Samarra adalah ibukota Daulah Abbasiyah sejak 221 H/836 M sampai 286 H/889 M, terletak sekitar 111 km di sebelah utara kota Baghdad, dibangun dan dijadikan pusat pemerintahan oleh khalifah Abbasiyah ke-8, al-Mu‘tasim (218 H/833 M–227 H/842 M). Ibukota ini pernah didiami oleh tujuh khalifah Abbasiyah sebelum kembali ke ibukota lama, Baghdad.
Karena keindahannya, kota Samarra diberi nama Surur Man Ra’a, yang kemudian disingkat menjadi Surra Man Ra’a (menyenangkan bagi orang yang menyaksikannya), seperti tertulis pada mata uang kekhalifahan Abbasiyah.
Namun, setelah ditinggalkan para khalifah dan tidak lagi menjadi pusat pemerintahan dan ibukota Abbasiyah, kota ini dengan cepat mengalami kemunduran. Nama semula Surra Man Ra’a kemudian dipelesetkan menjadi Sa’ Man Ra’a yang dibaca Sa’marra’ (jeleklah orang yang menyaksikannya). Sampai sekarang, nama inilah yang dikenal orang, yaitu “Samarra”.
Sejarah. Kota ini dibangun di atas puing kota kuno yang sebelum Islam berada di bawah kekuasaan Bizantium. Nama kota kuno itu tidak begitu jelas. Hasan al-Basya, ahli sejarah dan penulis buku Dirasat fi al-hadarah al-Islamiyyah (Studi tentang Peradaban Islam), menyatakan bahwa nama kota kuno itu mendekati nama (bunyi) “Samarra”.
Akibat peperangan yang berulang-ulang, banyak bangunan di kota kuno itu hancur menjadi puing. Setelah berada di bawah kekuasaan Islam, kota ini sedikit demi sedikit mengalami pemugaran. Khalifah Abbasiyah pertama, Abu Abbas as-Saffah (132 H/750 M–137 H/754 M) adalah penguasa Islam pertama yang berusaha membangun kembali kota ini.
Usaha as-Saffah itu dilanjutkan Khalifah Harun ar-Rasyid (763–809) yang membangun sebuah istana di sana. Pada masanyalah sebuah sungai dekat kota itu digali dan diberi nama Sungai al-Qatul. Namun, pembangunan yang lebih terencana dilakukan secara besar-besaran pada masa Khalifah al-Mu‘tasim.
Khalifah al-Mu‘tasim adalah putra Khalifah Harun ar-Rasyid. Sebagai seorang khalifah keturunan Turki dari garis ibunya, ia kemudian mengambil kebijakan untuk mendatangkan banyak orang Turki ke ibukota kerajaan, Baghdad. Kebijakan itu menyebabkan kota Baghdad penuh sesak dengan orang Turki yang sering mengganggu ketenangan masyarakat serta menimbulkan banyak kesulitan.
Konflik antara penduduk lama Baghdad dan pendatang baru tersebut sering terjadi. Oleh karena itu, masyarakat Baghdad menyampaikan keluhan kepada Khalifah berkenaan dengan tingkah laku orang keturunan Turki tersebut. Oleh karena itu, Khalifah kemudian mengambil keputusan untuk memindahkan pusat pemerintahannya dari kota Baghdad ke Samarra.
Ia membangun kota itu dan mendirikan istana yang indah di sana. Di samping itu, dibangun pula pemukiman para pedagang dan buruh, tentara, panglima, pegawai, dan masyarakat pada umumnya. Yang membangun kota Samarra adalah para arsitek pilihan yang berpengalaman dari berbagai negeri Islam.
Setelah pembangunan itu selesai, Khalifah al-Mu‘tasim bersama para panglima dan tentaranya pindah ke sana. Dengan demikian, kota ini resmi menjadi pusat pemerintahan dan ibukota Daulah Abbasiyah. Sejak itu, kota ini dengan cepat mengalami perkembangan. Khalifah al-Mu‘tasim menetap di sana sampai akhir hayatnya.
Enam khalifah Abbasiyah berikutnya tetap menggunakan kota ini sebagai pusat pemerintahan dan ibukota kerajaan. Khalifah Abbasiyah ke-10, Abu Fadl Ja‘far al-Mutawakkil (232 H/847 M–247 H/861 M), banyak membangun dan memperindah kota ini.
Masa pemerintahannya memang ditandai oleh ketenteraman internal dan eksternal. Demikian pula Khalifah al-Muntasir (247 H/861 M–248 H/862 M) ikut berperan mempercantik kota ini dengan membangun taman, danau buatan, dan lapangan.
Al-Mu‘tasim dan al-Wasiq adalah khalifah yang kuat dan mampu mengendalikan orang Turki. Namun khalifah berikutnya lemah sehingga para panglima tentara Turki yang semakin kuat dapat mempengaruhi mereka secara politis serta mengendalikan kebijakan negara.
Campur tangan ini menyebabkan memburuknya sistem pemerintahan, bahkan pengaruh politik mereka begitu kuat sehingga para khalifah hanya menjadi “boneka” mereka. Untuk melepaskan diri dari pengaruh buruk orang Turki tersebut, khalifah Abbasiyah ke-15, al-Mu‘tamid (257 H/870 M–279 H/892 M), pada 889 memindahkan kembali pusat pemerintahan dan ibukota kerajaan ke Baghdad.
Arsitektur. Sesuai dengan nama yang diberikan khalifah, Surra Man Ra’a, kota yang indah ini berdiri di tepi timur Sungai Dajlah (Tigris) dan dikelilingi dua anak sungai, Sungai al-Qatul dan Sungai al-Yahudi, sehingga menyerupai sebuah pulau.
Lingkungan alam yang nyaman itu diperindah lagi dengan banyaknya istana yang didirikan tujuh khalifah Abbasiyah yang berkuasa dan mengatur pemerintahannya di sana.
Khalifah al-Mu‘tasim mendirikan istana al-Jawsaq dan Khalifah al-Wasiq (227 H/842 M–232 H/847 M) istana al-Haruni. Khalifah al-Mutawakkil bahkan membangun 24 buah istana, yang terkenal di antaranya adalah Balkawari, al-Arus, al-Mukhtar, dan al-Wahid.Istana al-Arus merupakan yang terindah.
Khalifah al-Mutawakkil di akhir masa pemerintahannya mendirikan sebuah kota baru, al-Ja‘fariyah, di utara Samarra. Di kota baru ini terdapat istana al-Ja‘fari. Al-Mu‘tamid (257 H/870 M–279 H/892 M), khalifah terakhir yang berkuasa di sana, mendirikan istana al-Ma‘syuq. Karena keindahannya, istana itu kemudian menjadi model bangunan yang memberi inspirasi pada arsitektur istana di dunia Islam lainnya.
Di samping bangunan istana, di kota ini juga terdapat dua masjid, yakni yang didirikan Khalifah al-Mu‘tasim dan Khalifah al-Mutawakkil. Masjid kedua lebih besar dari yang pertama dan disebut juga Masjid Raya Samarra. Atap Masjid Raya Samarra berbentuk kubah yang berlapis emas.
Arsitekturnya unik, menunjukkan ciri khas Timur Tengah. Di bagian luar ada ruangan tanpa atap. Pintu masuknya berbentuk lengkungan. Pada setiap sudut serambi berdiri menara berbentuk bulat, terbuat dari bata. Menara tersebut begitu tinggi sehingga masih tampak dari jarak satu hari perjalanan.
Tiang-tiang masjid raya ini berjajar membentuk lorong dengan atap melengkung. Bagian tengah tiang, yang juga terbuat dari bata, berbentuk persegi empat, sementara bagian bawah dan atasnya persegi delapan.
Pintu gerbang kota Samarra, yang dinamai Abu Dulaf, berbentuk lengkungan seperti yang digunakan dalam banyak arsitektur Islam. Namun, lengkungan pintu gerbang kota Samarra ini berbeda dengan lengkungan yang biasa pada arsitektur bangunan Islam sebelumnya. Lengkungannya meruncing dan terpusat pada satu titik. Dengan demikian, ciri arsitektur Islam seperti ini berbeda dari gaya arsitektur Gotik Barat.
Penemuan arkeologis menunjukkan bahwa di kota Samarra telah berkembang seni Islam yang bermutu tinggi. Karena berpengaruh secara luas, seni Islam yang ditemukan di Samarra merupakan seni global (internasional) karena di dalamnya terpadu unsur seni Yunani, Koptik (Qibti: Mesir Kuno), Persia, dan India.
Akhir Riwayat Samarra. Setelah pusat pemerintahan Abbasiyah dipindahkan kembali dari Samarra ke Baghdad pada 889, daya tarik kota Samarra dengan cepat menurun. Sejak itu, keindahannya pun memudar.
Bahkan kota ini lama-kelamaan ditinggalkan penduduknya, sehingga sejak abad ke-10 satu per satu bangunannya hancur dengan sendirinya dan yang tersisa hanyalah sebuah perkampungan kecil.
Tidak terlihat lagi keindahan kota yang banyak disebutkan para sejarawan dan para penjelajah muslim di masa lampau dalam karya mereka. Tidak satu pun bangunan tersebut dapat ditemukan utuh, kecuali Masjid Raya Samarra yang didirikan Khalifah al-Mutawakkil.
Batu puing bangunan besar di masa lalu bahkan dimanfaatkan penduduk sebagai material bangunan mereka. Namun, kemasyhurannya di masa lalu telah mendorong banyak arkeolog untuk melakukan ekskavasi untuk mengetahui peninggalan masa lalu di sana. Di sinilah pertama kali dilakukan ekskavasi arkeologis di wilayah Islam.
Di antara peninggalan sejarah yang tersisa di Samarra, selain Masjid Raya Samarra, adalah makam Ali al-Hadi (w. 868), imam ke-10 Syiah Itsna ‘Asyariyah (Syiah Dua Belas), dan makam para khalifah Abbasiyah.
Di samping itu ditemukan pula sebuah bangunan bawah tanah (gua) yang diyakini orang Syiah sebagai tempat akan “muncul”-nya Imam *Mahdi, imam ke-12 Syiah Dua Belas, karena di gua itu pula ia “hilang”.
Sejak “hilang”-nya Imam Mahdi itu sampai sekarang, tempat ini sering diziarahi orang Syiah. Dalam gua tersebut terdapat sebuah kamar yang biasa digunakan beberapa pimpinan Syiah sebagai tempat pengasingan diri.
Untuk sampai ke kamar itu, orang harus melalui anak tangga di lorong gelap. Konon, yang mendirikan bangunan bawah tanah ini adalah Hasan al-Askari (w. 874), imam ke-11 Syiah Dua Belas.