Salahuddin Yusuf al-Ayyubi

(Tikrit, Irak, 532 H/1138 M – Damascus, Safar 589/Februari 1193)

Salahuddin Yusuf al-Ayyubi adalah pendiri Dinasti Ayubiyah di Mesir. Ia dikenal sebagai panglima muslim pemenang Perang Salib. Orang Eropa menyebutnya Saladin. Atas permintaan penguasa Fatimiyah, ia berhasil mengusir tentara Kristen dalam Perang Salib 564 H/1169 M dari Mesir, dan juga berhasil merebut Yerusalem pada 1187 dari pasukan Kristen. Ia terkenal sebagai ahli ilmu agama Islam Suni.

Salahuddin Yusuf al-Ayyubi adalah putra Najmuddin bin Ayyub, seorang keturunan suku Kurdi yang berasal dari Azerbaijan. Ia ditunjuk Nuruddin Zangi, gubernur Suriah, sebagai pemimpin garnisun di Baalbek.

Pendidikan dan kehidupan masa muda Salahuddin Yusuf al-Ayyubi kurang dikenal oleh masyarakat. Ia senang berdiskusi tentang ilmu kalam, ilmu fikih, Al-Qur’an, dan hadis. Ketika Nuruddin Zangi menguasai Damascus, ayahnya memperkenalkannya kepada Nuruddin Zangi.

Ia kemudian muncul di depan publik dan dikenal Salahuddin Yusuf al-Ayyubi, panglima muslim pemenang Perang Salib masyarakat menjelang keberangkatannya ke Mesir untuk menyertai pamannya, Asaduddin Syirkuh, dalam suatu ekspedisi militer.

Liku-liku kehidupan Salahuddin Yusuf al-Ayyubi penuh dengan perjuangan dan peperangan. Peperangan yang dilaluinya begitu beragam, adakalanya hanya memadamkan pemberontakan dalam negeri yang dilakukan oleh gerakan pengacau keamanan dan makar, dan adakalanya pula melawan pasukan Salib (Perang Salib) yang berusaha menguasai dunia Islam dan merampas haknya dengan penuh kekejaman.

Semua peperangan itu berakhir dengan kemenangan di tangan Salahuddin Yusuf al-Ayyubi. Kota Islam yang dikuasai pasukan Salib yang berpusat di Baitulmakdis (Yerusalem) berhasil dibebaskannya. Walaupun demikian, ia bukanlah jenderal yang tamak, haus kekayaan, dan haus darah. Hal ini terbukti sejak semula keberangkatannya ke Mesir. Ia bukan tipe orang yang ambisius.

Perang hanya dilakukannya sebagai pembelaan dan pertahanan agama, baik secara ajaran maupun politik. Ia sebenarnya lebih mengutamakan perdamaian daripada perang. Hal ini tergambar dalam perdamaian yang berulang-ulang, baik dengan kaum Assassin yang mencoba mengganggu keamanan dalam negeri maupun dengan kaum Salib yang dipimpin raja-raja Eropa.

Salahuddin Yusuf al-Ayyubi mempunyai toleransi yang tinggi terhadap agama lain. Ketika menguasai Iskandariyah ia mengunjungi orang Kristen, dan setelah perdamaian tercapai dengan pasukan Salib ia mengizinkan mereka berziarah ke Baitulmakdis.

Ia tidak menyenangi pasukan Salib tatkala sudah menjadi kekuatan politik untuk meruntuhkan kekuasaan Islam dan merampas hak kaum muslimin yang sudah diperolehnya berabad­abad. Memang ia pernah mewajibkan pakaian khusus kepada orang Yahudi dan Nasrani, tetapi ini hanyalah melanjutkan kebijakan Nuruddin Zangi pada waktu itu.

Salahuddin Yusuf al-Ayyubi meniti karier dengan lancar untuk sampai ke puncak prestasinya. Keberhasilannya sebagai tentara pejuang pertama kali terlihat ketika ia pergi ke Mesir mendampingi pamannya, Asaduddin Syirkuh, yang mendapat tugas dari Nuruddin Zangi untuk membantu Dinasti Fatimiyah mengembalikan kekuasaannya.

Perdana Menteri Syawar yang dikudeta Dirgam menjanjikan imbalan sepertiga pajak tanah Mesir. Dirgam dapat dibunuh dan Syawar dapat kembali ke posisi semula (560 H/1164 M).

Tiga tahun kemudian Salahuddin Yusuf al-Ayyubi kembali menyertai pamannya ke Mesir. Kali ini Nuruddin Zangi mengirim Asaduddin Syirkuh ke Mesir karena Syawar mengadakan perjanjian baru dengan Amaury, yang dahulu pernah akan membantu Dirgam, yang akan membahayakan posisi Nuruddin Zangi khususnya dan Islam umumnya.

Walaupun telah terjadi peperangan yang sengit antara kedua belah pihak, bahkan Salahuddin Yusuf al-Ayyubi yang telah menduduki Iskandariyah dikepung dari darat dan laut oleh pasukan Salib, akhirnya peperangan itu berakhir dengan perjanjian perdamaian (Agustus 1167), yang berisi antara lain pertukaran tawanan perang.

Salahuddin Yusuf al-Ayyubi kembali ke Suriah, Amaury kembali ke Yerusalem, dan Iskandariyah diserahkan kepada Syawar.

Kunjungan Salahuddin Yusuf al-Ayyubi yang ketiga kalinya ke Mesir adalah untuk mengusir tentara Amaury yang berusaha menguasai Mesir secara keseluruhan, sehingga dapat membahayakan dunia Islam (khususnya rakyat Mesir yang banyak dibunuh) dan kedudukan Khalifah al-Adid (khalifah Fatimiyah yang terakhir).

Amaury dapat dikalahkan dan Mesir berhasil diselamatkan dari cengkeraman pasukan Salib. Syawar tidak senang kepada Asaduddin Syirkuh dan Salahuddin Yusuf al-Ayyubi yang mendapat sambutan khalifah dan masyarakat. Karena itu ia berusaha membunuhnya. Namun, tentara Syirkuh lebih jeli dan akhirnya Syawar dapat ditangkap dan dibunuh atas perintah khalifah.

Sebagai imbalan, khalifah mengangkat Asaduddin Syirkuh sebagai perdana menteri Mesir (564 H/1169 M). Ini untuk pertama kalinya keluarga al-Ayyubi menjadi perdana menteri. Asaduddin Syirkuh berkuasa hanya 2 bulan, kemudian khalifah mengangkat Salahuddin Yusuf al-Ayyubi sebagai perdana menteri dengan gelar al-Malik an-Nasir (25 Jumadilakhir 564/26 Maret 1169). Pada waktu itu ia berumur 32 tahun.

Sejak itu kehidupan Salahuddin Yusuf al-Ayyubi semakin membaik. Sambutan atas jabatan barunya pertama kali datang dari Nuruddin Zangi sendiri. Ia dianggap sebagai panglima tentara Suriah. Setelah menduduki jabatan perdana menteri, ia diperintahkan Nuruddin Zangi untuk menghilangkan nama Khalifah al-Adid dari khotbah Jumat, yang berarti berakhirnya masa kekuasaan Dinasti Fatimiyah.

Meskipun tampak enggan dan berat, akhirnya ia melakukan juga tugas ini. Sebagai gantinya, disebut nama khalifah Abbasiyah dan sejak itu bendera Abbasiyah mulai berkibar kembali di tanah Mesir. Khalifah al-Mustadi (566 H/1170 M–576 H/1180 M) kemudian memberinya gelar al-Mu‘izz li Amirul Mu’minin.

Sebagai imbalannya pada 570 H/1175 M khalifah menyerahkan Mesir, an-Naubah, Yaman, Tripoli, Palestina, Suriah bagian tengah, dan Magribi (negara Islam di Afrika Utara) di bawah kekuasaan Salahuddin Yusuf al-Ayyubi. Sejak itulah ia dianggap sebagai sulthanul Islam wal Muslimin.

Setelah Khalifah al-Adid wafat, Salahuddin Yusuf al-Ayyubi semakin berkuasa untuk melaksanakan program keagamaan dan politiknya. Dalam program keagamaan ia dianggap sebagai pembaru di Mesir karena dapat mengembalikan Mazhab Suni, membangun madrasah yang menganut Mazhab Syafi‘i dan Mazhab Maliki, mengganti kadi Syiah dengan kadi Suni, mengganti pemerintahan yang korup, dan memecat pegawai yang bersekongkol dengan penjahat serta perampok.

Melihat keberhasilannya tersebut, banyak orang yang iri, misalnya Nuruddin Zangi sendiri setelah ia melepas jubah kebesarannya dan kemudian menyerahkannya kepada Salahuddin Yusuf al-Ayyubi, karena kedudukan Salahuddin Yusuf al-Ayyubi melebihi kedudukannya sebagai gubernur.

Keirian dan kebenciannya semakin bertambah lagi ketika Salahuddin Yusuf al-Ayyubi tidak menepati janjinya untuk mengepung Syaubak dan Karak yang dikuasai pasukan Salib. Karena jasa ayah Salahuddin Yusuf al-Ayyubi, peperangan tidak terjadi di antara mereka. Walaupun demikian Salahuddin Yusuf al-Ayyubi tetap setia kepada Nuruddin Zangi, bahkan kesetiaannya itu diteruskan kepada anaknya, al-Malik as-Salih Isma‘il.

Kepala rumah tangga Khalifah al-Adid, Hajib, juga tidak senang kepada Salahuddin Yusuf al-Ayyubi, karena haknya berkurang. Ia bersekongkol dengan tentara yang berasal dari Sudan dan an-Naubah untuk menggulingkan Salahuddin Yusuf al-Ayyubi. Demikian pula dengan para pengacau yang berasal dari kaum Assassin yang dipimpin Syekh Sinan.

Di lain pihak, partai Zangi (para pembela al-Malik as-Salih Isma‘il) juga mengadakan persekongkolan dengan al-Gazi (penguasa Mosul dan paman al-Malik as-Salih Isma‘il), untuk mengepung Salahuddin Yusuf al-Ayyubi. Pemberontakan tersebut dapat diselesaikan baik dengan jalan perdamaian maupun dengan peperangan.

Kekuasaan Salahuddin Yusuf al-Ayyubi yang semakin luas dan wibawanya yang semakin besar ternyata menimbulkan kekhawatiran orang Kristen Franka, nenek moyang bangsa Perancis modern yang menduduki daerah Bizantium.

Untuk itu mereka meminta bantuan Perancis, Jerman, Inggris, Bizantium, dan Paus dalam upaya menghancurkan dan menguasai negaranya, khususnya Baitulmakdis dan negara lain yang dikuasai orang Islam.

Perang antara tentara Islam dan tentara Salib yang sewaktu-waktu diselingi dengan perdamaian yang sering dilanggar tentara Salib itu mengisi lembaran perjuangan Salahuddin Yusuf al-Ayyubi. Pertama kali terjadi perang dengan Amalric I, raja Yerusalem.

Perang selanjutnya berlangsung dengan Baldwin IV (putra Almaric I) dan kemudian dengan Raynald de Chatillon (penguasa benteng Karak, sebelah timur Laut Mati). Kemudian ia berperang dengan Raja Baldwin V sehingga kota seperti Tiberias, Nasirah, Samaria, Sidon, Beirut, Batrun, Akka, Ramulah, Gaza, Hebron, Baitulmakdis, BatLahn, Busniayah, dan Gunung Zaitun, jatuh ke tangannya pada 583 H/1187 M.

Setelah kota itu dikuasainya, Salahuddin Yusuf al-Ayyubi membangun sekolah, rumah sakit, dan merestorasi Masjidilaksa serta kubah batu. Salib yang terpampang di atas kubah batu diturunkan segera dan masjid yang sebagian digunakan sebagai tempat ibadah oleh orang Kristen dibersihkan.

Setelah Baitulmakdis dikuasai Salahuddin Yusuf al-Ayyubi, Paus Gregorius mengumandangkan Perang Salib yang disambut oleh raja dan masyarakat Eropa. Perang ini diteruskan oleh Clement III, pengganti Gregorius.

Raja Philip II (raja Perancis) dan Raja Richard I (raja Inggris) langsung memimpin pasukan, yang didahului oleh Raja William dari Sicilia. Banyak penguasa lain terlihat dalam peperangan ini, seperti Raja Guy de Lusignan, Pangeran Montferrat, dan Ratu Sybil.

Peperangan yang memakan waktu bertahun­tahun itu akhirnya sampai kepada perdamaian, walaupun hanya untuk sementara. Adik Raja Richard I dinikahkan dengan adik Salahuddin Yusuf al-Ayyubi, al-Adil, yang selanjutnya menjadi penguasa Baitulmakdis.

Orang Nasrani bebas pergi beribadah dengan syarat tidak membawa senjata. Adapun Raja Richard yang kejam dan telah membunuh 3.000 tawanan muslim pulang ke negerinya.

Setelah peperangan berakhir, Salahuddin Yusuf al-Ayyubi memindahkan pusat pemerintahannya ke Damascus. Tidak lama setelah itu ia sakit selama 14 hari dan akhirnya wafat dalam usia 57 tahun setelah memerintah selama 25 tahun. Ia tidak meninggalkan harta kekayaan kecuali hanya beberapa dinar dan dirham. Bekas kekuasaannya dibagi­bagikan kepada anak dan saudaranya.

DAFTAR PUSTAKA
Asyur, Zaid Abdul Fattah. al-harakah as-salibiyyah. Cairo: Maktabah al-Anjil al-Misriyah, 1971.
Bek, Muhammad Khudari. Muhadarat Tarikh al-Umam al-Islamiyyah. Cairo: al-Maktabah at-Tijariyah al-Kubro, 1969.
Hitti, Philip K. History of the Arabs. London: Macmillan, 1973.
Ibnu al-Asir. al-Kamil fi at-Tarikh. Beirut: Dar as-Sadir li at-Tiba‘ah wa an-Nasyr, 1385 H/1965 M.
Syalabi, Ahmad. al-hurub as-salibiyyah. Cairo: al-Majlis al-A‘la li asy-Syu’un al-Islamiyah, 1966.
____________. Mausu‘ah at-Tarikh al-Islami wa al-hadarah al-Islamiyyah. Cairo: an-Nahdah al-Misriyah, 1977.
__________. salahuddin al-Ayyubi, terj. Abdullah Mahdami. Solo: Pustaka Mantiq, 1989.
M. Abdurrahman