Sabar

(Ar.: as-sabr)

Sabar berarti “menahan diri dalam menanggung suatu penderitaan, baik dalam menemukan sesuatu yang tidak diingini ataupun dalam bentuk kehilangan sesuatu yang disenangi”. Menurut al-Ghazali (teolog, filsuf, dan sufi besar dalam Islam; 1058–1111), “Sabar adalah suatu kondisi mental dalam mengendalikan nafsu yang tumbuh atas dorongan ajaran agama.”

Sabar merupakan kondisi mental dalam mengendalikan diri, sehingga merupakan salah satu maqam (tingkatan) yang harus dijalani sufi dalam mendekatkan diri kepada Allah SWT. Dalam maqam yang harus dilalui sufi tersebut, biasanya maqam sabar diletakkan sesudah zuhud.

Keberhasilannya dalam maqam zuhud akan membawanya ke maqam sabar. Dalam maqam sabar ini ia tidak lagi tergoncang oleh penderitaan dan hatinya sudah betul-betul teguh dalam menghadap Allah SWT.

Sabar mempunyai tiga unsur, yaitu ilmu, hal, dan amal. Yang dimaksud ilmu di sini adalah pengetahuan atau kesadaran bahwa sabar itu mengandung kemaslahatan dalam agama dan memberi manfaat bagi seseorang dalam menghadapi segala problem kehidupan. Pengetahuan yang demikian seterusnya menjadi milik hati.

Keadaan hati yang memiliki pengetahuan demikian disebut hal. Kemudian hal tersebut terwujud dalam tingkah laku. Terwujudnya hal dalam tingkah laku disebut amal. Al-Ghazali mengumpamakan tiga unsur kesabaran itu laksana sebatang pohon. Ilmu adalah batangnya, hal cabangnya, dan amal buahnya.

Sabar merupakan bagian dari iman, seperti sabda Nabi Muhammad SAW (diriwayatkan Abu Nu‘aim), “Sabar itu sebagian dari iman.” Tanpa kesabaran, iman akan terhapus dari hati. Karena iman merupakan pembenaran terhadap dasar agama dan akan menumbuhkan amal saleh, iman mempunyai dua unsur, yaitu yakin dan sabar.

Yakin adalah pengetahuan yang pasti terhadap dasar agama yang berpangkal dari wahyu, sedangkan sabar adalah praktek dari keyakinan. Apabila mudarat atau kerugian suatu maksiat serta manfaat kepatuhan pada perintah Allah SWT diketahui, maka upaya untuk menjauhi maksiat dan mengamalkan perintah itu dilaksanakan atas dasar kesabaran. Dari sisi ini, sabar merupakan sebagian dari iman.

Selanjutnya apabila sabar dipandang dari sudut praktek yang menjadi pengejawantahan dari iman, ditemui dua hal yang bertentangan, yaitu manfaat dan mudarat. Dalam menghadapi manfaat, mukmin diperintahkan bersyukur dan dalam menghadapi mudarat diperintahkan bersabar.

Dari sudut ini sabar juga merupakan sebagian dari iman, dan sebagiannya lagi adalah syukur. Hubungan antara sabar dan iman, menurut Ali bin Abi Thalib, laksana kepala dengan badan, badan tidak berarti tanpa kepala.

Keterkaitan sabar dengan iman mengakibatkan kadar kesabaran menjadi bertingkat-tingkat sebagaimana kadar iman. Abdus Samad al-Palimbani membagi sabar atas tiga tingkatan, yaitu:

(1) sabar orang awam (tasabbur), yakni menanggung kesusahan dan menahan kesakitan dalam menerima hukum Allah SWT;

(2) sabar orang yang menjalani tarekat, yakni terbiasa dengan sifat sabar;

(3) dan sabar orang arif (istibar), yakni merasa lezat dengan bala dan merasa rela dengan ikhtiar Allah SWT atas dirinya.

Sesuai dengan definisi sabar yang diberikan al-Ghazali, yakni kesanggupan mengendalikan diri, kesabaran diartikan sebagai upaya pengendalian nafsu yang ada dalam diri manusia. Dalam upaya tersebut manusia dapat dibagi menjadi tiga tingkatan.

(1) orang yang sanggup mengalahkan hawa nafsunya, karena ia mempunyai daya juang dan kesabaran yang tinggi;

(2) orang yang kalah oleh hawa nafsunya; ia telah mencoba bertahan atas dorongan nafsunya, tetapi kalah karena kesabarannya lemah;

(3) orang yang mempunyai daya tahan terhadap dorongan nafsu, tetapi suatu ketika kalah karena dorongan nafsunya besar. Meskipun demikian, ia bangun lagi dan terus tetap bertahan dengan sabar atas dorongan nafsu tersebut.

Nabi SAW mengakui adanya tingkatan kesabaran. Beliau membagi atas tiga tingkatan, yaitu

(1) kesabaran dalam menghadapi musibah,

(2) kesabaran dalam mematuhi perintah Allah SWT,

(3) kesabaran dalam menahan diri untuk tidak melakukan maksiat.

Kesabaran pertama merupakan kesabaran terendah, kesabaran tingkat kedua merupakan kesabaran tingkat pertengahan, dan kesabaran tertinggi merupakan kesabaran tingkat ketiga (HR. Ibnu Abi ad-Dunia). Allah SWT akan membalas kesabaran orang yang sabar dengan pahala yang tidak terkira besarnya (QS.28:54 dan QS.39:10).

Dalam hadis Nabi SAW banyak pula disebutkan keutamaan sabar. Antara lain yang diriwayatkan at-Tabrani, Nabi SAW bersabda, “Kalaulah kesabaran itu berwujud seorang lelaki, niscaya ia akan menjadi orang mulia dan Allah menyukai orang-orang yang sabar.” Dalam hadis lain yang diriwayatkan at-Tirmizi, disebutkan, “Sabar terhadap sesuatu yang engkau benci merupakan kebajikan yang besar.”

DAFTAR PUSTAKA

al-Ghazali, Abu Hamid Muhammad bin Muhammad. Ihya’‘Ulum ad-Din. Cairo: Mustafa al-Babi al-Halabi, 1939.

al-Kalabazi, Abu Bakar Muhammad. at-Ta‘arruf li Madzhab Ahl at-Tasawwuf. Cairo: Maktabah al-Kulliyah al-Azhariyah, 1969.

al‑Palimbani, Abdussamad. Sair as‑Salikin fi tariqah as-Sadat as-sufiyyah. Cairo: Isa al‑Babi al‑Halabi, 1953.

al-Qusyairi, Abu al-Qasim Abdul Karim. ar-Risalah al-Qusyairiyyah. Cairo: Mustafa al-Babi al-Halabi, 1959.

Yunasril Ali

__