Rukun Iman

“Bukanlah menghadapkan wajahmu ke arah timur dan barat itu suatu kebaikan, tetapi sesungguhnya kebaikan itu adalah beriman kepada Allah SWT, hari akhirat, para malaikat, kitab-kitab, dan para nabi” (QS.2:177).

Prinsip-prinsip dasar dalam Islam yang wajib diyakini setiap muslim disebut rukun iman. Rukun berarti sendi paling kuat untuk tegaknya sesuatu. Kelima prinsip pada surat al-Baqarah (2) ayat 177 di atas populer dengan sebutan rukun iman. Dalam hadis yang diriwayatkan Bukhari dan Muslim, rukun iman diungkapkan dengan redaksi yang agak berbeda, terutama Muslim menam­bahkan beriman­ kepada takdir Allah SWT.

Namun, menurut Harun Nasution, beriman kepada takdir Allah SWT tidak termasuk rukun iman karena iman kepada takdir tidak tercantum secara ekplisit dalam Al-Qur’an. Beriman kepada takdir mendorong seseorang menjadi fatalis, yang sesungguhnya tidak sesuai dengan semangat ajaran Islam yang selalu mendorong seseorang menggunakan akal semaksimal mungkin dan melarang untuk cepat berputus asa.

Iman, menurut aliran Salafiyah (kembali kepada Al-Qur’an dan hadis) dan Asy‘ariyah, adalah pembenaran dalam hati, ikrar dengan lisan, dan pengamalan dengan anggota badan. Ucapan dan perbuatan adalah cabang iman, sebagaimana disebutkan dalam suatu hadis,

“Iman itu tujuh puluh cabang lebih atau enam puluh cabang lebih, yang paling utama adalah ucapan la ilaha illa Allah, dan yang rendah adalah menyingkirkan rintangan dari jalan, sedangkan rasa malu salah satu cabang iman.”

Dalam konteks ini, iman dapat bertambah dan berkurang karena perbuatan; semakin baik amal seseorang semakin tinggi derajat imannya.

Golongan Khawarij (aliran teologi pertama­ dalam Islam, mulai pada abad ke-8) dan Muktazilah (aliran teologi Islam rasional dan liberal, dikembangkan Wasil bin Ata pada 718) mengatakan bahwa iman adalah satu kesatuan dari tiga unsur tersebut, yaitu pembenaran dalam hati, pengikraran dengan lidah, dan pengamalan dengan anggota­ badan.

Ucapan dan amal bukan cabang iman, tetapi iman itu sendiri yang timbul akibat dari pengetahuan tentang Tuhan. Karena itu, iman tidak berkurang dan tidak bertambah. Sebagai konsekuensi dari konsep ini, pendosa besar adalah kafir; sedangkan bagi kaum Salaf dan Asy‘ariyah mereka tetap mukmin.

Beriman kepada Allah SWT berarti meyakini bahwa Allah SWT adalah esa (zat-Nya satu), Pencipta satu-satunya, dan Zat yang disembah. Zat Allah SWT Esa berarti tidak ada yang menyerupai-Nya, yang dalam ilmu tauhid disebut laisa kamitslihi syai’ (tidak ada satu pun yang menyerupai-Nya).

Al-Kindi (801–869), filsuf besar pertama Arab muslim, menjelaskan satu Tuhan secara lebih dalam. Menurutnya, satu Tuhan (tauhid) tidak sama dengan satu benda karena satu benda terdiri atas bentuk dan materi. Satu Tuhan tidak juga terdiri atas genus dan spesies karena Dia yang menciptakan genus dan spesies. Tuhan hanya satu dan tidak ada yang serupa dengan-Nya. Tuhan unik dan hanya Dialah yang benar, pertama, dan tunggal.

Beriman kepada malaikat berarti meyakini keberadaannya serta tugas yang diberikan Allah SWT kepadanya. Malaikat adalah makhluk Allah SWT yang diciptakan dari cahaya khusus untuk taat dan beribadah kepada-Nya serta mengerjakan semua tugas-Nya.

Tugas yang diberikan kepada masing-masing malaikat berbeda-beda, misalnya Malaikat Jibril pembawa dan penyampai wahyu kepada para rasul, Malaikat Israfil peniup terompet ketika hari kiamat, dan Malaikat Ridwan penjaga surga. Jumlah malaikat banyak sekali, tetapi yang wajib diketahui dan diimani ada sepuluh: Jibril, Mikail, Israfil, Izrail, Munkar, Nakir, Raqib, Atid, Malik, dan Ridwan.

Beriman kepada kitab suci berarti meyakini semua kitab Allah SWT yang diturunkan kepada para rasul-Nya untuk kemaslahatan hamba-Nya. Kitab suci adalah kumpulan wahyu Allah SWT yang dibawa Malaikat Jibril untuk umat rasul tertentu.

Kitab suci yang telah diturunkan adalah Taurat kepada Nabi Musa AS, Zabur kepada Nabi Daud AS, Injil kepada Nabi Isa AS, dan Al-Qur’an kepada Nabi Muhammad SAW. Al-Qur’an adalah kitab suci terakhir yang diturunkan untuk menjadi rahmat bagi umat manusia. Karena itu, Al-Qur’an tidak terbatas pada suku atau kaum Nabi Muhammad SAW, tetapi mencakup semua umat manusia­.

Isi Al-Qur’an tidak saja wajib diimani, tetapi juga diamalkan karena tujuan utama diturunkannya Al-Qur’an adalah sebagai petunjuk dan juga pembeda antara yang hak dan yang batil.

Beriman kepada para rasul berarti membenarkan de­ngan seyakin-yakinnya bahwa Allah SWT mengutus seorang rasul kepada setiap umat untuk mengajak mereka beribadah kepa-da Allah SWT dan tidak menyekutukan-Nya. Mereka adalah utusan Allah SWT yang terpilih dan bertugas menyampaikan risalah kenabian.

Jumlah rasul dan nabi yang diutus Tuhan ke muka bumi ini cukup banyak. Menurut ulama, jumlah rasul yang diutus seluruhnya 313 orang dan nabi 124.000 orang. Nama-namanya jelas tercantum di dalam Al-Qur’an, ada yang diceritakan dalam Al-Qur’an dan ada yang tidak. Yang wajib diketahui dan diimani adalah para rasul yang telah dicantumkan dalam Al-Qur’an sebanyak 25 orang.

Para rasul ini, di samping tugas umum, juga memiliki tugas khusus sesuai dengan problem yang mereka hadapi, seperti Nabi Syu‘aib bertugas memperbaiki­ umatnya yang curang dalam berdagang. Nabi Muhammad SAW diberi tugas yang lebih luas, yaitu meng­ ajak seluruh umat manusia menyem­bah Allah SWT dan tidak menyeku­­tukan-Nya. Karena itu, diturunkan­ kepadanya­ Al-Qur’an sebagai mukjizat­ abadi dan sekaligus­ bukti kenabian­.

Mukjizat para rasul terdahulu terbatas­ pada ma­sing-masing­ umat dan waktu hidupnya, sedangkan mukjizat Nabi Muhammad SAW mencakup seluruh um­at manusia dan setelah Nabi Muhammad SAW tidak ada lagi rasul.

Keyakinan kepada hari akhir berarti pembenaran­ setiap hal yang diberitakan Allah SWT dalam Al-Qur’an tentang­ segala sesuatu yang akan terjadi setelah mati, mulai dari peris­tiwa di alam kubur sampai kebangkitan di padang mahsyar, yakni saat perhitungan amal.

Al-Qur’an sangat sering­ mengungkap­ kan tentang­ peristiwa­ gaib yang akan terjadi sete­lah kema­tian, terutama tentang­ kiamat, bah­kan ada 11 nama surah yang terkait erat de­ngan peristiwa kia­mat, misalnya surah al-Qari‘ah (101), surah­ az-Zalzalah (99), dan surah al-Infitar (82).

Kebangkitan dalam pandangan filsuf muslim­ berbeda den-gan teolog, terutama al-Ghazali (1058– 1111), teolog, filsuf, dan sufi termasyhur. Menurut Ibnu Sina (980 – 1037), dokter dan filsuf Islam termasyhur, yang dibangkitkan di akhirat adalah jiwa karena akhirat adalah alam immateri; adapun menurut al-Ghazali, yang dibangkitkan adalah jiwa dan badan sekaligus karena Allah SWT maha berkuasa untuk membangkitkan dan Al-Qur’an pun jelas menyebutkan bahwa yang dibangkitkan itu adalah anggota badan dan anggota badan itulah yang akan menjadi saksi perbuatan manusia.

Kendati keduanya berbeda pandangan, baik Ibnu Sina maupun al-Ghazali tetap meyakini eksistensi akhirat dan semua amal manusia akan diperhitungkan secara adil.

Daftar Pustaka

al-Bukhari, sahih al-Bukhari. bi Syarh al-Kirmani. Beirut: Dar al-Fikr, 1991.
al-Kalabazi, Abu Bakar M. Ajaran-Ajaran Sufi, terj. Bandung: Pustaka, 1985.
Khafaji, Mahmud Ahmad. Fi al-‘Aqidah al-Islamiyyah bain as-Salafiyyah wa al-Mu‘tazilah. Cairo: Matba‘ah al-Amanah, 1979.
Nasution, Harun. Falsafat dan Mistisisme dalam Islam. Jakarta: Bulan Bintang, 1990.
–––––––. Teologi Islam. Jakarta: UI Press, 1986.
Tim Ahli Tauhid. Kitab Tauhid, terj. Jakarta: Darul Haq, 1998.
Yakan, Fathi. To Be a Moslem. Cairo: El-Falah, 1997.

Amsal Bakhtiar