Sarf secara kebahasaan berarti “penambahan, penukaran, penghindaran, atau transaksi jual beli”. Dalam terminologi fikih, ulama mendefinisikan sarf sebagai “transaksi jual beli mata uang (valuta asing) atau memperjualbelikan uang dengan uang, baik sejenis maupun tidak sejenis”.
Dalam literatur fikih klasik, pembahasan ini ditemukan dalam bentuk jual beli dinar dengan dinar, dirham dengan dirham, atau dinar dengan dirham. Satu dinar syar‘i, menurut Syauqi Isma‘il Syahatah (ahli fikih dari Mesir), bernilai 4,51 gram emas. Sementara menurut jumhur ulama, satu dinar adalah 12 dirham, dan menurut ulama Mazhab Hanafi, 10 dirham.
Perbedaan harga dinar tersebut terjadi karena fluktuasi mata uang di zaman mereka masing-masing. Dalam dunia perekonomian saat ini, bentuk jual beli ini banyak dijumpai dalam bank valuta asing, misalnya jual beli mata uang dolar Amerika Serikat (US$) dengan rupiah atau mata uang asing lainnya.
Dasar Hukum. Ulama fikih menyatakan bahwa dasar dibolehkannya penjualan mata uang ini adalah sabda Rasulullah SAW yang mengatakan, “(Jual beli) emas dengan emas, perak dengan perak, gandum dengan gandum, kurma dengan kurma, anggur dengan anggur, (apabila) satu jenis (harus) sama (kualitas dan kuantitasnya dan dilakukan) secara tunai.
Apabila jenisnya berbeda, maka juallah sesuai dengan kehendakmu dengan syarat secara tunai” (HR. Jamaah [mayoritas] ahli hadis dari Ubadah bin Samit, kecuali Bukhari).
Dalam hadis Nabi SAW yang diriwayatkan Abdullah bin Umar dikatakan: “Jangan kamu memperjualbelikan emas dengan emas dan perak dengan perak, kecuali sejenis, dan jangan pula kamu perjualbelikan perak dengan emas yang salah satunya gaib (tidak ada di tempat) dan yang lainnya ada” (HR. Jamaah ahli hadis).
Hadis pertama menekankan bahwa syarat pertukaran mata uang yang jenisnya sama adalah kualitas dan kuantitasnya sama serta dilakukan secara tunai. Hadis kedua juga demikian, bahkan di dalamnya terdapat keterangan tambahan, yaitu bahwa pertukaran mata uang harus dilakukan secara tunai (objek yang dipertukarkan atau diperjualbelikan ada di tempat jual beli).
Dalam riwayat Abi Sa‘id al-Khudri (w. 84 H/703 M) ditekankan juga bahwa apabila nilai tukar yang diperjualbelikan itu dalam jenis yang sama, tidak boleh ada penambahan pada salah satu jenisnya (HR. Bukhari, Muslim, dan Ahmad bin Hanbal).
Persyaratan. Menurut ulama fikih, persyaratan yang harus dipenuhi dalam jual beli mata uang adalah sebagai berikut:
(1) Nilai tukar yang diperjualbelikan dapat dikuasai langsung, baik oleh pembeli maupun oleh penjual, sebelum keduanya berpisah badan. Penguasaan itu bisa berbentuk penguasaan secara materiil dan hukum. Dalam penguasaan secara materiil, misalnya, pembeli langsung menerima dolar AS yang dibeli dan penjual langsung menerima uang rupiah.
Adapun dalam penguasaan secara hukum, misalnya, pembayaran dilakukan melalui cek. Menurut para ahli fikih, syarat ini diperlukan untuk menghindari terjadinya riba an-nasi‘ah (penambahan pada salah satu alat tukar). Apabila keduanya berpisah sebelum menguasai masing-masing nilai tukar yang diperjualbelikan, menurut mereka akadnya batal karena syarat penguasaan terhadap nilai tukar tidak terpenuhi.
Berpisah badan dalam hal ini harus benar-benar berpisah sebagaimana layaknya perpisahan antara seorang yang pergi dan yang tinggal. Apabila perpisahan itu dilakukan dengan pulang bersama, menurut ahli fikih, perpisahan belum dianggap sempurna karena masih memungkinkan terjadinya hal yang tidak diinginkan syarak.
(2) Apabila mata uang yang diperjualbelikan itu dari jenis yang sama, maka harus memiliki kualitas dan kuantitas yang sama, sekalipun modelnya berbeda.
(3) Tidak berlaku hak khiar syarat (khiar) dalam akad sarf, yaitu hak pilih bagi pembeli apakah akan melanjutkan jual beli atau tidak yang disyaratkan waktu berlangsungnya transaksi. Alasannya, selain untuk menghindari riba, adalah karena hak khiar membuat hukum akad jual beli belum tuntas, sedangkan salah satu syarat jual beli sarf adalah penguasaan nilai tukar oleh masing-masing pihak.
Oleh sebab itu, apabila salah satu pihak mengajukan syarat, maka syarat tersebut tidak sah. Berbeda halnya dengan khiyar ru’yah (hak pilih bagi pembeli untuk membatalkan jual beli ketika pembeli telah melihat barang yang akan dibeli, sedangkan ketika akad berlangsung ia belum melihat barang tersebut sama sekali) dan khiar aib (hak pilih bagi pembeli untuk membatalkan akad jual beli karena adanya cacat tersembunyi pada barang yang dibeli).
Kedua bentuk khiar yang disebut terakhir ini tidak menimbulkan hal yang dilarang syarak karena tidak menghambat pemilikan dan penguasaan terhadap objek jual beli. Oleh sebab itu, apabila salah satu pihak menggunakannya, menurut ulama fikih, akad sarf itu tetap sah.
(4) Tidak terdapat tenggang waktu dalam akad, karena penguasaan objek akad mesti dilakukan secara tunai sebelum keduanya berpisah badan. Oleh sebab itu, apabila salah satu pihak mensyaratkan tenggang waktu, akad ini tidak sah karena terjadi penangguhan pemilikan dan penguasaan objek akad sarf.
Menurut Ahmad Mustafa az-Zarqa, ahli usul dan fikih Universitas Amman (Yordania), dua syarat terakhir terkait erat dengan syarat pertama. Oleh sebab itu, ada beberapa akibat hukum yang ditimbulkan oleh syarat penguasaan objek akad secara tunai tersebut, antara lain sebagai berikut:
(1) Ibra (pengguguran hak) dan hibah. Apabila seseorang menjual uang dolarnya dengan rupiah, kemudian setelah pembeli menerima dolarnya, penjual menyatakan ibra atau menghibahkan haknya (uang rupiah dari pembeli), dalam hal ini terdapat dua kemungkinan:
(a) apabila pembeli menerima ibra atau hibah tersebut, gugurlah kewajibannya untuk menyerahkan uang rupiah sebagai alat untuk membeli dolar tersebut dan akad sarf pun menjadi batal, karena salah satu objek sarf tidak bisa dikuasai, sehingga syarat akad Sarf tidak terpenuhi; dan
(b) apabila pembeli tidak mau menerima ibra atau hibah tersebut, ibra atau hibahnya tidak sah sedangkan hukum Sarfnya tetap berlaku. Artinya, pihak pembeli wajib menyerahkan uang rupiah sebagai harga dari dolar penjual, dan apabila penjual enggan untuk menerima haknya tersebut, ulama fikih sepakat menyatakan bahwa ia harus dipaksa menerimanya.
(2) Melebihi kewajiban. Apabila salah satu pihak memberikan sesuatu yang melebihi kewajibannya dalam pertukaran objek Sarf, hal itu menurut para ulama fikih tidak boleh.
(3) Pengalihan utang. Apabila terjadi pengalihan utang kepada orang lain (hiwalah), misalnya salah satu pihak menunjuk orang lain untuk menerima dan menguasai objek Sarf secara langsung di majelis akad, menurut ulama fikih hukumnya boleh karena penguasaan terhadap objek Sarf tersebut memenuhi syarat secara sempurna.
Demikian juga diperbolehkan secara hukum apabila penerimaan dan penguasaan objek Sarf yang menjadi hak salah satu pihak dilakukan melalui seorang kafil (penanggung jawab utang).
(4) Saling pengguguran hak atau utang (al-muqasah). Misalnya seseorang menjual uang US$100 kepada pembeli dengan Rp800.000,00. Tetapi, penjual tidak menerima uang sebesar Rp800.000,00 tersebut karena ia berutang kepada pembeli sejumlah itu. Dalam kasus seperti ini, apabila keberadaan utang penjual itu terjadi sebelum akad Sarf, menurut jumhur ulama, hukumnya boleh apabila disetujui kedua belah pihak.
Akan tetapi, Zufar bin Hudail (728–775), ulama fikih Hanafi, menyatakan bahwa hal itu tidak sah karena unsur penguasaan terhadap objek Sarf tidak nyata dan tidak terpenuhi. Sementara apabila utang terjadi setelah akad Sarf, misalnya penjual menarik kembali uangnya secara paksa dan mengklaimnya sebagai utang kepada pembeli.
Menurut ulama fikih Mazhab Hanafi, seperti Imam Muhammad bin Ahmad bin Sahl Syamd as-Sarakhsi (w. 483 H/1090 M), ahli usul fikih, akad Sarf menjadi tidak sah karena pengguguran hak atau utang hanya berlaku bagi hak atau utang yang telah ada, bukan terhadap utang yang akan ada.
Akan tetapi, kebanyakan ulama fikih membolehkan pengguguran hak atau utang dalam akad Sarf seperti ini dengan cara memperbarui akad Sarf, karena pada dasarnya akad Sarf telah batal akibat tidak terpenuhinya objek Sarf; dan pembayaran dilakukan dengan cara saling menggugurkan hak atau utang sesuai dengan kesepakatan yang telah diambil kedua belah pihak.