Salat Daim

(Ar.: salah ad-da’im)

Salat berarti “doa atau memohon rahmat dan ampun (istigfar)”; adapun daim berarti “kekal atau tetap”. Salat daim berarti “doa kekal dan tetap”. Istilah ini tidak ada dalam kepustakaan Islam yang terkenal. Salat daim, seperti dalam surah al-Ma‘arij (70) ayat 23 (“Yang mereka itu tetap mengerjakan salatnya”) mengandung arti “salat yang dilakukan”, yaitu terus-menerus dalam waktu yang telah ditentukan.

Muhammad Mustafa al-Maraghi menyebut mereka yang melakukan salat daim sebagai: “orang yang senantiasa menjaga salat mereka menurut waktu yang telah ditentukan, tanpa terpengaruh berbagai kesibukan mereka.”

Salat daim terdapat dalam kepustakaan Jawa. Tidak seperti salat lima waktu dan salat sunah (nawafil), salat daim tidak terikat dengan waktu, tanpa rukuk, dan tanpa sujud. Sebutan lengkap untuk salat ini adalah salat daim mulat salira, yaitu zikir yang kekal dan mawas diri. Mawas diri di sini berarti “selalu ingat atau eling kepada Tuhan Yang Maha Esa”.

Dalam buku Salat Daim Mulat Salira karya Bratakesawa dijelaskan: “Salat daim ialah sembahyang yang tetap, yang selalu dilaksanakan, atau sembahyang yang tidak pernah ditinggalkan, mawas diri, dan mawas aku (melihat dengan teliti akan diri sendiri atau dirinya dalam arti yang seutuhnya).

Melakukan ini amat penting bagi kita yang mencari ilmu hakikat. Dan melakukan yang demikian inilah yang disebut dengan salat daim mulat salira.”

Tidak berbeda dengan penjelasan ini, R. Ngabehi Ranggawarsita (Ronggowarsito) dalam bukunya Wirid Ma’lumat Jati menyatakan bahwa yang dimaksud dengan salat daim adalah:

“Memperhatikan dengan seksama rasa hidup kita semua, lalu mengakui dirinya menjadi penampakan lahiriah Tuhan Yang Maha Suci yang sejati, Yang Maha Kuasa, Yang Kuasa menciptakan segala sesuatu. Kalau sudah bisa demikian, itulah yang disebut salat daim, yaitu salat sejati.”

Tentang tata cara pelaksanaan salat daim ini dijelaskan oleh Ranggawarsita, yaitu: “Saya berniat salat daim untuk selama hidupku, berdirinya adalah hidupku, rukuknya adalah penglihatanku, iktidalnya adalah pendengaranku, sujudnya adalah penciumanku, bacaan ayat adalah ucapanku, duduknya adalah imanku, pujiannya adalah keluar masuknya napasku, zikirnya adalah ingatanku, kiblatnya adalah renunganku, fardu menjalankan yang wajib lantaran kodratku sendiri. Di situ lalu pasrah kepada Zat hidup kita pribadi. Jangan ragu-ragu lagi, karena yang demikian itu telah berdiri Zat, sifat dan perbuatan kita ini sudah menjadi Al-Qur’an sejati, sebagai tanda hakikat semua salat.”

Lebih lanjut Ranggawarsita menjelaskan, “Itulah salat daim, yakni salat yang sejati, ia tanpa diantarai waktu, tidak mempunyai hitungan rakaat, mereka ini bisa disebut salat sambil bekerja, melakukan pekerjaan sambil salat, duduk dengan berdiri, berdiri dengan duduk, lari dengan berhenti, membisu dengan berceritera, bepergian dengan tidur, tidur dengan jaga.

Seperti itulah ibaratnya, sebab hakikat salat daim tanpa sujud dan rukuk, yakni hanya berada dalam rasa hidup kita.”

Menurut Ranggawarsita, karena hakikat salat terletak pada perbuatan utama, yakni sabar dalam pendengaran, maka jika bisa menutup telinga untuk tidak mendengar hal yang tidak bermanfaat, berarti seseorang telah melaksanakan salat.

Salat daim tersebut menurut mereka merupakan bentuk pengembaraan ahli kerohanian dalam mencari Tuhan. Untuk menemui Tuhan Yang Maha Kuasa, Maha Suci, dan Maha Sempurna, seseorang harus suci secara lahir dan batin dalam pencarian itu.

Karena itu ia harus menghidupkan hati dan perasaannya untuk selalu ingat dan berzikir kepada Tuhan. Hal ini bisa dicapai dengan cara salat daim dalam arti tasawuf, yaitu “ingat dan zikir yang terus-menerus”.

Dengan demikian salat daim ini tidak termasuk dalam arti salat fardu lima waktu dan salat sunah, melainkan lebih sesuai jika diartikan zikir secara sufi yang terus-menerus.

Al-Qur’an menganjurkan banyak zikir di luar salat. Dalam hubungan ini Allah SWT berfirman, “Apabila telah ditunaikan salat, maka bertebaranlah kamu di muka bumi dan carilah karunia Allah dan ingatlah Allah banyak-banyak supaya kamu beruntung” (QS.62:10).

Artinya, apabila melakukan salat daim itu dalam arti “zikir”, tidak lantas seorang muslim bebas dari tugas melaksanakan salat fardu lima waktu sebagai kewajiban yang tidak dapat ia tinggalkan.

Setiap orang muslim wajib melaksanakan salat lima waktu secara aktif, rajin, baik, dan benar. Di samping itu ia perlu berzikir kepada Allah SWT kapan dan di mana pun, baik melalui salat fardu atau sunah dengan tata aturan yang baku, maupun di luar salat dengan cara yang tidak diatur secara baku.

Cara yang disebut belakangan inilah salat daim dalam arti tasawuf, dalam bentuk zikir, ingat, eling, atau renungan rohaniah lainnya yang dapat dilakukan secara bebas tanpa ikatan aturan yang baku.

Jika salat dalam arti “syariat” lebih menekankan aspek perilaku lahiriah dalam bentuk berbagai ucapan dan perbuatan yang diawali dengan takbir dan diakhiri dengan salam, salat dalam arti “tasawuf” mengambil bentuk perilaku salat dimaksud yang dibarengi dengan khusyuk, hadir hati, dan selalu ingat kepada Allah SWT.

Salat yang demikian menuntut pelakunya untuk menghadapkan sepenuh hatinya kepada Allah SWT yang dapat menumbuhkan rasa hormat, segan, dan takut serta kagum akan kebesaran, keagungan, dan kekuasaan-Nya. Salat daim mulat salira akan lebih mudah dipahami dengan pendekatan makna salat menurut tasawuf daripada dengan syariat, meskipun tidak sepenuhnya sama.

Namun demikian, ulama tasawuf, seperti at-Tusi, al-Qusyairi, al-Ghazali, dan as-Sukandari, menghendaki keterpaduan pengamalan salat menurut syariat dan tasawuf serta keterpaduan syarat rukun salat secara lahiriah dengan penghayatan kedalaman makna batiniah.

DAFTAR PUSTAKA
Bratakesawa. Salat Daim Mulat Salira. Surabaya: Yayasan Djojobojo, 1965.
Ranggawarsita. Wirid Ma’lumat Sejati. Solo: Sadu Budi, 1975.
____________. Wirid Hidayat Jati, Surabaya: Tri Murti, 1954.
J. Suyuti Pulungan