Salat tahyatul masjid disyariatkan Rasulullah SAW sebagai penghormatan kepada masjid. Salat ini dilakukan oleh orang yang masuk ke masjid sebelum duduk. Ulama berbeda pendapat mengenai hukum salat tahyatul masjid. Menurut jumhur (mayoritas) ulama, hukumnya adalah sunah, sementara Mazhab az-Zahiri berpendapat bahwa hukumnya wajib.
Perbedaan pendapat mengenai hukum salat tahyatul masjid terjadi karena ada perbedaan pendapat dalam memahami amar (perintah) yang terkandung dalam hadis Rasulullah SAW, yang berarti: “Apabila salah seorang kamu datang ke masjid, salatlah dua rakaat” (HR. Bukhari). Hadis ini merupakan hadis sahih yang disepakati keabsahannya.
Bagi kalangan Mazhab az-Zahiri yang memegang prinsip bahwa pada dasarnya amar itu menunjukkan wajib, salat tahyatul masjid itu adalah wajib secara hukum. Menurut mereka, amar pada hadis ini tidak dapat diartikan lain dari wajib karena tidak ada petunjuk (qarinah) yang dapat digunakan untuk menyatakan “tidak wajib”.
Namun, bagi kalangan jumhur, amar dalam hadis di atas tidak menunjukkan wajib, tetapi menunjukkan sunah.
Golongan yang berpendapat bahwa salat tahyatul masjid adalah wajib tidak melihat adanya pertentangan di antara kedua hadis di atas. Menurut mereka, kewajiban salat tahyatul masjid berkaitan erat dengan masuknya seseorang ke dalam masjid. Karena itu, kewajibannya hanya berlaku jika orang masuk ke dalam masjid dan kewajiban itu tidak ada jika tidak memasuki masjid.
Hal ini berbeda dengan salat lima waktu yang memang wajib dikerjakan tanpa keterkaitan dengan apa pun, kecuali halangan syarak (hukum Islam), seperti haid dan nifas.
Di samping hadis di atas, ada hadis lain yang menunjukkan bahwa salat tahyatul masjid disyariatkan, dengan gaya penuturan yang berbeda. Hadis tersebut adalah hadis riwayat Bukhari dan Muslim dari Abu Qatadah yang berarti:
“Jika salah seorang dari kamu masuk ke masjid, janganlah duduk, kecuali setelah salat dua rakaat” dan hadis riwayat Jamaah dari Abu Qatadah yang berarti: “Jika salah seorang dari kamu masuk ke masjid hendaklah salat dua rakaat sebelum duduk.”
Pada dasarnya, salat tahyatul masjid dikerjakan dua rakaat, sebagaimana disebutkan di dalam hadis tersebut di atas. Namun, ulama berbeda pendapat mengenai kebolehan menambah rakaat dengan niat tahyatul masjid. Kalangan Mazhab Syafi‘i dan Mazhab Hanbali berpendapat bahwa seseorang boleh menambah rakaat salat tahyatul masjid sebanyak yang diinginkannya, dengan niat yang sama.
Kalangan Mazhab Hanafi berpendapat bahwa salat tahyatul masjid itu terdiri atas dua atau empat rakaat, tidak boleh ditambah lagi dengan niat yang sama. Karena itu, jika ada orang yang ingin memperbanyak salat sunah di masjid setelah mengerjakan empat rakaat salat itu, ia dapat melanjutkan salat sunah dengan niat yang lain, seperti niat salat sunah mutlak.
Adapun menurut Mazhab Maliki, salat tahyatul masjid hanya terdiri atas dua rakaat tanpa ada tambahan apa-apa.
Menurut Abdurrahman al-Jaziri, ada empat syarat untuk melakukan salat tahyatul masjid.
(1) Masuk ke dalam masjid tidak pada waktu terlarang untuk salat sunah, seperti pada waktu matahari terbit dan sesudah salat asar.
(2) Masuk ke dalam masjid dalam keadaan suci dari hadas. Apabila masuk ke dalam masjid dalam keadaan tidak berwudu, menurut Mazhab Hanafi, Maliki, dan Hanbali, seseorang tidak dituntut untuk mengerjakan salat tahyatul masjid. Menurut Mazhab Syafi‘i, ia tetap dituntut untuk mengerjakannya kalau mungkin berwudu.
(3) Masuk ke dalam masjid tidak pada saat pelaksanaan salat jemaah akan dimulai. Menurut Mazhab Hanafi, Syafi‘i, dan Hanbali, jika masuk ke dalam masjid pada saat salat jemaah dilaksanakan, seseorang tidak usah melaksanakan salat tahyatul masjid. Mazhab Maliki mensyaratkan imam salat jemaah itu adalah imam yang tetap. Jika ia bukan imam tetap, seseorang yang masuk ke dalam masjid pada saat seperti itu boleh melakukan salat tahyatul masjid.
(4) Masuk ke dalam masjid tidak pada saat khatib menyampaikan khotbahnya, baik khotbah Jumat, Idul Fitri, Idul Adha, maupun sejenisnya. Jika seseorang masuk pada saat khatib menyampaikan khotbahnya, menurut Mazhab Maliki dan Hanafi, ia tidak perlu melakukan salat tahyatul masjid.
Namun menurut Mazhab Syafi‘i dan Hanbali, salat itu tetap dilaksanakan dan hukumnya sunah. Salat itu tidak boleh lebih dari dua rakaat. Sekalipun demikian, jika ia sudah terlanjur duduk, tidak disunahkan berdiri untuk mengerjakan salat tahyatul masjid.
Mazhab Hanafi, Syafi‘i, dan Hanbali, tidak mensyaratkan tetap tinggalnya seseorang di dalam masjid untuk melaksanakan salat tahyatul masjid. Bagi mereka, yang penting adalah bahwa orang itu memasuki masjid. Karena itu, meskipun ada orang yang masuk ke dalam masjid hanya sekadar lewat dari satu sudut ke sudut yang lain, ia tetap dituntut untuk melaksanakan salat tahyatul masjid.
Berbeda dengan Mazhab Maliki. Menurutnya, orang yang disunahkan melakukan salat tahyatul masjid adalah orang yang memang bermaksud duduk dalam masjid. Karena itu, apabila hanya sekadar lewat, seseorang tidak dituntut mengerjakannya.