Sayid Sabiq (nama lengkap: Sayid Sabiq Muhammad at-Tihami) adalah seorang ulama kontemporer Mesir yang memiliki reputasi internasional di bidang dakwah dan fikih, terutama melalui karyanya, Fiqh as-Sunnah (Fikih Berdasarkan Sunah Nabi). Atas jasanya, ia memperoleh penghargaan dari pemerintah Mesir dan Arab Saudi.
Sayid Sabiq lahir dari pasangan keluarga terhormat, Sabiq Muhammad at-Tihami dan Husna Ali Azeb. Muhammad adalah nama kakeknya dan at-Tihami gelar keluarga yang menunjukkan daerah asal leluhurnya, yaitu Tihamah, sebuah dataran rendah di sebelah barat Semenanjung Arabia.
Silsilahnya berhubungan dengan Usman bin Affan (khalifah ketiga, w. 35 H/656 M). Keluarganya menganut Mazhab Syafi‘i, sebagaimana mayoritas warga desa kelahirannya.
Sesuai dengan tradisi keluarga Islam di Mesir pada masa itu, Sayid Sabiq menerima pendidikan pertama di kuttab, tempat belajar pertama untuk menulis, membaca, dan menghafal Al-Qur’an.
Pada usia 11 tahun, ia telah hafal Al-Qur’an dengan baik. Setelah itu, ia langsung memasuki perguruan al-Azhar. Di al-Azhar ia menyelesaikan tingkat ibtidaiyah dalam waktu 5 tahun, tsanawiyah 5 tahun, fakultas syariah 4 tahun, dan takhassus (kejuruan) 2 tahun.
Ia menyelesaikan pendidikan di takhassus pada 1947 dengan memperoleh asy-Syahadah al-‘alimiyyah, ijazah tertinggi di Universitas al-Azhar ketika itu, yang nilainya dianggap sebagian orang lebih kurang setingkat dengan ijazah doktor.
Meskipun berasal dari keluarga penganut Mazhab Syafi‘i, Sayid Sabiq tidak mengambil bidang studi mazhab itu, melainkan Mazhab Hanafi. Para mahasiswa Mesir ketika itu cenderung memilih mazhab ini karena beasiswanya lebih besar dan kesempatan menjadi pegawai pun besar pula.
Ini merupakan pengaruh yang ditinggalkan oleh Kerajaan Usmani, kerajaan penganut Mazhab Hanafi yang hingga 1914 secara de facto masih menguasai Mesir.
Kendati mengambil bidang studi Mazhab Hanafi, Sayid Sabiq juga suka membaca dan menelaah mazhab lain. Gurunya antara lain adalah Syekh Mahmud Syaltut (1893–1963) dan Syekh Tahir ad-Dinari, keduanya dikenal sebagai ulama besar di al-Azhar ketika itu.
Ia juga pernah belajar kepada Syekh Mahmud Khattab, pendiri al-Jam‘iyyah asy-Syar‘iyyah li al-‘amilin fi al-Kitab wa as-Sunnah (Perhimpunan Syariat bagi Pengamal Al-Qur’an dan Sunah Nabi), sebuah perhimpunan yang bertujuan mengajak umat untuk mengamalkan Al-Qur’an dan sunah Nabi SAW tanpa terikat kepada mazhab tertentu.
Sejak masa mudanya, Sayid Sabiq dipercaya untuk mengemban berbagai tugas dan jabatan, baik dalam bidang administrasi maupun bidang akademi. Ia pernah bertugas sebagai guru pada Departemen Pendidikan dan Pengajaran Mesir.
Pada 1955–1957 ia menjadi direktur Lembaga Santunan Mesir di Mekah, yang berfungsi menyalurkan santunan para dermawan Mesir untuk honorarium para imam dan guru Masjidilharam, pengadaan kiswah Ka’bah, bantuan kepada fakir miskin, dan berbagai bentuk bantuan sosial lainnya.
Pada Kementerian Wakaf Mesir ia pernah menduduki jabatan wakil ketua Dewan Administrasi Masjid, direktur Administrasi Urusan Kebudayaan, direktur jenderal Administrasi Pelatihan, dan wakil pimpinan kementerian. Di Universitas al-Azhar ia pernah menjadi anggota dewan dosen.
Sejak 1974–1994 ia mendapat tugas di Jami‘ah Umm al-Qurra’, Mekah. Pada mulanya, ia menjadi anggota dewan dosen. Kemudian, ia diangkat menjadi ketua jurusan peradilan fakultas syariah (1397 H/1977 M–1400 H/1980 M) dan direktur pascasarjana fakultas syariah (1400 H/1980 M–1408 H/1987 M).
Sesudah itu, ia kembali menjadi anggota dewan dosen fakultas ushuluddin dengan mengajar di tingkat pascasarjana.
Sejak masa mudanya Sayid Sabiq aktif berdakwah melalui ceramah di masjid, pengajian khusus, radio, dan tulisan di media massa. Ceramahnya di radio dan tulisannya di media massa kemudian dihimpun oleh putranya, Muhammad Sayid Sabiq, dan telah dibukukan dalam bentuk kumpulan fatwa.
Ia aktif di al-Jam‘iyyah asy-Syar‘iyyah li al-‘amilin fi al-Kitab wa as-Sunnah sejak kuliah, dan sering mendapat tugas untuk menyampaikan khotbah Jumat dan mengisi pengajian. Ia pun berusaha mengembangkan perhimpunan ini sampai di desanya sendiri, Istanha.
Ia juga pernah dipercaya oleh Syekh Hasan al-Banna (1906–1949), pendiri Ikhwanul Muslimin, untuk mengajarkan fikih kepada anggotanya. Karena dinilai terkait dengan persoalan politik dalam berdakwah, pada 1949–1952 ia dipenjarakan bersama sejumlah ulama Mesir pada masa pemerintahan Raja Faruq (1920–1965).
Di desa Istanha, Sayid Sabiq mendirikan sebuah lembaga pendidikan Islam yang megah, yang gurunya diangkat dan digaji oleh al-Azhar.
Sebagai penghargaan baginya, al-Jam‘iyyah asy-Syar‘iyyah li al-‘amilin fi al-Kitab wa as-Sunnah sebagai pengelola bersama masyarakat menamakan lembaga pendidikan itu “Ma‘had as-Sayyid Sabiq al-Azhari” (Lembaga Pendidikan Sayid Sabiq Ulama al-Azhar).
Pada tingkat internasional, Sayid Sabiq turut berpartisipasi dalam berbagai konferensi dan diundang untuk memberikan ceramah ke berbagai negara di Asia, Afrika, Eropa, dan Amerika. Ia menulis sejumlah buku yang sebagian sudah beredar di dunia Islam, termasuk di Indonesia.
Karya tulisnya adalah Fiqh as-Sunnah, al-‘Aqa’id al-Islamiyyah (Akidah Islam), Da‘wah al-Islam (Dakwah Islam), Islamuna (Keislaman Kita), ‘Anasir al-Quwwah fi al-Islam (Unsur Dinamika dalam Islam), Baqah az-Zahr (Karangan Bunga), as-salah wa ath-taharah wa al-Wudu’ (Salat, Bersuci, dan Berwudu), as-siyam (Puasa),
Manasik al-hajj wa al-‘Umrah (Manasik Haji dan Umrah), Masadir at-Tasyri‘ al-Islami (Sumber Syariat Islam), Khasa’is asy-Syari‘ah al-Islamiyyah wa Mumayyizatuha (Keistimewaan dan Ciri Syariat Islam),
Maqalat Islamiyyah (Artikel Islam), ar-Riddah (Kemurtadan), Taqalid Yajib ‘an Tazul Munkarat al-Afrah (Adat Kebiasaan: Wajib Menghilangkan berbagai Kemungkaran Suka Ria), dan al-Yahud fi Al-Qur’an (Yahudi dalam Al-Qur’an).
Sebagian dari buku tersebut telah diterjemahkan ke bahasa asing, termasuk bahasa Indonesia. Yang paling populer di antaranya adalah Fiqh as-Sunnah. Buku ini telah dicetak ulang oleh berbagai percetakan di Mesir, Arab Saudi, dan Libanon.
Buku ini sudah diterjemahkan antara lain ke bahasa Inggris, Perancis, Urdu, Turki, India, Swahili, dan Indonesia. Edisi bahasa Indonesianya dicetak di Indonesia dan Malaysia.
Buku Fiqh as-Sunnah mempunyai pengaruh yang luas di dunia Islam. Nasiruddin al-Albani (ahli hadis Damascus) memandangnya sebagai buku terbaik dari segi sistematika penulisan dan bahasa.
Meskipun ia mengkritik sebagian hadisnya, ia tetap menganjurkan orang untuk memiliki buku tersebut. Yusuf al-Qardawi (ahli fikih Mesir) juga mengakui keutamaan buku ini. Menurutnya ketika baru bagian salat dan bersuci saja yang terbit buku ini telah memberikan pengaruh besar pada dirinya untuk menggunakan dalil Al-Qur’an dan sunah secara langsung.
Di Indonesia buku ini menjadi rujukan silabus di perguruan tinggi agama Islam negeri dan swasta. Buku ini juga menjadi salah satu rujukan Komisi Fatwa MUI dan Kompilasi Hukum Islam.
Sayid Sabiq menolak paham yang mengatakan tertutupnya pintu ijtihad. Menurutnya, ijtihad selamanya perlu dilakukan untuk mengantisipasi perkembangan zaman. Taklid hanyalah penghalang kemajuan bagi akal.
Melalui penulisan Fiqh as-Sunnah, ia berharap dapat memberikan gambaran yang benar tentang fikih Islam yang disertai dengan dalil yang sahih, menghapuskan rasa fanatik mazhab di kalangan umat Islam, dan menghilangkan anggapan tertutupnya pintu ijtihad.
Menurutnya, setiap orang bebas beramal menurut ijtihad dan mazhabnya masing-masing. Seseorang yang mampu berijtihad wajib melakukan ijtihad untuk mengetahui hukum syariat dari sumbernya tanpa terikat kepada mazhab tertentu.
Taklid hanya boleh bagi orang yang tidak mampu melakukan ijtihad. Orang awam boleh bertaklid kepada salah satu dari empat mazhab atau mengikuti pendapat seorang mujtahid.
Dalam menetapkan hukum, Sayid Sabiq senantiasa merujuk langsung kepada Al-Qur’an dan sunah Nabi SAW tanpa terikat kepada mazhab tertentu. Namun demikian, ia bersikap terbuka terhadap pendapat lain sehingga tak jarang ia mengemukakan pendapat para ulama dengan dalilnya tanpa melakukan tarjih (menguatkan salah satu dari dua dalil).
Lebih dari itu, menurutnya, setiap orang boleh memilih pendapat dan pemahaman yang lebih mudah dan ringan bagi dirinya.
Sepanjang hayatnya, Sayid Sabiq banyak menerima anugerah atas ketokohan dan keilmuannya. Ia menerima Piagam Penghargaan Mesir yang dianugerahkan presiden Mesir, Mohammad Husni Mubarak, pada 5 Maret 1988.
Sebagai penghargaan atas sumbangannya di bidang dakwah, pada 1409 H/1989 M pemerintah Mesir menganugerahinya Nut al-Imtiyaz min ath-tabaqah al-ula (surat penghargaan tertinggi bagi para ulama).
Kemudian, sebagai penghargaan atas sumbangannya di bidang fikih dan kajian Islam, pada 1414 H/1994 M bersama beberapa orang ulama, pakar, dan ilmuwan internasional ia dianugerahi Hadiah Internasional Raja Faisal oleh Yayasan Raja Faisal di Riyadh, Arab Saudi.