Safawi adalah nama sebuah kerajaan Islam di Persia (kini Iran), didirikan Syah Isma‘il Safawi pada 907 H/1501 M di Tabriz, dan salah satu dari tiga kerajaan besar Islam pada Abad Pertengahan. Dua yang lain adalah Usmani di Turki dan Mughal di India. Di barat, Safawi berbatasan dengan Kerajaan Usmani dan di timur berbatasan dengan India yang pada waktu itu berada di bawah pemerintahan Kerajaan Mughal.
Kerajaan Safawi menjadikan aliran Syiah mazhab resmi negara dan menjadikan Persia pusat aliran ini. Sampai saat ini tanah Persia merupakan pusat aliran Syiah. Nama kerajaan ini berasal dari seorang sufi yang bernama Safiuddin Ardabeli (1252–1334) dari Ardabil di Azerbaijan.Ia belajar kepada Tajuddin Ibrahim Zahidi (seorang sufi; 1216–1301) di Jilan dekat Laut Kaspia.
Safiuddin diambil mantu oleh gurunya dan setelah gurunya wafat ia menggantikan kedudukan gurunya sebagai guru tarekat. Tarekat ini kemudian terkenal dengan nama Tarekat Safawiyah yang berpusat di Ardabil. Safiuddin dikenal sebagai sufi yang besar dan dianggap keramat oleh para pengikutnya.
Di bawah pimpinannya, tarekat ini berkembang menjadi gerakan keagamaan yang berpengaruh di Persia, Suriah, dan Anatolia, dan kemudian menjadi gerakan politik seperti halnya gerakan Tarekat Sanusiyah di Afrika Utara, Tarekat Mahdiyah di Sudan, dan Tarekat Muridiyah serta Tarekat Naqsyabandiyah di Rusia.
Mengenai asal-usul Safiuddin ada dua pendapat. Pertama, ia keturunan Musa al-Kazim (imam ke-7 Syiah Dua Belas). Kedua, ia keturunan penduduk asli Iran dari Kurdistan dan seorang Suni Mazhab Syafi‘i, yang kemudian berubah menjadi penganut Syiah.
Menurut beberapa ahli sejarah (misalnya Husen Muins, penulis Alam al-Islam), fase pertama gerakan Safawiyah mempunyai dua corak, yaitu corak Suni pada masa kepemimpinan Safiuddin (1301–1334) dan anaknya, Sadruddin Musa (1334–1399), serta corak Syiah pada masa kepemimpinan cucu Safiuddin, Khawaja Ali (1399–1427), dan pada masa Ibrahim (1427–1447).
Pada fase kedua gerakan Safawi berubah bentuk menjadi gerakan politik pada masa pimpinan Junaid bin Ibrahim (1447–1460) yang ingin membentuk pemerintahan sendiri.
Pada saat itu di Persia ada dua dinasti bangsa Turki yang berkuasa, yaitu Dinasti Kara Koyunlu (1375–1468) yang dikenal dengan Black Sheep (Domba Hitam) yang beraliran Syiah serta berkuasa di bagian timur, dan Dinasti Ak Koyunlu yang dikenal dengan White Sheep (Domba Putih) yang beraliran Suni yang berkuasa di bagian barat.
Kegiatan politik Safawiyah yang mendapat tekanan dari Dinasti Kara Koyunlu memaksa Junaid meninggalkan Ardabil dan minta suaka politik kepada raja Dinasti Ak Koyunlu yang bernama Uzun Hasan (memerintah 857 H/1453 M–882 H/1477 M).
Persahabatan keduanya menjadi akrab setelah Uzun Hasan mengawinkan adik perempuannya dengan Junaid. Selanjutnya, keduanya bersekutu menghadapi Dinasti Kara Koyunlu.
Namun, cita-citanya belum tercapai. Ia kemudian digantikan putranya, Haidar (w. 1476). Tokoh ini memberikan atribut kepada para pengikutnya berupa serban merah yang berumbai dua belas yang disebut Qizilbash (Kepala Merah).
Rumbai dua belas ini melambangkan Syiah Dua Belas dan berpengaruh menumbuhkan fanatisme dan militansi para pengikut Syiah. Tetapi perjuangan mereka ini baru berhasil pada masa pimpinan Isma‘il Safawi, putra Haidar.
Selama 5 tahun (1494–1499) Isma‘il dan para pengikutnya menghimpun kekuatan yang besar di Jilan untuk menaklukkan Ak Koyunlu yang telah berhasil mengalahkan Kara Koyunlu ketika bersekutu dengan kakeknya, Junaid. Tetapi persekutuan ini pecah akibat persaingan politik. Ayahnya, Haidar, mati terbunuh dalam suatu pertempuran di Syirwan.
Isma‘il dan pasukan Qizilbashnya berhasil menaklukkan Syirwan, kemudian ia menuju ke wilayah Ak Koyunlu. Dalam suatu pertempuran yang sengit di Sharur dekat Nakchivan pada 1501, Isma‘il memenangkan peperangan itu dengan gemilang dan berhasil memasuki Tabriz, ibukota Dinasti Ak Koyunlu.
Pada tahun itu juga Isma‘il mendirikan Kerajaan Safawi dan memproklamasikan dirinya sebagai raja (syah) yang pertama (907 H/1501 M–930 H/1524 M). Para pengikutnya menganggap Isma‘il, di samping sebagai raja, juga sebagai pimpinan rohani; dengan kata lain pemimpin agama dan politik. Bahkan Isma‘il sendiri menganggap dirinya sebagai manifestasi Tuhan.
Ketika Isma‘il mengukuhkan dirinya sebagai raja (syah), ia pun memproklamasikan Syiah Isna Asyariyah (dua belas) sebagai agama negara. Namun, karena Persia sebelumnya berada di bawah kekuasaan Suni, Isma‘il harus mendatangkan ulama Syiah dari wilayah yang kuat mempertahankan tradisi Syiah, seperti Irak, Bahrein, dan terutama Jabal Amil, Libanon.
Isma‘il terus melancarkan penaklukannya ke seluruh Iran dan ke sebelah timur, sampai ke Herat maupun Diyarbakr (Turki), serta Baghdad, Irak. Ekspansi ini sepenuhnya didukung oleh pasukan Qizilbash yang sangat fanatik dan ekstrem mendukung Syah Isma‘il.
Ketika Syah Isma‘il wafat (930 H/1524 M), anaknya yang tertua, Tahmasp (920 H/1514 M–984 H/1576 M), baru berusia sepuluh tahun. Pada usia ini Tahmasp menggantikan ayahnya sebagai raja.
Sebelum Syah Tahmasp dewasa dan mampu mengendalikan kekuasaannya, telah terjadi konflik internal antaranggota kelompok Qizilbash yang memperebutkan kepentingan politik.
Situasi konflik ini setidaknya berlangsung sampai tahun 939 H/1533 M. Di samping itu, sampai tahun 960 H/1553 M pemerintahan Syah Tahmasp harus berhadapan dengan kekuatan luar, yakni Uzbek dan Usmani.
Melanjutkan kebijakan politik keagamaan ayahnya, Syah Tahmasp terus meningkatkan upaya penyebaran Syiah. Namun proses pengembangan ideologi Syiah yang di prakarsai oleh Syah Isma‘il dan dikembangkan oleh Syah Tahmasp tidak dilanjutkan oleh anaknya, Syah Isma‘il II (984 H/1576 M–986 H/1578 M), yang memperkenalkan kebijakan keagamaan yang berbeda dari kebijakan ayah dan kakeknya.
Isma‘il II menaruh sikap ramah terhadap Suni. Sikap ini diambil sebagai upayanya untuk mengurangi pengaruh dan peran politik ulama Syiah yang mulai tumbuh beberapa dasawarsa terakhir periode kekuasaan ayahnya guna menumbuhkan perimbangan kekuatan antara kelompok bangsawan Iran dan kelompok Qizilbash yang senantiasa dilanda konflik kepentingan politik.
Namun, sikap seperti ini telah menjadi bumerang baginya. Sikap Isma‘il II yang ramah dan akrab terhadap ideologi Suni ini telah melahirkan berbagai pertentangan, terutama dari kalangan Qizilbash yang merasa menjadi pendukung utama lahirnya Kerajaan Safawi.
Di tangan kaum Qizilbash inilah kekuasaan Isma‘il II berakhir dalam rentang waktu yang sangat singkat, yaitu delapan belas bulan. Ia digantikan saudaranya yang tertua, Muhammad Khudabanda (986 H/1578 M–996 H/1588 M).
Pemerintahan Khudabanda ditandai oleh konflik internal yang sangat serius sebagai akibat dari kelemahan dan ketidakcakapannya dalam memimpin. Akhirnya ia digantikan anaknya, Syah Abbas I (996 H/1588 M–1038 H/1629 M), melalui proses kudeta.
Dalam situasi politik Kerajaan Safawi yang semakin kritis, Syah Abbas I memulai kepemimpinannya. Untuk mewujudkan stabilitas politik, ia berusaha melepaskan diri dari ketergantungan Kerajaan Safawi terhadap dukungan kekuatan militer Qizilbash.
Sebagai gantinya, ia membentuk kekuatan militer yang terdiri dari budak Kaukasus dan Georgia, Asia Tengah, yang pernah menjadi tawanan pada masa kekuasaan Syah Tahmasp.
Strategi ini telah memperlihatkan hasilnya dalam rentang waktu satu dasawarsa pertama masa kekuasaannya. Atas dasar ini, pada tahun 1007 H/1598 M, ia berhasil mengusir kekuatan Uzbek di Khurasan.
Antara tahun 1603–1607, ia pun sukses menyingkirkan kelompok Usmani dari Azerbaijan. Tujuh belas tahun kemudian, Baghdad dan seluruh Irak jatuh ke dalam kekuasaan Kerajaan Safawi.
Dalam hal ideologi Syiah, Syah Abbas I melanjutkan kebijakan Syah Isma‘il I dan Syah Tahmasp, yakni mengembangkan ajaran Syiah. Adapun terhadap tradisi tarekat yang dianggap ekstrem, sikapnya sangat keras.
Strategi Syah Isma‘il I dan Syah Tahmasp untuk mendatangkan ulama Syiah dari Jabal Amil (Libanon) dan Bahrein semakin diperkuat. Guna lebih memperlancar sosialisasi dan memapankan ajaran Syiah lebih jauh, Syah Abbas I mendirikan lembaga pendidikan Syiah: sekolah teologi.
Ini menunjukkan adanya perubahan besar dalam proses pengembangan lembaga dan sistem pendidikan Syiah pada permulaan abad ke-17 di Iran, terutama di ibukota Isfahan.
Sistem pendidikan yang dibangun Syah Abbas I ini merupakan rintisan yang kelak menjadi model pada masa Dinasti Qajar yang telah melahirkan pusat kajian di Najaf, Qum, dan Masyhad. Kota-kota ini sekarang telah menjadi pusat kajian yang sangat penting di dunia Syiah.
Selain alasan politik dan ekonomi, popularitas Syah Abbas I sebagai raja yang sangat mementingkan sektor pendidikan ditopang oleh sikap keagamaannya. Ia terkenal sebagai seorang Syiah yang saleh.
Sebagai bukti dari kesalehannya adalah bahwa ia sering berziarah ke tempat suci Qum dan Masyhad. Di samping itu, ia pun melakukan perubahan struktur birokrasi dalam lembaga politik keagamaan.
Kemajuan dalam bidang keagamaan dan politik tidak berhasil dipertahankan oleh pengganti Syah Abbas I, yaitu cucunya, Syah Safi (1038 H/1629 M–1052 H/1642 M). Ia terkenal bukan saja karena tidak cakap memimpin kerajaan, tetapi juga perhatiannya sangat kecil terhadap persoalan politik pemerintahan.
Ini mungkin ada hubungannya dengan kegandrungan Syah Safi terhadap khamar atau minuman keras. Tiga belas tahun masa kekuasaannya berakhir dengan kematian setelah terlalu banyak minum khamar. Semasa kekuasaan Syah Safi, Baghdad jatuh ke tangan Usmani pada tahun 1048 H/1638 M dan Qandahar ke tangan Mogul India pada tahun yang sama.
Setelah kematiannya, Syah Safi digantikan oleh putranya, Sultan Muhammad Mirza, yang terkenal dengan sebutan Syah Abbas II (1052 H/1642 M–1077 H/1666 M). Tidak seperti ayahnya, Syah Abbas II lebih mewarisi tradisi yang dikembangkan Syah Abbas I, kakek ayahnya.
Syah Abbas II berhasil menata kembali kekuasaannya yang pada giliran berikutnya memungkinkan ia menaruh perhatian terhadap masalah keagamaan.
Pengganti Syah Abbas II adalah Syah Sulaiman (1070 H/1666 M–1106 H/1694 M). seperti Syah Safi, Syah Sulaiman merupakan pemimpin yang bukan saja tidak cakap dalam masalah politik kenegaraan, tetapi juga perhatiannya sangat kecil terhadap pemerintahan dan kemasyarakatan.
Di samping itu, Syah Sulaiman seperti juga Syah Safi sangat kecanduan oleh minuman keras dan kesenangannya yang berlebihan terhadap wanita. Faktor ini yang telah menyebabkan munculnya gejala keruntuhan Kerajaan Safawi, di samping persoalan politik dari luar.
Lemahnya pemerintahan Syah Sulaiman telah menjadi peluang bagi kalangan ulama untuk memainkan peranan politiknya, terutama mereka yang datang dari kalangan rasionalis yang mengklaim bahwa ulama adalah wakil umum (na’ib al-‘amm) Imam Mahdi.
Gerakan politik ulama ini terutama dipimpin Muhammad Baqir Majlisi yang menjadi Syekh al-Islam Isfahan pada 1098 H/1687 M dan Mullabasyi (ketua ulama) pada 1106 H/1694 M, tahun ketika Syah Sulaiman digantikan Sultan Husain (1106 H/1694 M–1134 H/1722 M).
Pada masa kepemimpinan Sultan Husain yang terkenal lebih religius, Muhammad Baqir Majlisi semakin menunjukkan peranan aktifnya. Sejarah mencatat bahwa Baqir Majlisi (w. 1110 H/1699 M) adalah ulama yang sangat kuat dan berpengaruh dalam sejarah Kerajaan Safawi.
Pemerintahan Sultan Husain tidak dapat berbuat banyak untuk mengontrol aktivitas sosial politik Baqir Majlisi. Hal ini bukan semata-mata karena lemahnya sistem politik Sultan Husain, tetapi naiknya Sultan Husain menggantikan Syah Sulaiman mendapatkan dukungan penuh dari Muhammad Baqir Majlisi selaku Syekh al-Islam.
Gejala menguatnya peran politik ulama yang dimotori oleh Muhammad Baqir Majlisi tidak dapat dipisahkan dari kebangkitan tradisi fikih Syiah yang sangat anti terhadap pemikiran yang berbau tasawuf dan filsafat.
Padahal generasi ulama sebelumnya telah berhasil mewujudkan kemampuan mendamaikan pemikiran hukum (fikih) dengan pemikiran tasawuf dan filsafat, seperti telah merambahnya gerakan aliran Isfahan di kalangan fukaha dan ahli hadis pada masa Syah Abbas II. Bahkan ayah Muhammad Baqir Majlisi sendiri, Muhammad Taqi Majlisi, adalah pendukung sufisme.
Seperti telah disinggung, meningkatnya peran politik ulama disebabkan oleh terus melemahnya sistem kekuasaan politik Kerajaan Safawi, terutama sejak masa pemerintahan Syah Sulaiman yang kemudian tidak berhasil ditata kembali oleh penggantinya, Sultan Husain.
Akibat dari makin lemahnya sistem kekuasaan politik ini telah membuat sistem pertahanan militer Kerajaan Safawi semakin rapuh terhadap ancaman kekuatan militer asing. Karenanya, pada tahun 1134 H/1722 M tentara Afghan yang berkekuatan sekitar 20.000 pasukan telah berhasil merebut ibukota Kerajaan Safawi, Isfahan.
Sejak itu, kekuasaan politik Kerajaan Safawi secara efektif berakhir, meskipun beberapa propinsi Safawi masih dikuasai dua pangeran terakhirnya: Tahmasp II (1134 H/1722 M–1145 H/1732 M) dan Abbas III (1145 H/1732 M–1149 H/1736 M).