Samudera Pasai adalah sebuah kerajaan Islam pertama di Indonesia. Kerajaan ini terletak di pesisir timur laut Aceh (sejak 2001: Nanggroe Aceh Darussalam) yang sekarang dikenal dengan nama Kabupaten Lhokseumawe atau Aceh Utara. Untuk waktu yang lama Pasai dianggap oleh kerajaan Islam lain di Nusantara sebagai pusat Islam.
Kemunculan Samudera Pasai sebagai kerajaan Islam diperkirakan dimulai dari awal atau pertengahan abad ke-13, sebagai hasil dari proses islamisasi daerah pantai yang pernah disinggahi pedagang muslim sejak abad ke-7. Dugaan atas berdirinya Kerajaan Samudera Pasai pada abad ke-13 ini didukung data-data sejarah.
Yang terpenting di antaranya adalah nisan kubur dari Samudera Pasai di Gampong Samudera yang memuat nama Sultan Malikush Shaleh, raja pertama, dan berangka 696 H/1297 M.
Hikayat Raja-Raja Pasai menyebutkan bahwa raja yang pertama dan sultan pendiri Kerajaan Samudera Pasai adalah Malikush Shaleh. Dari hikayat itu juga diketahui bahwa gelarnya sebelum menjadi raja adalah Merah Sile atau Merah Selu, yang masuk Islam berkat pertemuannya dengan Syekh Ismail, seorang utusan Syarif Mekah yang kemudian memberinya gelar “Sultan Malikush Shaleh”.
Merah Selu adalah putra Merah Gajah. Nama “Merah” adalah gelar bangsawan yang lazim di Sumatera Utara, dan “Selu” kemungkinan berasal dari kata Sungkala yang aslinya berasal dari bahasa Sanskrit Chula. Kepemimpinannya yang menonjol telah menempatkan dirinya menjadi raja setelah sebelumnya ia ditolak dalam pengembaraannya dari satu tempat ke tempat lain.
Dari hikayat tersebut didapat petunjuk bahwa tempat yang pertama menjadi pusat Kerajaan Samudera Pasai adalah muara Sungai Pasangan, sebuah sungai yang cukup panjang dan lebar di sepanjang jalur pantai yang memudahkan perahu dan kapal sampai ke pedalaman.
Ada dua kota yang terletak berseberangan di muara Sungai Pasangan itu: Samudera dan Pasai. Kota Samudera terletak agak lebih ke pedalaman, sedangkan kota Pasai agak lebih ke muara sungai. Di kota Pasai inilah terletak beberapa makam raja.
Isi hikayat itu sejalan dengan sumber Cina yang menyatakan bahwa pada awal 1289 Kerajaan Samudera (Samutala) telah mengirim duta kepada raja Cina yang disebut dengan nama muslim, yakni Husein dan Sulaiman.
Kerajaan Samudera Pasai adalah sebuah kerajaan maritim. Dalam kehidupan perekonomiannya, kerajaan seperti itu pada masa pertumbuhan dan perkembangan Islam di Indonesia tidak mempunyai basis agraria, melainkan perdagangan dan pelayaran.
Pengawasan terhadap perdagangan dan pelayaran itu merupakan sendi kekuasaan mereka yang memungkinkan kerajaan memperoleh penghasilan dan pajak yang besar. Tomé Pires (pelancong dari Portugis) menceritakan bahwa di Pasai ada mata uang drama (dirham) yang berbentuk kecil.
Dikatakannya bahwa setiap kapal yang membawa barang dari Barat dikenakan pajak 6 persen. Ditinjau dari segi geografis dan sosial ekonomis, Samudera Pasai pada waktu itu memang merupakan suatu daerah yang penting sebagai penghubung antara pusat perdagangan yang terdapat di kepulauan Indonesia, India, Cina, dan Arab.
Kerajaan ini merupakan pusat perdagangan yang sangat penting. Adanya mata uang itu membuktikan bahwa kerajaan ini pada saat itu merupakan kerajaan yang makmur.
Mata uang dirham emas dari Samudera Pasai itu pernah diteliti oleh H.K.J. Cowan (seorang sejarawan Belanda) dalam menunjukkan bukti sejarah raja Pasai. Mata uang tersebut menggunakan nama Sultan Alauddin, Sultan Manshur Malik Zahir, Sultan Abu Zaid, dan Abdullah.
Pada 1973 ditemukan lagi sebelas buah mata uang dirham, di antaranya ada yang memuat nama Sultan Muhammad Malik Zahir, Sultan Ahmad, Sultan Abdullah, semuanya adalah raja Samudera Pasai pada abad ke-14 dan ke-15. Atas dasar mata uang emas yang pernah ditemukan itu dapat diketahui nama serta urutan para raja kerajaan itu.
Pada pertengahan abad ke-14 (746 H/1345 M), Ibnu Batutah, seorang pengembara terkenal dari Maroko, mengunjungi Samudera Pasai dalam perjalanannya dari Delhi ke Cina. Ketika itu Samudera Pasai diperintah oleh Sultan Malik Zahir, putra Sultan Malikush Shaleh.
Ibnu Batutah menyatakan bahwa Islam sudah hampir selama seabad disiarkan di sana. Ia meriwayatkan kesalehan, kerendahan hati, dan semangat keagamaan rajanya, yang seperti rakyatnya, mengikuti Mazhab Syafi‘i.
Berdasarkan beritanya juga, diketahui bahwa Kerajaan Samudera Pasai ketika itu merupakan pusat studi agama Islam dan juga tempat berkumpul ulama dari berbagai negeri Islam untuk berdiskusi tentang masalah keagamaan dan keduniawian sekaligus.
Kerajaan Samudera Pasai tetap berlangsung hingga 1524. Pada 1521 kerajaan tersebut ditaklukkan oleh Portugis yang mendudukinya selama 3 tahun. Setelah itu, pada 1524 dan seterusnya, Kerajaan Samudera Pasai berada di bawah pengaruh Kesultanan Aceh yang berpusat di Bandar Aceh Darussalam.