Pendapat yang sahih berarti pendapat yang benar. Istilah “sahih” terdapat juga dalam usul fikih, tetapi terkenal dalam kajian ilmu hadis dalam kaitannya dengan nilai hadis. Penetapan nilai hadis penting untuk mengetahui apakah hadis tersebut dapat dijadikan hujah atau tidak dalam penetapan hukum, karena hadis menduduki peringkat kedua (pertama: Al-Qur’an) sebagai sumber ajaran.
Penetapan nilai hadis tersebut dimaksudkan untuk mengetahui ucapan, perbuatan, dan takrir (peneguhan kebenaran yang beralasan) Rasulullah SAW dalam hubungannya dengan ajaran yang terkandung di dalam Al-Qur’an yang bersifat umum dan belum terperinci.
Namun, kebenaran setiap hadis tidak dapat diterima secara mutlak sebagai yang qath‘i al-wurud (hadis yang muncul dengan petunjuk yang jelas sekali berasal dari Nabi Muhammad SAW). Hadis yang sampai kepada umat melibatkan banyak periwayat.
Berdasarkan penelitian ulama hadis dalam kaitannya dengan para periwayat, hadis terbagi atas sahih (sah, sanadnya mulus, perawinya terdiri atas orang adil, jujur, dan berdaya ingat kuat); hasan (sah tetapi tingkatannya di bawah hadis sahih karena ada perawinya yang daya ingatnya kurang kuat); dan daif (lemah karena cacat pada sanad atau rawinya dan/atau pada matannya [redaksinya]).
Oleh karena itu, di samping hadis yang makbul (diterima), banyak pula hadis yang kebenarannya mardud (ditolak), baik karena cacat pada sanad (mata rantai periwayat) maupun pada matannya (redaksi dan kandungannya). Artinya, ada hadis yang sahih dan ada pula yang tidak sahih.
Suatu hadis dikatakan sahih apabila memenuhi syarat, seperti yang dikemukakan Ibnu Salah (w. 642 H/1246 M), seorang ahli ilmu hadis, antara lain sanadnya bersambung sampai kepada Nabi Muhammad SAW, diriwayatkan oleh periwayat yang adil, yang dabith (memiliki daya ingat yang kuat), dan tidak mengandung syadzdz (penyimpangan dari aturan) maupun ‘illat (cacat).
Untuk menetapkan kesahihan suatu hadis, kelima syarat tersebut harus terpenuhi. Imam Nawawi menyatakan bahwa hadis sahih adalah hadis yang sanadnya bersambung, diriwayatkan oleh orang yang adil dan dabith, serta di dalamnya tidak terdapat ‘illat.
Ulama mutakadimin (generasi ulama setelah kurun tabi‘ at-tabi‘in [generasi kedua sesudah generasi para sahabat]), seperti Imam Syafi‘i, Bukhari dan Muslim, juga menyatakan bahwa hadis sahih adalah hadis yang memenuhi persyaratan:
(1) sanadnya atau mata rantai periwayatan hadis itu harus bersambung mulai dari periwayat pertama sampai ke periwayat terakhir;
(2) para periwayatnya harus dikenal tsiqah (orang yang dapat dipercaya) dalam arti adil dan dabith;
(3) harus bebas dari syudzudz (penyimpangan dari aturan) dan ‘illat; dan
(4) para periwayat yang terdekat dalam sanad, seperti antara periwayat pertama dan kedua, harus sezaman atau pernah bertemu.
Hadis sahih dibagi atas dua tingkatan, yaitu hadis sahih li dzatih dan hadis sahih li gairih.
Yang pertama adalah hadis yang memenuhi kelima syarat di atas, sedangkan yang kedua adalah hadis yang padanya terdapat sedikit kekurangan pada salah satu dari kelima syarat di atas, tetapi ada hal lain yang dapat menutupi kekurangan tersebut yakni dengan melihat rawi lain pada jalur sanad lain, apabila ada, yang tidak menunjukkan kekurangan.
Dalam pada itu, kata “sahih” juga dikenal dalam fikih/usul fikih dalam kaitannya dengan hukum wad‘i (positif). Istilah ini dipertentangkan dengan kata “batil”, dan istilah “sah” sering kali digunakan sebagai kebalikan dari “batal”.
Di sini, sah mengandung arti bahwa suatu pekerjaan dikerjakan dengan memenuhi syarat dan rukunnya, sedangkan pekerjaan yang tidak memenuhi syarat dan rukunnya tidak sah atau batal.