Salat Tahajud

(Ar.: salah at-tahajjud)

Salat tahajud adalah salat sunah (berpahala jika dijalankan, tidak berdosa jika ditinggalkan) yang dikerjakan pada malam hari dan dilaksanakan setelah tidur terlebih dahulu, walaupun tidur hanya sebentar.

Dalam hadis lain disebutkan pula: “Rasulullah SAW ditanyai mana di antara sekian banyak macam salat yang lebih utama sesudah salat fardu? Nabi SAW menjawab, ‘Salat dalam rongga malam’” (HR. Jamaah, kecuali Bukhari, dari Abu Hurairah).

Anjuran melaksanakan salat tahajud terdapat baik dalam Al-Qur’an dan maupun dalam hadis Rasulullah SAW. Dalam Al-Qur’an antara lain disebutkan: “Dan pada sebagian malam hari bersembahyang tahajudlah kamu sebagai suatu ibadah tambahan bagimu; mudah-mudahan Tuhanmu mengangkat kamu ke tempat yang terpuji” (QS.17:79).

“Bangunlah (untuk sembahyang) di malam hari, kecuali sedikit (daripadanya), (yaitu) seperduanya atau kurangilah dari seperdua itu sedikit, atau lebih dari seperdua itu…” (QS.73:2–4).

“Sesungguhnya Tuhanmu mengetahui bahwasanya kamu berdiri (sembahyang) kurang dari dua pertiga malam, atau seperdua malam atau sepertiganya dan (demikian pula) segolongan dari orang-orang yang bersama kamu…” (QS.73:20).

Adapun hadis yang menganjurkan salat tahajud ini di antaranya adalah perkataan Abdullah bin Salam RA, tatkala Rasulullah SAW sampai di Madinah: “Yang pertama saya dengar dari ucapannya adalah, wahai manusia, luaskanlah ucapan salam, berikanlah makanan, bersilaturahmilah, dan salat malamlah ketika orang sedang pulas tidur, niscaya kamu masuk surga dengan selamat” (HR. Ibnu Majah, al-Hakim, dan at-Tirmizi).

Adapun adab melaksanakan salat tahajud adalah sebagai berikut.
(1) Berniat akan melakukan salat tahajud ketika akan tidur. Hal ini sesuai dengan sabda Nabi SAW: “Barangsiapa yang mau tidur dan berniat akan bangun melakukan salat di waktu malam, tetapi ia tertidur sampai pagi, dituliskan untuknya apa yang diniatkannya dan tidurnya merupakan sedekah Tuhan untuknya” (HR. Ibnu Majah dan an-Nasa’i dari Abu Darda).
(2) Membersihkan bekas tidur dari wajah, kemudian bersuci dan memandang ke langit sambil membaca bagian akhir dari surah ali ‘Imran.
(3) Membuka salat tahajud dengan dua rakaat salat yang ringan.
(4) Membangunkan keluarga untuk sama-sama melakukan salat tahajud.
(5) Menghentikan salat tahajud itu sebentar dan duduk sampai rasa kantuk hilang (apabila mengantuk).
(6) Tidak memaksakan diri dan melakukan salat itu sesuai dengan kesanggupan. Untuk itu, membiasakan diri merupakan jalan yang paling baik, karena jika sudah terbiasa bangun tengah malam, rasa berat dan kantuk tidak akan ada.

Salat tahajud boleh dilakukan di awal, tengah, atau di akhir malam asalkan sesudah tidur. Ketiga bagian waktu tersebut telah dicontohkan oleh Nabi SAW. Nabi SAW bersabda, “Salat sesudah salat isya adalah salat malam” (HR. at-Tabrani dari Iyasy bin Mu‘awiyah Muzani).

Dalam hadis yang disampaikan oleh Amar bin Abasah dijelaskan bahwa ia mendengar Nabi SAW bersabda, “Waktu yang paling dekat Tuhan kepada hamba-Nya adalah dalam rongga malam yang akhir. Oleh karena itu, kalau engkau mampu menyebut nama Allah pada saat itu, hendaklah engkau lakukan” (HR. at-Tirmizi, an-Nasa’i, al-Hakim, dan Ibnu Khuzaimah).

Melakukan salat tahajud pada sepertiga malam yang akhir adalah lebih baik, karena pada saat itu terdapat waktu ketika doa para hamba dikabulkan Allah SWT, seperti sabda Nabi SAW yang berarti:

“Tuhan kita yang Maha Mulia dan Maha Agung turun setiap malam ke dunia ketika sepertiga akhir dari malam, kemudian Allah SWT berfirman, ‘Barangsiapa berdoa kepada-Ku niscaya Aku perkenankan doanya, barangsiapa yang memohon kepada-Ku Kuberikan permohonannya, dan barangsiapa yang minta ampun Aku ampuni dia’” (HR. Jamaah dari Amar bin Abasah).

Berkenaan dengan jumlah rakaat salat tahajud, tidak terdapat bilangan tertentu dan tidak ada pula batasannya. Samurah bin Jundub mengatakan, “Rasulullah SAW memerintahkan kami agar melaksanakan salat malam sedikit atau banyak dan menjadikan akhirnya salat witir” (HR. at-Tabrani dan al-Bazzar).

Ibnu Abbas juga mengatakan, “Kami disuruh oleh Rasulullah SAW melakukan salat malam dan supaya menggemarinya, hingga ia mengatakan, ‘Lakukan salat malam sekalipun satu rakaat’” (HR. at-Tabrani).

Aisyah pun pernah menerangkan bahwa Nabi SAW membuka salat malam dengan 2 rakaat yang ringan, sesudah itu beliau mengerjakan 10 rakaat sunah tahajud dengan 5 kali salam, dan sesudah itu beliau mengerjakan sunah witir 1 rakaat. Umar bin Khattab pernah menerangkan, bahwa Rasulullah SAW mengerjakan salat tahajud 8 rakaat dengan 4 kali salam, sesudah itu beliau mengerjakan sunah witir 1 rakaat.

Saib bin Yazid juga mengatakan bahwa Nabi SAW mengerjakan salat tahajud 13 rakaat, yaitu 2 rakaat iftitah (pembukaan), 8 rakaat sunah tahajud, dan 3 rakaat sunah witir. Selain dari keterangan di atas masih banyak lagi keterangan lain yang menjelaskan cara Nabi SAW melakukan salat tahajud, antara satu dan yang lain terdapat perbedaan. Oleh sebab itu, ulama tidak membatasi jumlah rakaat tahajud.

Bagi ulama Mazhab Syafi‘i, bilangan rakaat salat tahajud tidak terbatas, namun lebih baik dilaksanakan masing-masing dua rakaat. Hal ini didasarkan atas sabda Nabi SAW: “Salat malam itu dua rakaat dua rakaat” (HR. al-Khamsah dari Ibnu Umar, Aisyah, dan Ummu Hani‘). Pandangan ini sama dengan pendapat Abu Hanifah (Imam Hanafi) dan al-Auza’i.

Salat tahajud lebih utama dilaksanakan di rumah. Rasulullah SAW bersabda, “Seyogyanya anda melakukan salat (sunah) di rumah anda. Sesungguhnya sebaik-baik salat seseorang adalah di rumahnya kecuali salat fardu” (HR. Muslim).

Salat tahajud juga dapat dikada apabila luput mengerjakannya. Aisyah RA menceritakan bahwa apabila Rasulullah SAW ketinggalan salat tahajudnya, maka Rasulullah SAW melakukannya di siang hari sebanyak dua belas rakaat (HR. al-Jamaah kecuali al-Bukhari).

DAFTAR PUSTAKA
al-Ghazali, Abu Hamid Muhammad bin Muhammad. Ihya’‘Ulum ad-Din. Cairo: Mustafa al-Babi al-Halabi, 1939.
an‑Nawawi, Abu Zakaria Yahya Muhiddin bin Syarf ad‑Dimasqi. al‑Majmu‘ Syar… al‑Muhadzdzab. Cairo: al‑Imam, t.t.
ar-Ramli, Syihabuddin Ahmad. Nihayah al-Muhtaj. Cairo: Mustafa al-Babi al-Halabi, t.t.
Sabiq, Sayid. Fiqh as-Sunnah. Beirut: Dar al-Fikr, 1983.
as-San’ani, Muhammad bin Isma’il al-Kahlani. Subul as-Salam. Bandung: Dahlan, t.t.
asy-Syaukani, Muhammad bin Ali bin Muhammad. Nail al-Authar. Cairo: Mustafa al-Babi al-Halabi, t.t.
Yunasril Ali