Saksi

(Ar.: asy-syahid)

Saksi adalah orang yang melihat, mendengar, mengetahui, atau mengalami sendiri suatu peristiwa atau kejadian; atau orang yang diminta hadir untuk melihat, menyaksikan, atau mengetahui suatu peristiwa, agar suatu ketika jika diperlukan ia dapat memberikan keterangan yang membenarkan bahwa peristiwa itu sesungguhnya terjadi.

Saksi juga digunakan dalam forum pengadilan, yakni orang yang memberikan keterangan di muka pengadilan untuk kepentingan pendakwa atau terdakwa. Keterangan itu diberikan oleh orang yang melihat, mendengar, mengetahui, atau mengalami sendiri suatu peristiwa guna kepentingan penyelidikan serta pengadilan tentang suatu perkara pidana.

Ulama fikih menyebut kesaksian yang diberikan seseorang dengan al-itsbat (pembuktian), yaitu mengemukakan keterangan dan memberikan dalil yang dapat meyakinkan.

Jumhur (mayoritas) fukaha (ahli fikih) menyebutnya al-bayyinah, yang diartikan dengan kata “syahadat atau persaksian”, yaitu suatu ungkapan tentang berita yang benar di depan sidang pengadilan dengan mempergunakan lafal syahadat untuk menetapkan sesuatu atas diri orang lain.

Dalam Al-Qur’an ditemui sejumlah ayat yang berbicara mengenai saksi, begitu juga dalam hadis Nabi SAW. Disebutkan bahwa Allah SWT dan manusia menjadi saksi. Allah SWT berfirman, “Katakanlah, ‘Hai Ahli Kitab, mengapa kamu ingkari ayat-ayat Allah, padahal Allah Maha Menyaksikan apa yang kamu kerjakan’” (QS.3:98).

Dan dalam ayat lain, Allah SWT berfirman, “Dan demikian (pula) Kami telah menjadikan kamu (umat Islam), umat yang adil dan pilihan agar kamu menjadi saksi atas (perbuatan) manusia dan agar Rasul (Muhammad) menjadi saksi atas (perbuatan) kamu” (QS.2:143).

Selain itu dalam surah Yasin (36) ayat 65 dan surah Fussilat (41) ayat 20–22 disebutkan bahwa pada hari kiamat pancaindra akan menjadi saksi atas perbuatan mereka sendiri. Istilah yang digunakan Al-Qur’an dan hadis untuk istilah “saksi” ini adalah syahid (jamak: syuhada’).

Al-Qur’an menganjurkan atau mengharuskan agar diadakan saksi dalam berbagai peristiwa kehidupan.
(1) Jika pemelihara anak yatim serta hartanya menyerahkan harta anak yatim kepadanya hendaklah ada saksi tentang penyerahan itu (QS.4:6).
(2) Jika wanita yang baik-baik (suci, akil balig, dan muslimah) dituduh berbuat zina hendaklah orang yang menuduh mendatangkan empat orang saksi. Apabila tidak, mereka yang menuduh itu didera delapan puluh kali dera (QS.24:4).
(3) Para suami yang menuduh istri-istri mereka berbuat zina, tetapi mereka tidak punya saksi selain diri mereka sendiri, maka persaksiannya itu ialah empat kali bersumpah dengan nama Allah SWT (QS.24:6).
(4) Jika wanita dituduh berbuat keji (seperti zina dan lesbian) hendaklah ada empat orang saksi yang menyaksikannya (QS.4:15).
(5) Pelaksanaan hukuman bagi laki-laki dan wanita yang berzina harus disaksikan oleh sekumpulan orang beriman (QS.24:2).
(6) Ketika seseorang hendak meninggal dan berwasiat, harus ada dua orang saksi yang adil (QS.5:106–108).
(7) Dalam muamalah, seperti jual beli, utang-piutang, dan sewa-menyewa, selain dituliskan harus pula disaksikan dua orang saksi laki-laki; apabila tidak ada, boleh seorang laki-laki dan dua orang perempuan, supaya jika seorang lupa maka yang seorang lagi mengingatkannya (QS.2:282).
(8) Suami yang menceraikan istrinya atau rujuk kepadanya hendaklah disaksikan dua orang saksi yang adil (QS.65:2).

Menurut hukum Al-Qur’an, orang yang menjadi saksi tidak enggan memberi keterangan apabila ia dipanggil dan kesaksiannya tidak menyulitkan (QS.2:283), berlaku adil (QS.5:8), dan bersaksi karena Allah SWT biarpun terhadap diri sendiri, orangtua, dan kerabat (QS.4:135).

Ada yang berpendapat bahwa syarat sah menjadi saksi adalah Islam, adil, balig, berakal, dapat bicara, kuat ingatan, teliti, dan tidak ada tuhmah (yaitu orang yang diragukan maksud baiknya dalam kesaksiannya karena benci atau cinta terhadap yang disaksikan). Menurut Ibnu Rusyd, ulama sepakat bahwa syarat saksi ada lima, yaitu adil, balig, Islam, merdeka, dan bersih dari tuhmah.

Saksi merupakan salah satu dari alat bukti perdata menurut hukum acara Islam. Untuk pengesahan nikah misalnya, diperlukan dua orang saksi yang menyaksikan terjadinya akad nikah dan sebutan mas kawin. Menurut Mazhab Hanafi, Syafi‘i, dan Ibnu Rusyd, saksi merupakan salah satu bukti dalam hukum acara Islam.

Menurut at-Tirmizi, sahabat Nabi SAW sampai kepada tabiin dan tabi‘ at-tabi‘in berpendapat bahwa nikah tidak sah kalau tidak dihadiri saksi. Dalam hal ini Rasulullah SAW bersabda, “Tidak sah nikah tanpa wali dan dua orang saksi laki-laki yang adil” (HR. Daruqutni dan Ibnu Hibban dari Aisyah binti Abu Bakar).

Mengenai jumlah saksi dalam masalah harta (sengketa gugat-menggugat), dua orang saksi laki-laki (apabila tidak ada) boleh diganti dengan satu orang laki-laki ditambah dengan dua orang saksi perempuan.

Atau apabila tidak ada, dua orang saksi boleh diganti dengan satu orang saksi ditambah sumpah. Menurut Ibnu Abbas, “Rasul telah memutus dengan sumpah dan satu orang saksi” (HR. Muslim, Abu Dawud, dan an-Nasa’i).

Mengenai penggantian dua orang saksi dengan satu saksi ditambah sumpah, para ulama berbeda pendapat.
(1) Jumhur (mayoritas) ulama berpendapat bahwa dua saksi boleh diganti dengan satu saksi ditambah sumpah dengan alasan hadis tersebut.
(2) Imam Hanafi dan Zaid bin Ali berpendapat bahwa tidak boleh mengganti dua saksi dengan satu saksi ditambah sumpah dengan alasan surah al-Baqarah (2) ayat 282.
(3) Golongan Mazhab Hanafi berpendapat bahwa dalam masalah harta boleh menghukum dengan satu orang saksi perempuan ditambah satu saksi laki-laki.

Adapun untuk saksi nikah, jumhur ulama berpendapat bahwa nikah tidak sah kecuali dengan adanya dua orang saksi yang adil. Namun menurut golongan Hanafi, masalah harta, nikah, talak, rujuk, dan segala sesuatu selain hudud serta kisas, boleh disaksikan satu wanita dan ditambah dengan satu laki-laki.

Menurut hukum Islam, saksi juga menjadi salah satu bukti pidana. Dalam hal ini saksi yang diperlukan adalah dua orang laki-laki yang adil.

DAFTAR PUSTAKA
al-Baghdadi, Alauddin Ali bin Muhammad bin Ibrahim. Tafsir al-Khazin. Cairo: al-Maktabah at-Tijariyyah al-Kubra, t.t.
Ibnu Rusyd. Bidayah al-Mujtahid wa Nihayah al-Muqtasid. Semarang: Maktabah Usaha Keluarga Semarang, t.t.
al-Jaziri, Abdurrahman. al-Fiqh ‘ala al-Madzahib al-Arba‘ah. Beirut: Dar al-Fikr, 1986.
Rida, Muhammad Rasyid. Tafsir al-Manar. Beirut: Dar al-Fikr, t.t.
Sabiq, Sayid. Fiqh as-Sunnah. Beirut: Dar al-Fikr, 1986.
ash-Shiddieqy, T.M. Hasbi. Falsafah Hukum Islam. Jakarta: Bulan Bintang, 1974.
az‑Zuhaili, Wahbah. al‑Fiqh al‑Islami wa Adillatuh. Damascus: Dar al‑Fikr, t.t.
J. Suyuti Pulungan