Sarekat Islam (SI) adalah sebuah organisasi politik paling menonjol pada awal abad ke-20 di Indonesia. Organisasi ini didirikan pada 10 September 1912 dan tumbuh dari pendahulunya, yaitu Sarekat Dagang Islam (SDI). Pendirinya adalah Haji Samanhudi, seorang saudagar batik yang kaya di Solo, Jawa Tengah.
Perubahan SDI menjadi SI dimaksudkan untuk memperluas keanggotaannya, sehingga setiap orang yang beragama Islam boleh dan dapat masuk menjadi anggota. Perubahan SDI menjadi SI menunjukkan juga terjadinya perubahan orientasi organisasi komersial ke organisasi politik.
Ada beberapa pendapat mengenai alasan didirikannya SI (dan SDI). Pertama, guna menghadapi persaingan dagang dengan orang Cina dan sikap superioritas mereka terhadap orang Indonesia sehubungan dengan berhasilnya Revolusi Cina (1911).
Di kota besar, para pedagang Cina mendirikan Sianghwee (Kamar Dagang), yang didukung ordonansi pemerintah Hindia-Belanda yang menyatakan bahwa orang Cina diberi kebebasan bergerak lebih besar “demi perubahan zaman dan demi kepentingan perdagangan serta lalu lintas”.
Dengan demikian, mereka dapat membeli bahan langsung dari importir. Sebaliknya, dalam kasus usaha batik, misalnya, para pengusaha batik bangsa Jawa harus membeli bahan dari pedagang Timur Asing, khususnya pedagang Cina. Akibatnya, harga batik dari perusahaan Jawa lebih tinggi dibanding harga batik dari perusahaan Timur Asing, sehingga pemasaran batik dikuasai bangsa Cina.
Kedua, untuk mengatasi tekanan dari kalangan bangsawan (Mangkunegaran) yang dirasakan masyarakat Indonesia di Solo ketika itu. Ketiga, untuk membuat front perlawanan menghadapi semua penghinaan terhadap rakyat Bumiputera. Keempat, sebagai perlawanan terhadap kecurangan dan penindasan yang dilakukan pihak pegawai Bumiputera dan Eropa terhadap rakyat.
Pada periode 1912–1916, perkembangan SI ditandai oleh perhatian terhadap masalah organisasi, seperti usaha mencari pimpinan, penyusunan anggaran dasar (AD) dan hubungan antara organisasi pusat dan organisasi daerah.
AD pertama pada 11 November 1911 dirumuskan oleh Raden Mas Tirtoadisuryo. AD yang disusunnya mencakup segala macam kegiatan, baik dalam bidang perdagangan maupun persaudaraan sesama Islam dan kemajuan agama.
Pada tahun 1912, AD tersebut diperbaiki oleh Haji Oemar Said Tjokroaminoto, dan hasilnya diajukan kepada seorang notaris di Solo untuk mendapatkan pengakuan sebagai badan hukum dari pemerintah Hindia-Belanda. Pengakuan dianggap penting karena:
(1) dengan demikian SI mempunyai wewenang sebagai perkumpulan untuk melakukan tindakan hukum perdata;
(2) pengakuan itu dapat dianggap sebagai persetujuan resmi pemerintah terhadap perkumpulan, sehingga pegawai rendahan Indonesia yang bersimpati dengan SI berani masuk menjadi anggotanya dan tidak lagi takut ditindak oleh atasan mereka; dan
(3) suatu perkumpulan yang tidak diakui sulit untuk mengadakan rapat.
Pada 30 Juni 1913 permohonan tersebut dikabulkan Gubernur Jenderal A.W.F Idenburg. Tetapi ia menyadari adanya ancaman dari SI itu. Karenanya, pemerintah kolonial segera memberlakukan undang-undang secara tegas (Maret 1914), yaitu hanya memberikan pengakuan kepada berbagai cabang SI, dan tidak kepada SI sebagai satu kesatuan organisasi.
Tindakan ini bertujuan untuk memecah SI ke dalam perserikatan kecil yang masing-masing berdiri bebas dan tidak berhubungan satu sama lain.
Melihat kenyataan tersebut, pimpinan SI pada Februari 1915 membentuk Pengurus Pusat yang dikenal dengan Central Sarekat Islam (CSI), yang terdiri dari Haji Samanhudi sebagai ketua kehormatan, Haji Oemar Said Tjokroaminoto sebagai ketua, dan Raden Gunawan sebagai wakil ketua.
Mohammad Hatta memuji kelihaian pimpinan SI yang berhasil mengatasi “akal kancil” Gubernur Jenderal A.W.F. Idenburg yang hanya mengakui cabang SI lokal.CSI yang anggotanya terdiri dari cabang SI mendapat pengakuan pemerintah Hindia-Belanda 18 Maret 1916.
Pada waktu itu, SI telah memiliki lebih dari 50 cabang di seluruh Nusantara. Istilah “Nusantara” disebut-sebut karena kongres pertama SI (Januari 1913) di Surabaya telah berhasil membagi wilayah organisasi menjadi tiga bagian, yaitu Jawa Barat (meliputi Jawa Barat, Sumatera, dan pulau di sekitar Sumatera), Jawa Tengah (meliputi Jawa Tengah dan Kalimantan), dan Jawa Timur (meliputi Jawa Timur, Bali, Lombok, Sumbawa, Sulawesi, dan pulau lain di Indonesia bagian timur). Ketiga wilayah ini serta cabang SI tersebut berada di bawah pengawasan Pengurus Pusat di Surakarta.
Ketika memegang kendali SI, Tjokroaminoto telah berhasil memberi bentuk yang jelas kepada struktur organisasi. Beberapa tokoh lain SI adalah Abdul Muis (1890–1959), Wignjadisastro, dan Soewardi Soerjaningrat (kemudian dikenal dengan Ki Hadjar Dewantara, 1889–1959).
Ketiga orang ini secara berurutan menjadi ketua, wakil ketua, dan sekretaris SI di Bandung. Tokoh lain yang kemudian ikut bergabung pada SI dalam periode pertama adalah KH Agus Salim.
Dalam periode 1916–1921, SI memberikan perhatian kepada berbagai masalah politik maupun agama. Sifat politiknya tercermin dengan jelas pada kongres tahunannya. Kalau dalam periode pertama pertemuan tahunan hanya disebut “kongres”, dalam periode kedua disebut “kongres nasional”.
Pada kongres nasional 1916, situasi sedang hangat karena persiapan pembentukan Dewan Rakjat (Volksraad). Melalui forum kongres itu, Tjokroaminoto melancarkan ide pembentukan nation (bangsa) dan self government (pemerintahan sendiri). Aspirasi itu kemudian secara formal dirumuskan sebagai pernyataan SI dalam kongres nasional CSI pertama (17–24 Juni 1916) di Bandung.
Pernyataan itu antara lain berisi: (1) agama Islam adalah agama yang mengajarkan ide demokrasi; (2) agama Islam merupakan dasar pokok bagi pendidikan moral dan intelektual; (3) pemerintahan Hindia-Belanda tidak perlu campur tangan dalam bidang agama dan hendaknya tidak membuat diskriminasi antaragama; dan (4) rakyat perlu diberi kesempatan berpartisipasi dalam politik.
Sementara itu, kegelisahan sosial semakin meningkat. Keluhan yang sudah terdengar selama kongres nasional pertama terdengar lebih keras lagi dalam kongres nasional kedua di Batavia (sekarang Jakarta) pada 20–27 Oktober 1917. Di samping itu, dalam lingkungan SI terdapat perbedaan pendapat tentang partisipasi SI dalam Volksraad.
Abdul Muis menyatakan bahwa SI perlu berpartisipasi di dalamnya. Sebaliknya, Semaun menyangsikan eksistensi dewan itu. Kalangan pimpinan SI lebih menyetujui pendapat Abdul Muis dan memutuskan untuk berpartisipasi di dalamnya.
Pada 23 Februari 1918 Tjokroaminoto ditunjuk pemerintah untuk duduk dalam Volksraad. Pengangkatan ini menimbulkan pendapat pro dan kontra. Akan tetapi ternyata Tjokroaminoto maupun Abdul Muis dapat bekerjasama dengan para wakil dalam Radicale Concentratie (RC) yang didirikan sebagai fraksi di dalam Volksraad.
Berdirinya RC adalah atas inisiatif Ch. G. Cramer dari Social Democratische Arbeiders Partij (SDAP) dan dimaksudkan untuk mempercepat realisasi badan perwakilan yang sesungguhnya. Untuk maksud yang sama, suatu badan kerjasama, Democratische Concentratie, dibentuk di luar Volksraad. Badan ini didominasi para pemimpin SI.
Melalui kongres ketiga (1918), CSI mengemukakan ‘mufakat’ terhadap pemogokan buruh yang teratur untuk memperbaiki nasib, mencari keadilan, dan melawan perbuatan sewenang-wenang. CSI akan membantu pemogokan tersebut. Situasi pada saat itu penuh kegoncangan.
Tahun 1917–1918 serta tahun pertama sesudah Perang Dunia I merupakan masa paceklik yang berat. Karenanya, kongres keempat CSI (1919) memberikan pengarahan tentang cara mogok. Untuk itu, para pemimpin SI bergabung dengan serikat sekerja yang ada untuk memberikan bimbingannya.
Perjuangan kepemimpinan dalam gerakan buruh dilakukan dalam federasi serikat sekerja, yaitu Persatuan Pergerakan Kaum Buruh Hindia (PPKB), yang didirikan 15 Desember 1919.
Melalui forum kongres di Surabaya itu, Suryopranoto, yang dipilih sebagai Wakil Presiden CSI, menginginkan federasi tersebut dipusatkan di Yogyakarta. Namun, bagi pihak Semaun, keinginan tersebut adalah upaya untuk mengeluarkan orang komunis dari PPKB.
Semaun, salah seorang pemimpin SI yang kemudian menjadi seorang komunis, menyatakan bahwa PPKB sejak Juni 1921 bubar. Tetapi pembubaran ini sama sekali tidak diakui oleh Suryopranoto (1871–1959).
Sehubungan dengan hal itu perlu dikemukakan bahwa dalam CSI tidak saja terdapat muslim yang patuh. Heterogenitas dalam keanggotaan SI kemudian menimbulkan perpecahan antara yang berideologi Islam dan yang berideologi komunis.
Masuknya marxisme ke dalam tubuh SI disebabkan pengaruh gerakan sosialis yang dipropagandakan orang Belanda, terutama Hendricus Josephus Franciscus Marie Sneevliet, yang datang ke Indonesia pada 1913. Di Semarang, bersama seorang temannya dari Belanda, yakni Adolf Baars, ia mendirikan Indische Sociaal Democratische Vereniging (ISDV) pada tahun 1914.
Melalui majalah Het Vrije Woord, paham sosialis mulai disebarkan. Hal ini didukung oleh tindakan Gubernur Jenderal A.W.F. Idenburg, yang memberi peluang kepada ideologi radikal marxisme untuk menyusup ke dalam tubuh pelbagai organisasi kemasyarakatan.
Semula, orang Indonesia menganggap bahwa ISDV adalah wadah orang asing, dan memang mulanya merupakan suatu perkumpulan Indo yang tidak beraliran komunis. Akan tetapi, karena keberhasilan Revolusi Rusia, organisasi ini segera mempropagandakan pemikiran sosialis dan berubah menjadi perkumpulan ‘komunis’.
Karena ISDV dianggap asing, dalam upaya mendapatkan pengikut di kalangan orang Indonesia, H.J.F.M. Sneevleit mencari jalan lain, yaitu mempengaruhi sejumlah anggota SI cabang Semarang agar menjadi anggota ISDV.
Pada masa itu, orang lazim memasuki beberapa organisasi sekaligus. Pihak pimpinan suatu organisasi pada saat itu tidak melarang anggotanya memasuki organisasi lain yang mempunyai dasar lain. Ada anggota Budi Utomo (BU) yang juga menjadi anggota SI dan menjadi anggota ISDV, atau sebaliknya.
Semaun dan Darsono, misalnya, adalah anggota SI cabang Surabaya, tetapi juga terpengaruh oleh marxisme. Semaun kemudian pindah ke Semarang dan memperkuat pengurus pusat ISDV di Semarang sambil menjadi anggota SI cabang Semarang.
Kegiatan ISDV dalam lingkungan SI kemudian menggoncangkan SI seperti terlihat dalam Volksraad, Aksi Pertahanan Hindia (Indië Weerbaar Actie), dan gerakan buruh. Bahkan pada 1920, golongan komunis, melalui Darsono yang pernah tinggal di Moskwa, menyatakan tidak percaya terhadap kepemimpinan Tjokroaminoto, terutama mengenai persoalan keuangan.
Hal ini diselesaikan pada kongres kelima (2–6 Maret 1921) di Yogyakarta, dan Darsono meminta maaf kepada Tjokroaminoto.
Memasuki 1920 lahir perpecahan antara golongan kanan (anggota SI yang berpaham Islam dan kemudian lebih dikenal sebagai SI Putih) dan golongan kiri (anggota SI yang berpaham marxisme dan lebih dikenal dengan sebutan SI Merah).
Setelah SI Semarang menjadi ‘merah’, banyaklah cabang SI lainnya yang jatuh ke bawah dominasi komunis dan menyebut dirinya sebagai SI Merah; nama SI tetap digunakan dalam upaya mengelabui massa muslim. Selama satu dekade, Partai Komunis Indonesia (PKI) muncul sebagai partai komunis terkuat di Asia.
Karenanya, Semaun, ketika itu sebagai salah seorang aktivis cabang Semarang yang beraliran komunis, menyarankan kepada pimpinan CSI dengan sangat agar pikiran untuk mendisiplinkan PKI dihilangkan saja.
Usaha Semaun itu dimentahkan dalam kongres 1921, yang diadakan tanpa kehadiran Tjokroaminoto (ketika itu ia masih berada dalam tahanan tetapi tetap menyokong pihak Salim-Muis).
Berdasarkan hasil pemungutan suara (23 lawan 7), kongres memutuskan untuk mengeluarkan orang komunis dari SI. Cabang SI yang menentang kepemimpinan Salim-Muis adalah cabang Semarang, Solo, Salatiga, Sukabumi, dan Bandung.
SAREKAT ISLAM |
1911 AD-SI disusun
1912 SI berdiri 1913 Kongres SI I di Surabaya 1914 Komunisme masuk SI 1915 Pengurus Pusat SI dibentuk 1916 Kongres SI II di Bandung; SI diakui resmi 1918 Kongres SI III; Tjokroaminoto duduk di Volksraad 1919 Kongres SI IV di Surabaya 1920 Perpecahan SI: SI Putih dan SI Merah 1921 Kongres SI V di Yogyakarta 1923 Kongres SI VII di Madiun 1924 Kongres SI VIII di Surabaya 1927 Kongres SI IX; SI menjadi parpol: PSI, lalu PSII 1929 Kongres PSII di Batavia 1934 Agus Salim keluar dari PSII 1938 PII berdiri 1947 PSII merekonsolidasi partai 1949 PSII mendirikan Sarekat Tani Islam Indonesia 1973 PSII melebur ke PPP |
Dengan demikian, tahun 1921 merupakan tahun perubahan SI: pertama, perubahan pada keterangan asas partai, dan kedua, perpecahan dengan kalangan PKI. Perpecahan itu tampaknya didorong oleh penegasan SI bahwa kebijakan dan kegiatannya semata-mata berdasarkan Islam. Hal ini masih dinyatakan dalam kongresnya pada Januari 1927 yang mengesahkan resolusi “kemerdekaan kebangsaan yang berdasarkan Islam”.
Menurut Tafsir Program Asas dan Program Tandhim PSII yang selesai disusun Oktober 1931, ternyata yang dimaksudkan dalam resolusi 1927 itu hanyalah bahwa PSI hendak memperjuangkan diterapkannya sistem demokrasi dalam negara Indonesia merdeka nanti, ketika kedaulatan berada di tangan rakyat dan pemerintah bertanggung jawab kepada rakyat melalui dewan perwakilan.
Sistem demokrasi yang demikian itu (menurut PSI) sesuai dengan ajaran Islam.
Tahun 1921 adalah tahun permulaan struktur baru SI. Dilakukan persiapan agar organisasi SI diubah menjadi satu partai yang terdiri dari anggota inti dari SI lama yang aktif dalam organisasi itu dan yang tidak goncang loyalitasnya kepada partai. Keputusan terakhir tentang perubahan struktur ini dihasilkan oleh kongres nasional ketujuh (17–20 Februari 1923) di Madiun, Jawa Timur.
Nama organisasi diubah dari SI menjadi PSI (Partai Sarekat Islam). Baru pada tahun 1927 transformasi yang sesungguhnya selesai dilakukan, walaupun struktur partai gaya baru telah diterima sejak 1923.
Sikap Partai Sarekat Islam (PSI) terhadap pemerintah dalam periode ini berlawanan sekali dari periode sebelumnya. Penahanan terhadap presiden partai, Haji Oemar Said Tjokroaminoto, selama 9 bulan pada 1921–1922 dan harapan partai kepada pemerintah untuk membersihkan nama presidennya dari segala tuduhan tentang keterlibatannya dalam SI ‘Afdeling B’ (suatu organisasi bawah tanah yang secara resmi tidak memiliki hubungan apa pun dengan SI), menyebabkan PSI tidak lagi mempercayai pihak pemerintah. Akibatnya, PSI melakukan politik ‘hijrah’, yang dilakukan pertama kali pada 1923.
Melalui kongres yang diselenggarakan di Surabaya (8–10 Agustus 1924) PSI akhirnya memutuskan bahwa partai tidak akan mempunyai seorang wakil pun di Volksraad. Keputusan ini diambil karena pemerintah tidak mempedulikan harapan partai akan pengangkatan Tjokroaminoto sebagai anggota Volksraad.
Pernyataan ini pernah juga disampaikan oleh KH Agus Salim dalam Volksraad 1923 bahwa PSI hanya berpartisipasi dalam dewan apabila Tjokroaminoto diangkat sebagai anggota.
Dalam kongres tersebut PSI juga melarang para anggota SI untuk melakukan hubungan langsung dengan dewan, kecuali melalui anggota oposisi di dalam Volksraad. Bahkan seorang anggota PSI, Suroso, yang ditunjuk pemerintah sebagai anggota Dewan, diminta PSI untuk berhenti sebagai anggota partai.
Suatu pertikaian antara PSI dan Muhammadiyah pada 1926 menyebabkan pihak PSI mengambil langkah disiplin terhadap Muhammadiyah. Selain itu, PSI berusaha memonopoli persoalan khilafah dengan menganggap diri sebagai satu-satunya wakil pihak Islam Indonesia dengan mengubah MAIHS (Mu‘tamar al-‘alam al-Islami Far’ al-Hindi asy-Syarqiyyah, ‘Kongres Islam Hindia Timur’) sebagai bagian dari partai.
Periode 1927–1942 diwarnai oleh banyak hal, antara lain perhatian lebih banyak kepada masalah teori dan falsafah seperti yang dicerminkan oleh Tafsir Asas dan Politik Hijrah. Pada 1930 nama partai diubah menjadi Partai Sarekat Islam Indonesia (PSII).
Pergantian nama itu sebenarnya berhubungan dengan isu yang terjadi dalam PPPKI (Permufakatan/ Persatuan Perhimpunan-Perhimpunan Politik Kebangsaan Indonesia), yaitu sekitar persoalan keanggotaan. Federasi ini memakai kebangsaan Indonesia sebagai syarat keanggotaan, sedangkan PSII menyatakan bahwa setiap muslim berhak menjadi anggota. Akhirnya PSII keluar dari PPPKI.
PSII kemudian mengalami perpecahan menjadi beberapa kelompok. Kelompok KH Agus Salim memisahkan diri dan mendirikan Pergerakan Penyadar. Ia dipecat dari partai oleh Abikusno Tjokrosujoso (1901–1968) pada 1934. Abikusno (saudara Tjokroaminoto) juga melakukan pemecatan terhadap Sekarmaji Marijan Kartosuwiryo (1905–1962), sehingga lahirlah kelompok Komite Pertahanan Kebenaran PSII pada 1939.
Sebelumnya, pada 1938, berdiri kelompok lain, Partai Islam Indonesia (PII), karena Sukiman pada 1933 dipecat dari partai melalui forum kongres. PII mendapat dukungan dari para tokoh Muhammadiyah, Persatuan Islam, dan Thawalib di Minangkabau, Sumatera Barat, yang kecewa terhadap PSII.
Setelah kemerdekaan Republik Indonesia, PSII dinyatakan berdiri kembali pada 1947 setelah menyatakan tidak mempunyai ikatan dengan Masyumi.
PSII memperoleh kursi dalam Kabinet Amir Syarifuddin I (3 Juli–11 November 1947), Kabinet Amir Syarifuddin II (11 November 1947–29 Januari 1948), Kabinet Wilopo (3 April 1952–30 Juli 1953), Kabinet Ali Sastroamidjojo I (30 Juli 1953–12 Agustus 1955), Kabinet Boerhanoeddin Harahap (12 Agustus 1955–24 Maret 1956), dan Kabinet Ali Sastroamidjojo II (24 Maret 1956–14 Maret 1957).
PSII juga berusaha mengorganisasi petani dalam Sarekat Tani Islam Indonesia, wanita dalam Pergerakan Wanita Islam Indonesia, buruh dalam Gabungan Sarekat Buruh Islam Indonesia, pemuda dalam Pemuda PSII, dan mahasiswa dalam Sarekat Mahasiswa Islam Indonesia. Organisasi itu umumnya didirikan sesudah penyerahan kedaulatan.
PSII terus berjalan sebagai partai politik sampai diadakannya fusi partai-partai Islam ke dalam Partai Persatuan Pembangunan (PPP) pada 1973. Setelah itu, Sarekat Islam menjadi satu organisasi kemasyarakatan Islam. Aktivitas Sarekat Islam didukung oleh surat kabar yang dikelolanya, yakni Oetoesan Hindia, Sinar Djawa, Pantjaran Warta, dan Saroetomo.