terkenal dengan karyanya hikmah ar-Ratsa’ (Kata Mutiara tentang Ratapan),
Addi bin Zaid (w. 604) yang terkenal dengan syairnya hikam (Kata Mutiara) dan Zuhdiyyat (Keengganan terhadap Masalah Keduniaan), Abu A‘la al-Ma’arri (973–1059) yang terkenal dengan karyanya al-Luzumiyyat (Kebutuhan) dan Risalah al-Gufran (Risalah Pengampunan),
Ibnu al-Wardi (1290–1349) yang terkenal dengan karyanya Lamiyah ibn al-Wardi (Ratapan terhadap Ibnu al-Wardi), dan Nasif al-Yaziji (1800–1871) yang terkenal dengan syairnya Diwan Syi‘r Nasif.
Penyair yang terkenal pada periode modern antara lain adalah Ahmad Syauqi (1868–1932) dengan karyanya yang terkenal asy-Syauqiyyat (Syair-Syair Syauqi), dan Muhammad Hafiz Ibrahim (1872–1932) dengan kumpulan karyanya Diwan hafiz Ibrahim (2 jilid).
Periodisasi Sastra Arab. Pada umumnya para ahli sastra membagi sastra Arab atas beberapa periode. Ahmad al-Iskandari dan Mustafa Inani, misalnya, membagi sastra Arab dalam lima periode: periode Jahiliah, periode awal Islam, periode Abbasiyah, periode Kerajaan Usmani Turki (Ottoman), dan periode Arab modern.
Hanna al-Fakhuriyyah juga membaginya atas lima periode: periode Jahiliah, periode Islam, periode Abbasiyah, periode kemunduran sastra Arab, dan periode kebangkitan sastra Arab. Periodisasi yang diuraikan di bawah ini adalah periodisasi yang dilakukan al-Fakhuriyyah.
(1) Periode Jahiliah. Perkembangan sastra Arab pada masa ini dapat dibagi atas dua bagian, yaitu: (a) masa sebelum abad ke-5 dan (b) masa sesudah abad ke-5 sampai dengan hijrah Nabi Muhammad SAW ke Madinah (622).
Tidak banyak yang dapat diketahui tentang perkembangan sastra Arab pada masa ini karena tidak banyaknya ditemukan data tertulis yang mengungkapkan hal itu secara lebih terperinci. Perkembangan sastra Arab hanya dapat diketahui sedikit melalui ungkapan Al-Qur’an dan hadis serta batu bertulis yang ditemukan pada masa sesudahnya.
Diketahui bahwa suku Arab yang mendiami pelosok Semenanjung Arabia pada musim haji berkumpul di Mekah. Pada saat itu, Mekah ramai dikunjungi berbagai suku yang datang dari berbagai daerah. Di samping menunaikan ibadah haji, mereka datang ke sana untuk berdagang dan mengadakan perlombaan sastra, seperti berpidato dan melantunkan syair.
Tempat yang berperan penting pada waktu itu adalah Suq ‘Ukaz. Pada masa ini terkenal beberapa ahli syair, seperti Nabigah az-Zubyani dan Qus bin Sa‘idah al-Iyadi.
Sastra Arab pada masa ini dapat diketahui dari tulisan yang terdapat dalam perjanjian dan dokumen mereka. Selain itu, sastra Arab dapat diketahui melalui riwayat dan cerita lisan yang diturunkan dari generasi ke generasi.
Secara umum sastra Arab pada masa ini bertujuan untuk: (1) kehidupan suku Badui, (2) diskusi dan perdebatan, dan (3) keterangan keadaan masa lampau.
Karya sastra periode ini memiliki empat ciri khusus: (1) penggunaan kata lebih ditekankan pada makna asalnya; (2) kosakata yang digunakan banyak memiliki sinonim; (3) penggunaan kata serapan dari luar bahasa Arab sangat kurang; (4) gaya bahasa dan kalimat yang diucapkan sesuai dengan tuntutan gaya bahasa, yaitu singkat, padat, dan tidak dibuat-buat.
Karya sastra dalam bentuk syair yang paling terkenal pada masa ini adalah al-Mu‘allaqat (kumpulan syair yang berhasil memenangkan perlombaan di Suq ‘Ukaz, yang ditulis dengan tinta emas dan kemudian digantungkan di Ka’bah). Al-Mu‘allaqat merupakan karya sastra Jahiliah yang paling menarik dan saksi yang paling benar dalam menggambarkan keadaan lingkungan masyarakat Jahiliah dalam berbagai aspek.
Di antara penyair terkenal yang telah menyumbangkan syairnya pada masa itu adalah Imru al-Qais, Tarafah bin Abdul Bakri, Zuhair bin Abi Sulma, Labid bin Rabi’ah, dan Antarah bin Syaddad.
Karya sastra berupa prosa pada masa Jahiliah tidak berkembang seperti syair. Prosa pada masa ini hanya berupa catatan pidato, kata hikmah, dan cerita tentang kehidupan bangsa Arab pada masa lampau yang berkembang di kalangan mereka.
(2) Periode Islam. Perkembangan sastra Arab pada masa ini berlangsung sejak 1 H/622 M–132 H/750 M, yang meliputi (1) masa Nabi SAW dan al-Khulafa’ ar-Rasyidun (1 H/622 M–40 H/661 M) dan (2) masa Bani Umayah (41 H/661 M–133 H/750 M).
Perkembangan sastra Arab pada masa ini tidak kalah dengan perkembangan pada masa sebelumnya. Hal ini disebabkan, antara lain, oleh perkembangan agama Islam yang luas wilayahnya tidak hanya meliputi Semenanjung Arabia, tetapi sudah meluas ke wilayah lain, seperti Suriah, Irak, dan Mesir. Perkembangan ini didukung oleh berbagai aspek kehidupan masyarakat Arab pada masa itu, terutama aspek kehidupan keagamaan, politik, dan ekonomi.
Kehidupan keagamaan mempunyai pengaruh besar dalam perkembangan sastra Arab. Dakwah islamiah yang disampaikan kaum muslim pada masa ini merupakan sarana paling efektif dalam mengembangkan sastra Arab, baik dalam bentuk prosa maupun puisi.
Kehidupan keagamaan mempunyai hubungan yang kuat dengan kehidupan politik yang ketika itu membagi kaum muslim ke dalam beberapa golongan, seperti Khawarij dan Syiah.
Setiap kelompok melakukan berbagai usaha untuk mempertahankan kelompoknya dengan cara memuji kelompoknya atau mencela dan mengejek kelompok lain dengan berbagai argumen dan perdebatan sengit, baik melalui pidato maupun dalam bentuk syair. Kehidupan politik ini juga membantu mempercepat perkembangan sastra Arab.
Perkembangan ekonomi yang lebih baik dan wilayah yang cukup luas pada masa ini membuat para khalifah hidup mewah. Pada masa ini, permainan dan seni suara berkembang, terutama di Hijaz dan Suriah.
Para khalifah Bani Umayah, terutama Yazid bin Abdul Malik bin Marwan, mulai menaruh perhatian pada para biduan. Karena itu, para ahli penggubah syair sudah mulai menggubah syair mereka untuk keperluan lagu. Untuk memperoleh kemurahan dan hadiah dari khalifah, para penyair mendatangi khalifah dan membuat syair yang memujinya.
Ada beberapa faktor yang mendukung perkembangan sastra Arab pada masa ini, yakni pekembangan: (1) bahasa Quraisy, (2) bahasa Arab ke Kerajaan Romawi dan Bizantium, (3) tujuan bahasa seiring dengan perkembangan dakwah islamiah, (4) makna kata sesuai dengan perkembangan masyarakat pemakainya, dan (5) jumlah kosakata dan gaya bahasa yang digunakan.
Al-Qur’an dan hadis mempunyai peranan penting dalam proses perkembangan sastra pada masa ini. Sebagai wahyu, Al-Qur’an diterima dan disampaikan Nabi SAW kepada para sahabatnya, dan mereka menyampaikannya kepada orang lain sesuai dengan bahasa dan lafal yang diterimanya dari Nabi SAW.
Al-Qur’an mempunyai bahasa dan uslub (gaya bahasa) yang lebih indah daripada uslub bahasa Arab yang ada. Al-Qur’an memiliki ungkapan yang padat, tetapi mengandung pengertian yang luas dan mendalam. Di dalamnya terdapat amsal dan kata mutiara yang sangat menarik. Hadis, sebagaimana Al-Qur’an, mempunyai gaya bahasa yang menarik, singkat, dan padat serta memiliki kosakata yang pengertiannya dalam dan luas.
Perkembangan kehidupan masyarakat pada periode Islam ini membawa perubahan pada bentuk syair dan tujuannya. Bentuk syair pada masa ini ada enam, yaitu: (1) syair perjuangan keagamaan, (2) syair tentang penaklukan daerah baru (syair peperangan), (3) syair perjuangan politik, (4) syair tentang fanatisme, (5) syair hiburan, dan (6) syair sanjungan (syair al-madh).
Syair perjuangan keagamaan berhubungan erat dengan usaha para penyair untuk menyampaikan dakwah Islam. Dengan syair, mereka berusaha menyebarkan dakwah Islam, memuji dan mengangkat derajat kaum muslim, memuji sifat dan keadaan Rasulullah SAW, dan menjawab syair yang dilantunkan penyair musyrik dalam mencela dan mengejek kaum muslim dan Nabi SAW.
Penyair terkenal jenis ini antara lain adalah Ka‘b bin Zuhair bin Abi Sulma, Hassan bin Sabit, Ka‘b bin Malik, dan Abdullah bin Rawahah.
Syair tentang penaklukan daerah baru juga dilantunkan untuk memberi semangat kepada para pahlawan yang maju ke medan perang. Para penyair jenis ini antara lain adalah Qais bin Maksyuh al-Muradi, A‘sya Hamdan, dan al-Qattami.
Syair tentang perjuangan politik berkembang pula pada masa ini, terutama di kalangan kelompok yang bertikai sejak Khalifah Usman bin Affan terbunuh. Setiap kelompok mempunyai penyair ulung.
Dari golongan Khawarij muncul penyair seperti Qatri al-Fuja’at, Umran bin Hattan as-Sadusi, dan Tirimah bin Hakim at-Ta’i. Pada masa ini muncul pula penyair dari kalangan non-Arab yang menyanjung kelebihan dan keutamaan orang non-Arab, antara lain Isma‘il bin Yasar.
Syair yang berkaitan dengan fanatisme (asabiah) dilantunkan untuk tujuan propaganda golongan atau kelompok. Para penyair jenis ini antara lain adalah al-Akhtal (20 H/640 M–92 H/710 M), Jarir (w. 792), dan al-Farazdaq (20 H/641 M–114 H/732 M).
Syair yang berisi hiburan dan percintaan dilantunkan untuk menghibur seseorang dan mengungkapkan rasa cinta kepada seorang wanita. Di antara penyairnya ada Qais bin Zu-raih (w. 67 H/687 M) dan Jamil bin Abdullah bin Ma‘mar al-Udri (40 H/660 M–82 H/701 M).
Penyair terakhir menyusun kisah percintaan Majnun Laila (menceritakan cinta Majnun dan Laila yang berakhir duka, karena Laila dinikahkan dengan pemuda pilihan orangtuanya dan Majnun menjadi gila).
Adapun syair sanjungan atau al-madh dilantunkan untuk memuji dan menyanjung orang yang dipandang mempunyai kelebihan dan keistimewaan. Syair seperti ini antara lain ditujukan kepada para tokoh masyarakat atau pembesar kerajaan. Penyair jenis ini antara lain adalah al-Mutanabbi.
(3) Periode Abbasiyah (Bani Abbas). Perkembangan sastra Arab pada masa ini berlangsung sejak 132 H/750 M–656 H/1258 M.
Syair Arab pada masa Abbasiyah tetap mempunyai kedudukan yang tinggi meskipun telah bercampur dengan berbagai pengaruh luar. Fungsi syair tidak lagi merupakan sarana yang digunakan untuk tujuan perseorangan, fanatisme kelompok, dan tujuan politik, tetapi sudah mengarah ke tujuan sosial dan menjadi alat untuk menunjukkan kenyataan hidup, cita-cita yang dicapai, dan penderitaan yang dialami masyarakat.
Pada masa ini, ada tiga kondisi yang dialami syair dan penyair. Pada 100 tahun pertama, syair dan penyair mempunyai kedudukan penting di kalangan khalifah dan pemimpin negara. Selain perhatian, para khalifah dan pemimpin negara juga memberikan sumbangan kepada para penyair.
Setelah 100 tahun pertama, penyair kurang mendapat tempat di kalangan khalifah dan pemimpin negara. Hal ini ditandai dengan berkurangnya bantuan dan dukungan yang diberikan kepada para penyair. Namun, keadaan ini berakhir ketika pemerintahan Abbasiyah berada di tangan para amir yang menaruh perhatian terhadap penyair dan syairnya.
Lain halnya dengan perkembangan prosa pada masa Abbasiyah. Setiap bentuk prosa mengalami perkembangan tersendiri yang berbeda dengan bentuk yang lain. Khithabah (prosa dalam bentuk pidato), misalnya, pada masa ini sedikit demi sedikit mengalami kemunduran.
Pada mulanya khithabah berkembang pesat dengan adanya dukungan dan semangat fanatisme kabilah. Ketika fanatisme ini mulai menurun, semangat untuk khithabah pun berkurang, sedangkan kitabah (prosa dalam bentuk tulisan) berkembang dengan pesat.
Prosa jenis ini tidak hanya terbatas pada tulisan yang berhubungan dengan dokumen pemerintah, tetapi juga berkenaan dengan segala tulisan yang menggambarkan peradaban baru yang meliputi hiburan dan kemewahan, menggambarkan keadaan jiwa yang meliputi pertentangan dan keinginan, berkaitan dengan kritik terhadap buku sastra, berkaitan dengan masalah ilmiah dan keagamaan, dan dengan cerita nyata dan historis maupun fiktif.
Karena itu, prosa jenis ini ada bermacam-macam, antara lain surat yang bersifat kekeluargaan, karangan ilmiah dan sastra, artikel, pandangan, perjanjian, dan cerita.
Pada masa ini, prosa juga telah dipengaruhi oleh pemikiran filsafat dan ilmiah yang bersumber dari buku filsafat Yunani yang telah diterjemahkan.
Di Andalusia, sastra Arab terutama syair mengalami perkembangan pesat, sejalan dengan perkembangan musik yang menjadi sarana hiburan yang dominan pada waktu itu. Syair tersebar di segala lapisan masyarakat dan mendapat dukungan besar dari para pembesar istana.
Syair ketika itu tidak hanya diucapkan pada waktu damai, tetapi juga pada waktu perang. Tujuannya adalah untuk memberi semangat para pejuang di medan perang. Karena kedekatan syair dengan kehidupan masyarakat, timbul ungkapan “syair di Andalusia merupakan bahasa kehidupan dan kehidupan merupakan syair”.
Periode pertama bagi sastra Arab di Andalusia merupakan periode perpindahan sastra Timur ke Barat tanpa ada perubahan dari segi bentuk dan tujuannya. Hal ini disebabkan para sastrawan generasi pertama yang berada di Andalusia itu merupakan sastrawan yang lahir dan berkembang di Timur, kemudian berpindah ke Andalusia seiring dengan penaklukan wilayah itu.
Di samping itu, para khalifah Cordoba berusaha mendatangkan sebagian ilmuwan dan sastrawan, terutama dari Baghdad. Keadaan ini mendukung perkembangan sastra dan kebudayaan Arab sejak kekuasaan Islam di Andalusia (abad ke-8 hingga abad ke-15). Setelah itu, perkembangan sastra Arab menurun sedikit demi sedikit.
Hal ini disebabkan antara lain oleh kemunculan sejumlah besar orang Andalusia yang terampil dalam sastra, syair, dan musik.
Sastrawan dan penyair terkenal pada masa itu antara lain adalah Ibnu Abd Rabbihi (246 H/860 M–328 H/940 M), Ibnu Hani (326 H/938 M–362 H/973 M), dan Ibnu Hazm. Ibnu Abd Rabbihi adalah sastrawan kelahiran Cordoba. Selain ahli sastra, ia juga ahli dalam banyak bidang (seperti fikih, sejarah, musik, dan kedokteran).
Kumpulan syairnya yang terkenal adalah Malhamat Syi‘riyyah, yang berisi 400 bait dan terdiri dari berbagai cerita, seperti cerita Abdurrahman an-Nasir (Abdurrahman III), penakluk Andalusia. Buku prosanya yang terkenal, al-‘Aqd al-Farid, dianggap para sastrawan dan ahli bahasa sebagai buku sastra yang amat penting dan menjadi referensi bagi mereka.
Ibnu Hani dikenal dengan kumpulan syairnya, terutama dalam pujian dan ratapan (al-madh wa ar-ratsa’). Adapun Ibnu Hazm telah menulis sekitar 400 buku dalam berbagai bidang ilmu. Kumpulan syair dan buku prosanya yang terkenal adalah thauq al-hamamah (Kalung Wanita Cantik) dan al-Fisal fi al-Milal wa al-Ahwa’ wa an-Nihal (Garis Pemisah antara Agama, Paham, dan Mazhab).
(4) Periode Kemunduran Sastra Arab (656 H/1258 M–1213 H/1798 M). Periode ini dimulai sejak Baghdad jatuh ke tangan Hulagu Khan (pemimpin bangsa Mongol) pada 1258 hingga Mesir dikuasai Muhammad Ali Pasya (1220 H/1805 M).
Sastra Arab pada masa ini mengalami kemunduran yang amat berat, karena kondisi sosial-politik yang tidak menguntungkan. Dari segi politik, ketika itu sedang terjadi pergolakan antara khalifah Abbasiyah di Baghdad dan bangsa Mongol.
Ketika Hulagu Khan menghancurkan Baghdad, seluruh kekayaan kota, termasuk perpustakaan yang menjadi pusat informasi sastra dan budaya, dimusnahkan dan dibakar. Para ahli dalam berbagai bidang diusir. Pada 1401 Timur Lenk (1336–1405), pemimpin bangsa Mongol, kembali menyerang kota itu.
Perkembangan sastra Arab semakin parah ketika penguasa Usmani Turki berhasil menguasai wilayah Islam. Mereka mengembangkan bahasa Turki dalam berbagai aspek kegiatan. Keadaan ini membuat sastra Arab menurun.
Dari segi sosial, penyerangan yang dilakukan bangsa Mongol dan pembebanan pajak yang dijalankan para penguasa Dinasti Mamluk dan Turki juga menimbulkan guncangan. Dalam suasana seperti ini, timbul kecenderungan orang kepada hal yang bersifat tasawuf.
Pada masa ini, faktor yang mendukung perkembangan syair hilang sama sekali, baik dari segi sarana maupun pelakunya. Para penguasa non-Arab tidak menaruh perhatian dan tidak memberi dukungan kepada syair dan penyairnya. Para penyair akhirnya tidak dapat berkonsentrasi untuk menyusun syairnya dan kemudian beralih kepada usaha lain untuk memenuhi kebutuhan hidup mereka, seperti berdagang.
Meskipun demikian, masih ada beberapa cendekiawan yang tetap memperhatikan kemajuan sastra dan ilmu pengetahuan, antara lain Ibnu Khallikan (608 H/1211 M–681 H/1282 M) dan al-Maqrizi (sejarawan; 766 H/1364 M–845 H/1442 M). Perkembangannya berlangsung di sekitar geografi, riwayat kerajaan dan kota, serta penulisan riwayat hidup seseorang.
(5) Periode Kebangkitan Kembali Sastra Arab. Periode kebangkitan ini dimulai dari masa pemerintahan Muhammad Ali Pasya hingga masa sekarang.
Kebangkitan kembali sastra pada masa ini tidak berlangsung dalam waktu yang singkat. Sebelumnya telah timbul berbagai faktor pendukung yang menciptakan kondisi yang mengarah kepada perkembangan sastra Arab. Salah satu di antaranya adalah adanya usaha dari sebagian penguasa Arab di Suriah, Mesir, dan Libanon yang mengadakan kontak dengan pihak Barat.
Amir Fakhruddin, penguasa Libanon (1572–1635) ketika itu, mengirimkan para pemuda untuk belajar di sekolah Eropa. Para alumni tersebut kemudian kembali ke negeri mereka untuk menyebarkan ilmu pengetahuan dan merintis jalan hidup baru.
Beberapa di antaranya adalah Jibra’il as-Suhyuni al-Ahdani (1577–1648) yang menjadi guru di Madrasah Malikiyyah, Paris; Ibrahim al-Baqillani (w. 1664) yang menjadi dosen di College de France, Paris; dan Yusuf as-Sam’ani (1687–1768), penyusun buku Indeks Buku-Buku Timur.
Penaklukan Napoleon Bonaparte (kaisar Perancis, 1804– 1814) atas Mesir pada akhir abad ke-18 yang membawa penyair, ahli filsafat, dan lain-lainnya merupakan faktor lain yang menciptakan kondisi yang mengarah kepada perkembangan sastra Arab.
Banyak usaha yang dilakukan Napoleon, antara lain mendirikan dua sekolah untuk anak-anak Perancis yang lahir di Mesir; Lembaga Ilmu Pengetahuan (yang para anggotanya sangat menaruh perhatian pada ilmu pengetahuan alam, kedokteran, ekonomi, kesenian, sastra, dan musik); perpustakaan lembaga tersebut; dan menerbitkan dua surat kabar, yakni Barid Misr (Merpati Mesir) dan al-‘Isyarah al-Misriyyah (Persahabatan Mesir).
Usaha Napoleon membangkitkan semangat baru bagi orang Mesir dalam bidang kebudayaan dan ilmu pengetahuan. Sepeninggal Perancis, Muhammad Ali Pasya yang memulai pemerintahannya pada 1805 mengirimkan delegasi ilmiah ke Eropa.
Selain itu, ia mendirikan sejumlah sekolah dan mendorong munculnya usaha penerjemahan, percetakan, dan penerbitan. Sekolah yang terkenal pada waktu itu antara lain adalah sekolah kedokteran dan sekolah militer. Para pengajar di kedua sekolah itu didatangkan dari Italia, Perancis, dan Inggris.
Kegiatan yang sangat mendukung perkembangan sastra Arab pada periode kebangkitan ini antara lain adalah:
(1) berdirinya sekolah;
(2) terbitnya berbagai surat kabar, seperti al-Waqa’i‘ al-Misriyyah (Peristiwa di Mesir, 1828), Mir’ah al-Ahwal (Cermin Peristiwa, 1855), hadiqah al-Akhbar (Taman Berita, 1858), dan al-Ahram (Piramid, 1878); dan
(3) berdirinya beberapa perpustakaan, seperti Maktabah al-Azhariyah (Perpustakaan al-Azhar, 1879) dan Maktabah asy-Syarqiyah (Perpustakaan Timur, 1880).
Sarana penerbitan dan perpustakaan yang ada mendukung perkembangan sastra Arab, baik syair maupun prosa. Karya para sastrawan dimuat dan diedarkan melalui penerbitan. Pada periode ini muncul para sastrawan terkenal, seperti Isma‘il Khasysyab (w. 1851) dan Hasan bin Muhammad al-Attar (1766–1834), keduanya dari Libanon, serta Ali ad-Darwisy (w. 1853) dari Mesir.
Pada periode modern ini sastra Arab dengan berbagai bentuknya terus berkembang, demikian pula penerjemahan buku Barat ke dalam bahasa Arab. Penulisan ilmu pengetahuan, sejarah, dan kritik sastra terus berkembang. Nama Jurji Zaidan dikenal sebagai ilmuwan Nasrani yang menulis buku Islam, seperti Tarikh at-Tamaddun al-Islami dan Tarikh Adab al-Lugah al-‘Arabiyyah.
Di kalangan Islam muncul beberapa buku sejarah Islam yang ditulis Ahmad Amin, yaitu Fajr al-Islam, Duha al-Islam, dan Zuhr al-Islam. Dikenal pula nama Muhammad Husain Haekal yang menulis hayah Muhammad (Riwayat Hidup Muhammad SAW) dan Sayid Mustafa Lutfi al-Manfaluti (1876–1924) yang dikenal dengan an-Nadzarat (kumpulan tulisan kemasyarakatan) dan al-‘Abarat (kumpulan kisah)-nya.
Para sastrawan di negara Arab menaruh perhatian untuk mengembangkan sastra dengan menciptakan sarana yang mendukung perkembangannya, seperti mendirikan fakultas sastra dengan jurusan khusus yang mempelajari sastra Arab, menerbitkan majalah khusus mengenai sastra Arab, dan menyediakan kolom khusus untuk sastra Arab dalam majalah umum dan surat kabar.
Sastra Arab di negara Islam non-Arab juga berkembang seiring dengan perkembangan agama Islam dan bahasa Arab yang digunakan pemeluknya.
Pengaruh Sastra Arab di Indonesia. Masuknya agama Islam di Indonesia (diperkirakan abad ke-7) telah membawa pengaruh besar bagi perkembangan kesusastraan Indonesia lama (kesusastraan Melayu). Kesusastraan lama yang berkembang di Indonesia bercorak lisan dan diwarisi secara turun-temurun.
Kesusastraan yang bercorak tulisan berkembang pesat setelah Islam berkembang di Indonesia. Menurut Dr. Ismail Hamid, ahli bahasa dan sastra Indonesia berkebangsaan Malaysia, para mubalig dan dai yang menyebarkan ajaran Islam telah memperkenalkan huruf Arab. Dari sini mulai timbul kegiatan penulisan dalam bahasa Melayu dengan menggunakan huruf Arab.
Kegiatan penulisan ini pada umumnya berkaitan dengan: (1) penulisan bidang ilmu pengetahuan keislaman, seperti dasar ajaran Islam, fikih, ilmu teologi dan tasawuf, ilmu tafsir, dan hadis yang dijadikan sumber acuan bagi para pelajar Islam di lembaga pengajian Islam; dan (2) penulisan lain, seperti hikayat, puisi, dan sejarah yang bernapaskan nilai Islam.
Di samping kesusastraan yang bercorak lisan, karya sastra yang dihasilkan penulis Islam pada waktu itu menjadi media dakwah dalam menyampaikan ajaran Islam kepada pembacanya. Karena itu, pada masa awal ini muncul hikayat yang bercorak tulisan di samping bercorak lisan.
Kesusastraan Indonesia lama pada masa ini tertulis dalam tulisan Arab, yang kemudian disalin ke dalam naskah baru oleh para penulis pada periode berikutnya.
Karena didukung para penguasa yang beragama Islam pada waktu itu, kesusastraan Indonesia lama bercorak Islam berkembang terus, terutama di wilayah bagian barat Indonesia yang menjadi pintu gerbang masuk dan berkembangnya agama Islam.
Hal ini dapat dilihat, misalnya, di Samudera Pasai yang merupakan pusat kebudayaan Islam yang pertama dan telah berlangsung sekitar 120 tahun serta Aceh dan Johor-Riau yang masing-masing telah berlangsung sekitar 150 tahun.
Selain itu, perkembangan tersebut didukung pula oleh prinsip dalam Islam yang menekankan bahwa semua aspek kebudayaan manusia, termasuk seni sastranya, harus ditampilkan untuk tujuan meninggikan syiar agama Islam. Dengan demikian, muncul karya sastra yang berbentuk prosa dan puisi yang bertemakan pengajaran Islam.
Dalam bentuk prosa, para mubalig menyampaikan dakwahnya melalui berbagai hikayat yang dapat dikelompokkan atas beberapa bagian:
(1) cerita Nabi SAW, seperti Hikayat Nur Muhammad, Hikayat Bulan Berbelah, Hikayat Nabi Bercukur, dan Hikayat Nabi Wafat;
(2) cerita para sahabat Nabi SAW, seperti Hikayat Muhammad Hanafiah, Hikayat Tamim ad-Dari, dan Hikayat Sama‘un;
(3) cerita para nabi, seperti Kitab Ahlu Tafsir dan Hikayat Nabi Yusuf; dan
(4) cerita para penyebar dan pahlawan Islam, seperti Hikayat Iskandar Zulkarnain, Hikayat Amir Hamzah, dan Hikayat Sultan Ibrahim Ibn Adham. Selain itu, terdapat Alf Lailah wa Lailah (Seribu Satu Malam) yang ditulis pada masa Dinasti Abbasiyah. Cerita ini sangat populer di kalangan masyarakat Indonesia.
Perkembangan syair di Indonesia sejalan dengan perkembangan dakwah Islam. Perkembangan ini membawa pengaruh yang cukup besar bagi perkembangan puisi Indonesia. Naquib al-Attas mengakui bahwa syair telah memainkan peranan yang penting dalam mempengaruhi penciptaan syair Melayu.
Syair diperkenalkan melalui kesusastraan mistik (tasawuf). Menurutnya, Hamzah Fansuri adalah penulis pertama yang memperkenalkan karya bercorak mistik. Meskipun demikian, Ismail Hamid menyatakan bahwa dalam beberapa hal terdapat perbedaan antara kedua jenis puisi itu, seperti dalam hal sajak.
Ia menyatakan, syair dalam kesusastraan Melayu terdiri dari empat baris dalam satu bait, yang bersajak sama (a-a-a-a), sedangkan syair Arab bersajak sama tanpa adanya penentuan jumlah baris dalam satu bait.
Jenis syair yang berkembang pada waktu itu cukup banyak. Beberapa di antaranya adalah: (1) syair keagamaan, seperti Syair Nur Muhammad dan Syair Makrifat Allah; (2) syair romantis, seperti Syair Sultan Abdul Muluk dan Syair Bidasari; (3) syair kiasan, seperti Syair Burung Pungguk dan Syair Ikan Terubuk; dan (4) syair saduran, seperti Syair Tajul Muluk.
Menurut Sutan Takdir Alisjahbana (sastrawan dan pelopor Pujangga Baru, 1908–1995), jenis puisi lain yang merupakan saduran dari syair Arab dan Persia adalah gazal, masnawi, nazam, rubai (rubaiat), dan qith‘ah.
Gazal adalah puisi yang berisi perihal asmara, terdiri atas 8 baris, dan tiap baris berakhir dengan kata yang sama. Jenis puisi ini muncul pertama kali dalam Tajus-Salatin karya Bukhari al-Jauhari di Aceh (1603).
Masnawi adalah syair yang berisi pujaan. Syair ini pada mulanya diciptakan Jalaluddin ar-Rumi (1207–1273). Dalam kesusastraan Indonesia, syair ini bertujuan untuk memuja para pembesar negara atau perbuatan baik yang dilakukan seseorang. Syair ini mempunyai persamaan irama (bunyi) di akhir tiap dua baris.
Rubai adalah syair yang terdiri atas 4 baris dalam satu bait yang bersajak a-a-b-a. Nazam adalah puisi yang berisi perihal hamba sahaya istana yang setia dan budiman, terdiri dari 12 baris dan mempunyai persamaan irama di akhir tiap dua atau empat baris.
Qith‘ah adalah puisi yang tidak memiliki persamaan irama dan timbangan yang teratur pada akhir setiap baris. Bentuk terakhir ini tidak populer di kalangan masyarakat Indonesia. Menurut Ismail Hamid, hal tersebut disebabkan puisi itu tidak sesuai dengan bahasa Indonesia dan bentuknya tidak begitu jelas.
Beberapa jenis puisi lain yang sangat populer di kalangan masyarakat Indonesia hingga saat kini adalah puisi marhaban, zikir, kasidah, dan Barzanji (tentang kehidupan Nabi Muhammad SAW). Keempat puisi ini berkembang melalui tradisi lisan yang dinyanyikan dalam acara dan perayaan keagamaan.
Usaha mengembangkan sastra Islam dilakukan secara terus-menerus. Dalam sejarah kesusastraan Indonesia, telah tampil berbagai sastrawan Islam terkenal, antara lain Raja Ali Haji dan HAMKA, yang menampilkan karya sastra yang cukup berpengaruh.
Berbagai upaya telah dilakukan untuk mengembangkan sastra Arab di Indonesia. Sebagai suatu cabang ilmu pengetahuan, keberadaan sastra Arab telah dilestarikan di beberapa lembaga pendidikan tinggi, baik umum maupun Islam.
Sebagian Institut Agama Islam Negeri (IAIN) di Indonesia telah membuka jurusan Bahasa dan Sastra Arab di Fakultas Adab. Beberapa Institut Keguruan dan Ilmu Pendidikan juga membuka jurusan bahasa dan sastra Arab di fakultas pen-didikan bahasa dan sastra. Selain itu, beberapa universitas umum negeri di Indonesia membuka jurusan Asia Barat di fakultas sastra.