Sabil, Perang

Perang antara Aceh dan penjajah Belanda (1873–1912) disebut Perang Sabil. Bagi Aceh, perang ini merupakan perang atas dasar agama melawan penjajahan dan kezaliman guna menyelamatkan hak hidup dan agama. Perang Sabil juga berarti “perang muslim melawan kekafiran”, yang disebut Prang Sabi (Perang Sabil), Prang Beulanda (lawan Belanda), Prang Gompeuni (lawan kompeni), atau Prang Kaphe (lawan kafir).

Aceh, yang telah menjadi kesultanan merdeka sejak awal abad ke-13, menjadikan syariat Islam sebagai dasar untuk menata kehidupan masyarakatnya. Berbagai bangsa Eropa yang datang beberapa abad kemudian, terutama Belanda, tidak dapat menguasai Aceh.

Kedaulatan Aceh sangat dihormati. Traktat London atau Traktat Sumatera I (17 Maret 1824) antara Inggris dan Belanda menyebutkan bahwa kedua negara itu tidak akan melakukan permusuhan dengan Aceh. Tetapi karena Belanda memandang Aceh sebagai suatu kekuatan yang menghalangi invasinya ke berbagai daerah di Sumatera, beberapa kali terjadi konflik antara keduanya.

Pada 1829, misalnya, Belanda menyerang Barus yang waktu itu termasuk wilayah kekuasaan Aceh. Kapal dagang Belanda tidak mendapat sambutan yang semestinya walaupun dengan sekuat tenaga Belanda telah berusaha mencari hubungan baik dengan sultan.

Pada 1871 Belanda berhasil membawa Inggris ke meja perundingan yang melahirkan Traktat Sumatera II. Isi traktat itu antara lain adalah bahwa Belanda bebas memperluas wilayah kekuasaannya di Sumatera. Ini berarti bahwa Belanda tidak lagi terikat pada Traktat London yang amat menghormati kedaulatan Aceh.

Dengan berbagai siasat, Belanda berusaha menundukkan Aceh dan meminta sultan supaya mengakui kedaulatan Belanda. Karena sultan tidak mau mengabulkan permintaan itu, Belanda mengeluarkan pernyataan perang terhadap Aceh (26 Maret 1873).

Pada 5 April 1873 Belanda telah siap di perairan Aceh dengan 6 kapal uap, 2 kapal angkatan laut, 5 kapal barkas, 8 kapal ronda, 1 kapal komando, 5 kapal layar, dan 6 kapal pengangkut. Pasukan Belanda mendarat di Pantai Kuta Ceureumen dengan 168 orang perwira dan 3.198 personel lainnya di bawah komando J.H.R. Kohler.

Peperangan antara kedua belah pihak tak terelakkan. Pasukan Aceh mengumandangkan kalimat tauhid dan takbir dengan keyakinan bahwa peperangan yang mereka lakukan itu adalah jihad di jalan Allah untuk melawan pasukan kafir. Mereka merasa berjihad dalam membela agama dan negara.

Periode pertama (1873–1876) peperangan itu diawali dengan sistem bertahan. Pasukan Aceh bukanlah pasukan yang terlatih dan terkoordinasi secara baik, terutama apabila dibandingkan dengan tentara Belanda, namun dengan semangat jihad mereka mampu bertahan menghadapi serangan Belanda.

Pasukan Aceh berperang dalam bentuk kumpulan kecil yang terpisah­pisah, tetapi ada pula yang bergabung dengan pasukan yang agak besar yang dipimpin para uluebalang (penguasa di bawah sultan) dan ulama.

Pada 14 April 1873 Belanda merebut Masjid Raya di Kutaraja (sejak 1962, Banda Aceh), yang sebelumnya sudah pernah diduduki Belanda tetapi kemudian dapat dikuasai pasukan Aceh kembali. Namun dalam usaha merebut masjid itu kembali, Kohler mati tertembak oleh pasukan Aceh, sehingga pasukan kaphe (kafir) harus mundur dengan menderita kerugian yang tidak kecil. Akhirnya pantai Aceh harus mereka tinggalkan pada 29 April 1873.

Kegagalan serangan pertama tersebut diikuti serangan kedua dengan kekuatan pasukan dua kali lipat, terdiri dari angkatan laut dan angkatan darat yang didatangkan dari Jawa pada November 1873 di bawah pimpinan Letnan Jenderal J. van Swieten. Serangan dimulai pada 9 Desember.

Kesetiaan raja daerah dan rakyat terhadap sultan membuat Belanda sulit menghadapi perlawanan rakyat, tetapi akhirnya istana sultan dapat direbut Belanda pada 24 Januari 1874. Kendati demikian, karena pertempuran itu begitu berat bagi Belanda, perang dihentikan dengan harapan dapat membuat perjanjian dengan sultan Aceh.

Secara tidak diduga, Sultan Mahmud Syah, penguasa Kesultanan Aceh pada waktu itu, meninggal pada 29 Januari 1874 karena sakit. Keadaan ini dimanfaatkan Belanda untuk memproklamasikan kemenangannya atas Aceh pada 31 Januari 1874 dan mengharapkan supaya daerah di luar Aceh Besar mengakui kedaulatan Belanda.

Maklumat Belanda itu memperdalam kebencian masyarakat terhadap Belanda dan membangkitkan gelora ulama dan umat Islam untuk melawan Belanda dengan sekuat tenaga. Tetapi akibat tidak terkoordinasinya kegiatan, rakyat Aceh tidak beroleh kemenangan. Kendati demikian, kerugian tidak sedikit di pihak Belanda.

Dari 1874 sampai 1876 sejumlah uluebalang menandatangani perjanjian dengan Belanda, yang pada intinya mengakui kedaulatan Belanda atas Aceh. Tetapi tidak sedikit dari uluebalang itu yang hanya bersikap pura-pura sambil tetap memberikan bantuan kepada barisan muslimin.

Di sisi lain adanya perjanjian itu tidaklah dapat menghentikan serangan terhadap Belanda; rakyat Aceh melakukan perlawanan secara terus-menerus. Pada masa itu perang gerilya muncul di mana-mana di bawah pimpinan ulama dan pemuka adat.

Sesudah gagal menaklukkan Aceh dengan kekuatan senjata, pemerintah Hindia-Belanda berusaha mendekati para pejuang Aceh dengan menawarkan hadiah. Selain itu, Belanda berusaha mencuri rahasia kekuatan Aceh, terutama yang menyangkut kehidupan sosial-budayanya. Untuk itu ditugaskan Dr. Christiaan Snouck Hurgronje, yang paham tentang agama Islam dan pernah mempunyai pengalaman bergaul dengan orang Aceh yang naik haji di Mekah.

Pada permulaannya kedatangan Snouck Hurgronje ke Aceh mendapat rintangan dari gubernurnya, namun akhirnya dengan dukungan dari pemerintah Hindia-Belanda di Batavia ia dapat masuk ke Aceh. Dengan nama samaran Abdul Gaffar, ia muncul di Aceh sejak Juli 1891 sampai Februari 1892; ia bertempat tinggal di tengah rakyat di Peukan Aceh.

Dari hasil penelitian Snouck Hurgronje, pemerintah Hindia-Belanda memperoleh petunjuk bahwa satu satunya jalan yang akan membawa hasil adalah memecah-belah kekuatan masyarakat Aceh. Kaum bangsawan Aceh dan anak-anaknya harus diberi kesempatan untuk masuk dalam korps pangreh praja, supaya mereka terikat pada pemerintah Hindia-Belanda dan terpisah dari golongan ulama.

Kaum ulama yang memimpin perlawanan harus berhadapan dengan kekuatan senjata; untuk menguasai Aceh, Belanda harus menggunakan kekuatan senjata dan tidak boleh melakukan kontak perundingan sebelum mereka benar-benar menyerah.

Peperangan berlangsung selama bertahun-tahun dengan kerugian besar pada kedua belah pihak. Pada 1898 Belanda melakukan serangan besar-besaran, terutama ke Pidie, guna mengejar Sultan Muhammad Daud (putra dan pengganti Sultan Mahmud Syah), Panglima Polem (penguasa Sagi XXII, suatu wilayah kesultanan), dan Teuku Umar. Di Pidie, Aceh Tengah dan Tenggara, Aceh Barat, dan Aceh Utara terjadi perlawanan yang amat gigih.

Perang Sabil, yang dimotivasi oleh keyakinan agama, berakhir pada 1912. Perang itu melahirkan sejumlah pahlawan seperti Teungku Tjik Di Tiro, Teuku Umar, Tjoet Njak Dien, Tjoet Njak Meutia, Panglima Polem, Teuku Lung Bata, Teungku Njak Makam, Nyak Hasan, Nyak Bintang, dan Teungku Haji Muhammad yang lebih dikenal dengan nama Teungku Tjik Pante Kulu. Perang itu begitu terkenal, sehingga beberapa peperangan lain dengan motivasi yang sama di tanah air disebut pula perang sabil, seperti Pemberontakan Banten 1888.

Tjik Di Tiro (Tiro, Pidie, 1836–Januari 1891) bernama asli Muhammad Saman. Dalam perjalanan sejarahnya, sejak menggantikan kedudukan gurunya (seorang ulama di Desa Tiro), ia menuliskan “Tiro” di belakang namanya. Karena ia adalah ulama, ia sering dijuluki “Teungku”, sedangkan sebutan “Tjik” (besar) berarti ia adalah ulama besar. Masyarakat yang mengenalnya menyebutnya “Teungku Tjik Di Tiro”.

Tjik Di Tiro mulai berjuang sesudah diangkat sebagai pemimpin perang ke Aceh Besar atas keputusan rapat rahasia di Pidie antara Tjik Muhammad Amin Dayah Tjoet (seorang ulama yang berpengaruh besar di Tiro) dan delegasi kaum pejuang Aceh.

Pengangkatan itu merupakan jawaban atas berita yang dibawa delegasi itu perihal situasi buruk Aceh Besar, bahwa Belanda berhasil mengusir pasukan Aceh ke luar garis pertahanan Belanda dan menaklukkan Mukim XXII dan Mukim XXVI.

Selain itu, sultan Aceh juga memberi kuasa kepada Tjik Di Tiro untuk memimpin perang sabil dengan mengangkatnya menjadi seorang wazir sultan (setingkat menteri).

Dalam perjalanan dari Tiro ke Aceh Besar, di berbagai tempat ia menemui ulama dan pemimpin rakyat dalam rangka mengobarkan semangat jihad. Mereka yang tak mampu mengangkat senjata diminta untuk menyisihkan harta untuk membantu jihad di jalan Allah SWT. Maka berduyun-duyunlah masyarakat untuk ikut bertempur dan terkumpullah dana perang. Ulama yang dijumpai berjanji akan membantunya.

Setelah berhasil mengunjungi beberapa tempat, akhirnya ia membangun markas besar di Mureu, dekat Indrapuri (Aceh Besar). Dari sana ia mengirim utusan ke segala penjuru Aceh untuk menjumpai ulama dan pemimpin rakyat. Dalam tempo 3 bulan saja, seluruh Aceh, terutama Aceh Besar, telah terbakar api jihad.

Sementara itu, karena tekanan dari para pejuang Aceh, pada Februari dan Maret 1878 Belanda terpaksa mengirimkan kekuatan militernya ke bagian selatan Aceh Besar dan ke Aceh Barat. Pasukan Tjik Di Tiro berhasil merebut pos dan benteng Belanda di beberapa tempat. Maka Belanda segera mengirimkan pasukannya ke sana. Laskar Aceh berhasil menggagalkan serangan Belanda terhadap kubu perjuangan di Garot.

Karena di sekitar Idi dan Geudong (Aceh Utara) mengalami tekanan dari laskar Aceh, Belanda mengerahkan kekuatan militernya ke tempat ini. Operasi pada 1878 berhasil menaklukkan Seuneulob, Aneuk Galong (bekas kedudukan Panglima Polem), dan Montasik. Tetapi sejak 1881 Tjik Di Tiro berhasil merebut benteng Belanda di Indrapuri, Lambaro, Aneuk Galong, dan sebagainya.

Dari tahun ke tahun perlawanan Aceh semakin bertambah, sedangkan kekuatan dan perbendaharaan Belanda semakin berkurang. Akibatnya, Belanda menarik diri ke daerah yang benar-benar sudah dikuasainya dan memusatkan diri di Kutaraja.

Pada 1884 ulama bertambah aktif dalam memimpin pertempuran mengejar musuh. Sultan Muhammad Daud Syah (1874–1903), yang telah mulai menjalankan tugasnya sebagai sultan Aceh dengan kedudukan di Keumala, Pidie, berseru kepada para uluebalang agar terus menggiatkan pengumpulan harta benda untuk perang sabil.

Ketika Teungku Tjik Di Tiro sedang sibuk-sibuknya mempersiapkan angkatan perang sabil, Teungku H. M. Pante Kulu yang baru saja pulang dari Mekah mempersembahkan sebuah karya sastra berbentuk puisi yang terkenal dengan sebutan Hikayat Perang Sabil. Hikayat ini berhasil membantu membangkitkan semangat perang di kalangan masyarakat Aceh.

Tjik Di Tiro dan barisan sabilnya yang berjumlah lebih dari 6.000 orang memperhebat serangan atas garis konsentrasi Belanda di Kutaraja. Akibatnya, tentara Kompeni hampir tidak bisa bergerak. Jalan kereta api dan trem rusak berat. Kawat telepon yang menghubungkan benteng Belanda satu sama lain berhasil dirampas.

Pada Juli 1889 kedudukan Belanda dekat Kuta Pohama (Kutaraja) dihantam, sehingga jatuh korban di pihak Belanda 22 orang mati dan 94 orang luka-luka. Belanda kemudian mengadakan serangan balasan dan berhasil memukul mundur pasukan Aceh. Beberapa puluh orang mati syahid di pihak Aceh tetapi tak ada yang menyerah.

Akhirnya Belanda menyadari bahwa Aceh takkan berhasil ditaklukkan dengan kekuatan senjata saja. Maka Belanda berusaha memikat para pemimpin pejuang Aceh. Tjik Di Tiro ditawari sejumlah hadiah dan uang jaminan tahunan. Tawaran serupa juga disebarluaskan di kalangan uluebalangnya. Akibatnya, timbul perpecahan di antara mereka.

Strategi lain yang dilakukan Belanda adalah mencari rahasia kekuatan Aceh, terutama yang menyangkut kehidupan sosial-budaya. Untuk itu ditugasi Dr. Snouck Hurgronje. Tetapi perlawanan rakyat Aceh di daerah terus berlangsung.

Maka Belanda akhirnya menyuruh membubuhkan racun pada makanan yang hendak dihidangkan bagi pemimpin Aceh. Pada tahun 1891 Tjik Di Tiro berhasil dilumpuhkan di Benteng Aneuk. Ia dimakamkan di Indrapura.

Teuku Umar (Meulaboh, Aceh, 1854–11 Februari 1899) mulai memimpin perang pada 1876 di Meulaboh (Aceh Barat). Pada tahun itu raja Meulaboh mengikat perjanjian kerjasama dengan Belanda. Hal ini ditentang keras oleh Teuku Umar. Ia lalu memimpin perlawanan terhadap pasukan Belanda yang memasuki Kampung Darat di tepi Sungai Merbau.

Pada 14 Februari 1878 Belanda berhasil menduduki Kampung Darat sehingga Teuku Umar pindah ke Aceh Besar dan bergabung dengan pasukan yang dipimpin Tuanku Hasyim, Panglima Polem, Teuku Lung Bata, Teungku Tjik Di Tiro, Teuku Nanta, dan Habib Abdurrahman.

Pada 1881 Teuku Umar mempertahankan pelabuhan Pate di utara Meulaboh. Pada 1882 ia berada di medan perang Mukim XXV, Aceh Besar, kemudian mengusir Belanda dari Krueng Raba dan mendirikan markas di sana.

November 1883, sebuah kapal Inggris kandas di pantai kerajaan kecil Teunom, Aceh Barat. Teuku Imam Muda, raja Teunom, menyandera semua awak kapal agar Belanda mencabut blokade terhadap pelabuhan Teunom dan membayar tebusan 100.000 ringgit. Belanda berusaha membebaskan para sandera (4 Januari 1884) tetapi gagal karena sandera telah dibawa ke pedalaman.

Maka Belanda mencari jalan damai dengan meminta bantuan Teuku Umar. Ketika itu, ia telah menyatakan diri berdamai dengan Belanda. Untuk membuktikan sikap damainya, ia bersedia memenuhi permintaan Belanda untuk merundingkan pembebasan para sandera dengan raja Teunom. Tetapi sebenarnya secara rahasia ia menasihati raja agar tidak mengurangi jumlah uang tebusan, bahkan kalau perlu, meminta lebih besar.

Pada 3 Juli 1884 Teuku Umar dan beberapa puluh anak buahnya dibawa dengan sebuah kapal perang Belanda ke sebuah tempat terpencil di pantai Teunom. Tetapi dalam pelayaran itu amarahnya bangkit karena mendapat penghinaan dari orang Belanda. Maka setelah tiba di darat naik sebuah sekoci, ia dan anak buahnya menyerang kesembilan kelasi Belanda yang mengiringinya.

Tujuh awak kapal tewas, seorang luka parah, dan seorang lagi melarikan diri. Teuku Umar mengambil senjata dan amunisi mereka, lalu melarikan diri untuk melanjutkan peperangan. Ia melancarkan peperangan di Aceh Barat, karena ia diangkat Sultan Muhammad Daud Syah menjadi amirulbahri, panglima laut untuk wilayah itu.

Pada 14 Juni 1886 ia menyerang kapal api kecil Hok Canton yang memuat lada dan sedang berlabuh di pantai Rigaih, Aceh Barat. Kapal itu diserang karena kaptennya bermaksud menyerahkan Teuku Umar ke penguasa Belanda dan tidak mau membayar harga lada sesuai dengan perjanjian.

Kapten kapal dan juru mesinnya dibunuh, sedangkan istri kapten dan jurumudi satu dijadikan sandera untuk sejumlah uang tebusan. Pasukan Belanda yang dikirim untuk membebaskan sandera dipukul mundur. Akhirnya, sandera dibebaskan setelah Belanda membayar uang tebusan sebesar 25.000 ringgit.

September 1893 Teuku Umar bersama lima belas panglimanya mendatangi gubernur militer Belanda, C. Deijkerhoff, untuk bekerjasama mengamankan Aceh. Deijkerhoff menyambut baik tawaran itu, dan dalam suatu upacara di Kutaraja mengangkat Teuku Umar sebagai panglima perang besar dengan gelar Teuku Johan Pahlawan.

Ia juga diberi hak untuk memiliki tentara sebanyak 250 orang, menerima uang sebanyak 66.360 gulden setahun, dan mendapat rumah besar di Lam Pisang, Aceh Besar. Pada 19 Januari 1896, ia diangkat sebagai uluebalang Leupeung, Aceh Besar selatan.

Selama berpihak pada Belanda, Teuku Umar berhasil mengamankan sejumlah mukim dari pejuang Aceh. Tetapi hal itu tidak melemahkan para pemimpin perang lainnya. Sultan Muhammad Daud Syah mengirim surat untuk mengingatkannya pada perang sabil yang diikutinya bersama Tjik Di Tiro. Diingatkannya pula bahwa berpihak pada Belanda sama dengan melepaskan agama, syariat, dan adat. Sultan memintanya agar kembali ke pihak pejuang Islam Aceh.

Permintaan sultan dan desakan Tjoet Njak Dien menyebabkan Teuku Umar kembali ke barisan Aceh. Ia bersama sejumlah besar pasukannya meninggalkan Belanda (29 Maret 1896) dengan membawa banyak uang, mesiu, dan senjata.

Pada 26 April 1896 gubernur baru mulai melakukan serangan terhadap Teuku Umar di Mukim VI. Pada Mei 1896 pasukan Belanda dapat menguasai Mukim VI sehingga Teuku Umar mundur ke Daya Hulu, Aceh Barat. Sementara itu, pasukan Belanda terus mengejar Teuku Umar.

Pada Februari 1898 Teuku Umar datang ke Mukim VII, Pidie, memenuhi panggilan Sultan Muhammad Daud Syah untuk bergabung. Pada 1 April 1898 ia bersama Teuku Johan Lampaseh, Teuku Tjoet Tungkob, dan uluebalang dari Mukim VI dan III mengucapkan sumpah setia kepada sultan untuk bersama­sama meneruskan perang sabil.

Pada 23 Juli 1898 di Keude Meulu, Pidie, Teuku Umar ditunjuk sebagai pemimpin perang oleh musyawarah pemimpin adat dan agama. Karena hebatnya serangan Belanda, ia mundur ke Aceh Barat. Akhirnya, dalam suatu pertempuran dekat Meulaboh, ia tertembak oleh pasukan Belanda.

Tjoet Njak Dien (Lam Padang, IV Mukim, Aceh Besar, 1848 – Sumedang, Jawa Barat, 6 November 1908) baru berusia 12 tahun ketika peperangan meletus (1873) dan baru saja menikah dengan Teuku Tjik Ibrahim Lam Ngha. Tetapi dalam suatu pertempuran melawan Belanda, suaminya itu gugur (Juni 1878).

Ia lalu dipersunting Teuku Umar. Dalam perlawanannya terhadap Belanda, Tjoet Njak Dien selalu setia mendampingi Teuku Umar di Aceh Barat. Bersama suaminya itu, ia mula-mula hanya bertahan di Kampung Darat, tempat kelahiran Teuku Umar. Kemudian, perlawanan meluas sampai ke Meulaboh.

Pada 1878, akibat serbuan hebat dari pasukan Belanda yang dibantu tembakan meriam dari kapalnya, Tjoet Njak Dien dan suaminya terpaksa bergerak ke Aceh Besar. Di sini keduanya dapat melancarkan serangan dan memaksa Belanda meninggalkan posnya.

Selama Teuku Umar berpihak pada Belanda (September 1893–Maret 1896), Tjoet Njak Dien terus berjuang melawan Belanda. Sesudah meninggalkan Belanda, Teuku Umar, berkat dorongan istrinya itu, segera bergabung dengan pejuang Aceh lainnya.

Sesudah Teuku Umar gugur (11 Februari 1899), Tjoet Njak Dien bersama para panglima Aceh lainnya meneruskan perjuangan, bermarkas di Tanah Gayo dan Takengon, Aceh Tengah. Selama 6 tahun ia bersama sisa pasukannya hidup di hutan belantara dalam keadaan buta. Dari pedalaman Meulaboh, ia terus memimpin perlawanan, didukung bekas anak buah suaminya.

Penderitaan Tjoet Njak Dien sempat tercium pihak Belanda. Pada 19 September 1905 Letnan J.H.C. Vastenou bersama patrolinya di pantai barat Aceh menyergap dan menewaskan seorang wanita tua yang buta; padanya ditemukan sebuah buku kas dan beberapa buah cap. Vastenou segera melaporkan bahwa Tjoet Njak Dien telah tewas, tetapi kemudian ternyata wanita itu sengaja bertindak sebagai ‘duplikat’ Tjoet Njak Dien untuk melepaskannya dari kejaran Belanda.

Pada 19 Oktober 1905 Veltman memperoleh keterangan dari seorang teuku di Lango yang menyebutkan bahwa tidak benar Tjoet Njak Dien telah tewas. Pada 30 Oktober 1905 ia berangkat mencari tempat persembunyian Tjoet Njak Dien, tetapi yang ditemukan adalah sejumlah bekas tempat persembunyiannya. Menurut keterangan penunjuk jalan, setiap 8–10 hari tempat persembunyian Tjoet Njak Dien berpindah.

Pada 1 November Veltman melakukan patroli ke berbagai arah. Pada 3 November 1905 Panglima Laot Ali dengan disertai seorang anak pencari makanan untuk Tjoet Njak Dien berhasil menemukan tempat Tjoet Njak Dien. Anak itu mau menunjukkan tempat persembunyian sesudah dijanjikan bahwa Tjoet Njak Dien tidak akan diapa-apakan. Pada 4 November 1905 Veltman menuju tempat yang telah ditunjukkan.

Meskipun usaha pencegatan itu dilakukan dengan hati-hati, rakyat Aceh telah mencium kehadiran Korps Marsose sebelum berhasil sampai ke tempat persembunyian Tjoet Njak Dien. Tetapi penyerbuan oleh Van Vuuren bersama brigadenya akhirnya berhasil menangkap Tjoet Njak Dien. Ia lalu ditawan di Kutaraja.

Sebagai tawanan, Tjoet Njak Dien diperlakukan dengan baik dan dapat dikunjungi para tamunya. Tetapi kedatangan tamunya menimbulkan kecurigaan pihak Belanda dan ia dituduh membuat permufakatan dengan bekas pejuang Aceh untuk melawan Belanda.

Dengan tuduhan itu, ia kemudian dibuang ke Sumedang, Jawa Barat (11 Desember 1905) hingga wafat di sana. Wanita pejuang kemerdekaan RI ini dimakamkan di Gunung Puyuh, Sumedang, Jawa Barat. Tjoet Njak Dien diangkat sebagai Pahlawan Nasional dengan SK Presiden No. 106 tahun 1964, 2 Mei 1964.

Tjoet Njak Meutia (Pirak, Keureutoe, Aceh Utara, 1870–Alue Kurieng, Aceh, 24 Oktober 1910) semula berjuang melawan Belanda bersama suaminya, Teungku Tjoet Muhammad. Suatu ketika suaminya difitnah  pemerintah Hindia-Belanda dengan tuduhan membunuh serdadu Belanda.

Atas tuduhan ini suaminya dieksekusi di tepi pantai Lhokseumawe, Aceh Utara (Maret 1905). Jenazahnya dimakamkan di belakang Masjid Mon Geudong, Lhokseumawe.

Sebelum hukuman tembak dilakukan, Teuku Tjoet Muhammad berpesan kepada Pang Nagroe, seorang panglima muslim dan teman karib seperjuangannya, agar menikahi istrinya (Tjoet Njak Meutia), memelihara anaknya (Teuku Raja Sabi’), dan meneruskan perjuangan.

Ketika Teuku Tjoet Muhammad masih dalam tahanan Belanda di Lhokseumawe, Tjoet Njak Meutia bersama anaknya Teuku Raja Sabi’ (umur 7 tahun) berada di Desa Pirak (puluhan kilometer dari Lhokseumawe).

Sejak suaminya itu ditangkap Belanda hingga ditembak mati, ia tidak pernah bertemu lagi dengannya. Ia sedang sakit parah seusai melahirkan putra kembar yang tak lama kemudian meninggal. Berbulan-bulan ia sakit berat dan badannya lumpuh.

Beberapa hari sesudah kematian Teuku Tjoet Muhammad, Pang Nagroe bersama rombongan muslimin menemui Tjoet Njak Meutia untuk menyampaikan berita itu dan untuk membawanya berobat. Tibalah mereka di Desa Sarah Saba di pedalaman Pasai. Karena serdadu Belanda (Korps Marsose) sudah mengetahui tempat tinggal Tjoet Njak Meutia, ia dipindahkan ke hutan lebat di daerah Minye Reulah, Ara Keumedi.

Tak lama kemudian, ia pindah lagi ke sebuah dusun, yang kemudian diberi nama Bukit Masjid, karena Pang Adit (Teungku Raja Imeum Abdul Aziz Matang Ubi) sesampainya di tempat itu mendirikan sebuah masjid, yang kemudian dijadikan markas dan tempat pengajaran agama. Di sini Tjoet Njak Meutia kemudian sembuh dari sakit lumpuhnya.

Setelah kondisi Tjoet Meutia pulih, ia bersama Pang Nagroe dan Teuku Raja Sabi’ beserta pasukan menuju Bukit Broek Ja dan bergabung dengan pasukan muslimin lainnya di bawah pimpinan Teuku Muda Gantoe. Maka mereka sama-sama menyusun kekuatan dan belajar agama dari seorang syekh yang didatangkan ke situ, yakni Teungku Lueng Keubeu. Di Broek Ja, sesuai dengan wasiat suaminya, Tjoet Meutia menikah dengan Pang Nagroe (diperkirakan 1907).

Tjoet Njak Meutia semakin terdesak oleh pukulan Korps Marsose. Meskipun demikian, Pang Nagroe bersama istrinya tetap di garis depan. Akhirnya, desakan musuh memaksa Tjoet Meutia dan para wanita lain untuk melarikan diri ke hutan. Pang Nagroe melakukan perlawanan dalam jarak dekat, sehingga menemui ajal 26 September 1910. Jenazahnya dimakamkan di samping Masjid Lhoksukon, Aceh Utara.

Tjoet Meutia kemudian bangkit memegang tampuk pimpinan dengan kekuatan yang tersisa sebanyak 45 orang dan 13 pucuk senapan. Ia mengirim beberapa kurir ke Beuranang (wilayah Peutoe) dan Reungkom (wilayah Matangkuli, Aceh Utara) untuk mencari perbekalan dengan merampas pos-pos kolonial. Hasil rampasan itu digunakan sebagai bekal selama perjalanan ke arah Gayo, Aceh Tengah.

Bersama Teungku Seupot Mata, ia dan pasukannya bergerak menuju Gayo menembus hutan belantara. Sesampai di Alue Kurieng, mereka berhadapan dengan Korps Marsose yang sedang berpatroli.

Tjoet Njak Meutia dan Teungku Seupot Mata gugur dalam pertempuran tersebut. Menurut suatu catatan, peristiwa itu terjadi 24 Oktober 1910. Makam Tjoet Njak Meutia, Teungku Seupot Mata, dan sejumlah syuhada lain terdapat di Alue Kurieng.

DAFTAR PUSTAKA

Abdullah, Taufik, ed. Agama dan Perubahan Sosial. Jakarta: Rajawali, 1983.
Alfian, T. Ibrahim. Perang di Jalan Allah, Perang Aceh 1873–1912. Jakarta: Pustaka Sinar Harapan, 1987.
__________. Sastra Perang Sebuah Pembicaraan Mengenai Hikajat Perang Sabil. Jakarta: Balai Pustaka, 1992.
Hasjmy, A. Apa Sebab Rakyat Aceh Sanggup Berperang Puluhan Tahun Melawan Agressi Belanda. Jakarta: Bulan Bintang, 1977.
__________. Peranan Islam dalam Perang Aceh dan Perjuangan Kemerdekaan. Jakarta: Bulan Bintang, 1976.
Kartodirdjo, Sartono. Sejarah Perlawanan terhadap Kolonialisme. Jakarta: Pusat Sejarah ABRI, 1973.
Steenbrink, Karel A. Beberapa Aspek tentang Islam di Indonesia. Jakarta: Bulan Bintang, 1984.

Helmi Karim

__