Saffariyah adalah nama sebuah dinasti Islam pada abad ke-9 di wilayah Sijistan (kini: Iran timur), yang didirikan pada 253 H/867 M oleh Ya‘qub bin Lais as-Saffar. Nama Saffariyah dinisbahkan kepada pendirinya, yang digelari as-Saffar (pengrajin tembaga) karena pada mulanya ia berprofesi sebagai pengrajin tembaga, keahlian yang diwarisinya secara turun-temurun. Ya‘qub bin Lais as-Saffar memimpin dinasti ini hingga 265 H/879 M.
Karier Ya‘qub di dunia politik dimulai ketika ia dan saudaranya, Amr bin Lais, menjadi sukarelawan dalam tentara pemerintah Dinasti Tahiriyah untuk menumpas berbagai pemberontakan yang sedang berkecamuk di dalam negeri, termasuk pemberontakan kaum Khawarij.
Sebagai tentara, Ya‘qub berada dalam pasukan yang dipimpin Saleh bin Nasr al-Kannani, seorang panglima perang Dinasti Tahiriyah yang terkenal karena keberaniannya. Ya‘qub berhasil menarik simpati al-Kannani dengan menunjukkan kesungguhannya melaksanakan tugas, sehingga ia diangkat menjadi ajudannya.
Sepeninggal al-Kannani, pimpinan pasukan beralih ke tangan Dirham al-Husain, seorang perwira senior Dinasti Tahiriyah. Terhadap Dirham pun, Ya‘qub memperlihatkan loyalitasnya.
Tetapi dalam pengamatan para anggota pasukan, Dirham bukanlah pemimpin yang bisa diandalkan karena tidak memiliki keberanian seperti al-Kannani. Sebaliknya, Ya‘qub dinilai pantas menduduki jabatan pemimpin.
Atas pertimbangan ini, Dirham kemudian digantikan Ya‘qub. Ternyata, di bawah Ya‘qub, penumpasan para perusuh dan pembangkang di dalam negeri berhasil diselesaikan dengan sukses. Sejak itu, nama Ya‘qub menjadi terkenal di kalangan pembesar kerajaan.
Sebagai penghargaan atas keberhasilan Ya‘qub, pada 257 H/871 M, al-Mu‘tamid (khalifah Abbasiyah, memerintah 257 H/870 M–279 H/892 M) mengangkatnya menjadi gubernur wilayah Balkh (Afghanistan utara), sebuah wilayah kekuasaan Dinasti Tahiriyah. Ketika itu, Dinasti Tahiriyah memerintah di bawah kekuasaan Dinasti Abbasiyah di Baghdad.
Dengan posisi tersebut Ya‘qub merintis berdirinya Dinasti Saffariyah. Tanpa menunggu waktu lama, ia menata pemerintahannya dengan baik. Setelah itu, ia mengarahkan perhatiannya untuk perluasan wilayah.
Dengan mudah ia menundukkan wilayah Sijistan, Herat (Afghanistan barat), Sind (Pakistan), dan Makran (Iran tenggara). Sasaran berikutnya adalah daerah Kirman (Iran tenggara) dan Persia. Semua daerah ini lalu digabungkan dengan Balkh.
Penaklukan besar-besaran yang dilakukan Ya‘qub sempat menimbulkan kecurigaan pada khalifah Abbasiyah. Maka ia mengirim peringatan kepada Ya‘qub agar tidak melangkah terlalu jauh.
Akan tetapi, Ya‘qub tidak mengindahkan peringatan Khalifah; malahan satu per satu wilayah kekuasaan Dinasti Tahiriyah didudukinya. Kelemahan Dinasti Tahiriyah menambah semangat Ya‘qub untuk merebut seluruh wilayah kekuasaannya.
Akhirnya, pada 259 H/873 M, Ya‘qub menyerang Khurasan (Iran timur laut) dan langsung merebut Naisabur, ibukota Dinasti Tahiriyah. Dengan jatuhnya Naisabur, berakhirlah kekuasaan Tahiriyah, dan di bekas wilayahnya berdiri dinasti baru, yakni Saffariyah.
Ambisi Ya‘qub untuk memperluas wilayah kekuasaannya tidak berhenti di Naisabur, tetapi segera diarahkan ke Baghdad, pusat khilafah Abbasiyah. Namun 20 km sebelum tiba di Baghdad, tentara Ya‘qub dihadang pasukan Abbasiyah di bawah pimpinan al-Muwaffaq, salah seorang pangeran Abbasiyah.
Peristiwa ini terjadi pada 263 H/876 M. Dua tahun kemudian Ya‘qub wafat dan kekuasaan dilimpahkan kepada Amr bin Lais.
Di masa Amr, sempat dilakukan perluasan wilayah ke Isfahan. Berbeda dengan sikap Ya‘qub, ia berusaha memperbaiki citra buruk Bani Saffariyah di mata khalifah Abbasiyah. Namun Khalifah tidak lagi bersimpati pada keluarga ini. Karenanya Khalifah mencabut pengangkatan Amr dan mengangkat kembali Muhammad bin Tahir (penguasa terakhir Dinasti Tahiriyah yang dikalahkan Ya‘qub).
Baru kemudian di masa pemerintahan Khalifah al-Mu‘tadid (memerintah 279 H/892 M–290 H/902 M) Amr diangkat kembali menjadi penguasa Saffariyah. Setelah itu dinasti ini silih berganti diperintah keturunan as-Saffar.
Akan tetapi, khalifah sesudah Amr bukan lagi penguasa yang kuat. Meskipun mampu memelihara eksistensi Saffariyah sampai pada abad ke-15, mereka tidak lagi independen, melainkan tunduk kepada dinasti yang berkuasa, seperti Samaniyah (892–999), Ghaznawiyah (999–1037), Seljuk, dan Mughal.
Dalam sejarahnya Dinasti Saffariyah tiga kali menderita serangan dari luar: (1) dari Dinasti Samaniyah yang berhasil menduduki wilayah Saffariyah selama setahun; (2) dari tentara Ghaznawiyah yang berhasil menduduki wilayah itu selama 26 tahun; dan (3) dari bangsa Mongol yang juga melakukan pendudukan selama setahun.
Hal penting yang dapat dicatat dari dinasti ini adalah bahwa mereka memperkenalkan Islam ke wilayah Asia Tengah dan mempertahankan wilayahnya sampai abad ke-15 dari serangan Mongol.
Para khalifahnya sangat mengutamakan keadilan dan kesamaan hak di antara rakyatnya, serta memberi perhatian yang besar kepada golongan miskin, khususnya di Sijistan.