Dalam bahasa Arab, rukhsah berarti “keringanan” atau “kelonggaran”, dan dalam usul fikih “suatu keringanan bagi manusia mukalaf dalam melakukan ketentuan Allah SWT pada keadaan tertentu karena ada kesulitan”. Artinya, boleh melakukan pengecualian dari prinsip umum karena kebutuhan (al-hajat) darurat (ad-darurat).
Rukhsah tidak disyariatkan karena sudah ada kepastian hukum sebelumnya yang disebut ‘azimah (melakukan suatu perbuatan seperti apa yang telah ditetapkan Allah SWT). Misalnya, berpuasa pada bulan Ramadan wajib bagi mukalaf (‘azimah), tetapi bisa dibayar pada hari lain jika mukalaf sedang dalam perjalanan atau sakit (rukhsah); memakan bangkai hukumnya haram (‘azimah), tetapi dibolehkan jika dalam keadaan terpaksa atau untuk obat (rukhsah).
Rukhsah bukan berarti meminta kepada Allah SWT agar tidak dibebankan sesuatu, karena yang diwahyukan kepada Nabi Muhammad SAW itu sudah merupakan ketentuan umum yang harus dilaksanakan.
Hukum rukhsah adalah al-ibahah (dibolehkan) secara mutlak sekadar kebutuhan atau karena keterpaksaan tersebut. Kemudian kalau tidak dibutuhkan lagi atau tidak ada keterpaksaan lagi, perbuatan itu kembali pada hukumnya yang semula (‘azimah).
Misalnya, memakan bangkai menjadi haram kembali bagi yang bersangkutan jika tidak dalam keadaan terpaksa atau tidak untuk obat dan puasa bulan Ramadan menjadi wajib kembali bagi yang tidak musafir atau orang sakit.
Beberapa alasan yang membolehkan (al-ibahah) rukhsah antara lain sebagai berikut.
(1) Bukan bertujuan untuk berlaku zalim, berbuat dosa atau meringan-ringankan sesuatu yang sudah ringan, sebagaimana firman Allah SWT yang berarti:
“…Barangsiapa dalam keadaan terpaksa (memakan bangkai) sedang ia tidak menginginkannya dan tidak (pula) melampaui batas, maka tidak ada dosa baginya” (QS.2:173).
Sebagai contoh rukhsah, mukalaf dapat membayar puasa Ramadan dihari lain apabila ia sakit
Dan firman Allah SWT mengenai kebolehan qasar dalam salat (memendekkan jumlah rakaat salat empat menjadi dua rakaat): “Dan apabila kamu bepergian di muka bumi, maka tidaklah mengapa kamu mengasar salatmu…” (QS.4:101).
Begitu juga membayar puasa pada hari yang lain bagi yang tak sanggup berpuasa pada bulan Ramadan, seperti bagi musafir atau orang yang sakit (QS.2:184).
(2) Untuk sekadar menghilangkan kesulitan dan menghendaki keringanan sampai kita menemukan kelapangan sesudahnya. Dalam hal ini manusia boleh memilih apakah akan melakukan ‘azimah (yang seharusnya) atau rukhsah (keringanannya). Kendatipun demikian pada dasarnya rukhsah itu dibolehkan hukumnya. Allah SWT berfirman yang berarti: “…Dan Dia sekali-kali tidak menjadikan untuk kamu dalam agama suatu kesempitan…” (QS.22:78). Dan fir-man Allah SWT dalam surat yang lain: “…Allah menghendaki kemudahan untukmu dan tidak menghendaki kesukaran bagimu…” (QS.2:185).
Ada beberapa sebab yang membolehkan rukhsah.
(1) Karena terpaksa (ad-darurat) atau karena suatu kebutuhan (al-hajat). Misalnya, dibolehkan bagi seorang mukmin mengucapkan kalimat “kafir” karena dipaksa asalkan hatinya tetap beriman, boleh berbuka puasa pada bulan Ramadan karena sakit atau dalam perjalanan, boleh melenyapkan harta orang lain karena terpaksa demi kebaikan, dan boleh memakan bangkai atau meminum tuak karena terpaksa atau untuk obat.
(2) Karena ada uzur (halangan) yang menyulitkan. Mis-alnya, musafir dibolehkan mengasar salat dan boleh berbuka bagi yang sakit pada bulan Ramadan.
(3) Untuk kepentingan orang banyak dan menghasilkan kebutuhan hidupnya. Misalnya, akad as-salam (menyerahkan modal kepada seseorang untuk membuat suatu benda yang dipesan karena seseorang itu tidak punya uang untuk menyelesaikan pesanan tersebut).
Dari pembagian di atas, tergambar bahwa rukhsah yang diberikan Allah SWT itu adalah untuk memberikan keringanan kepada seorang mukalaf yang pada saat tertentu boleh melakukan yang diharamkan karena terpaksa, boleh meninggalkan yang diwajibkan karena ada uzur yang menyulitkan atau boleh melakukan pengecualian sebagian akad dari prinsip umum karena kebutuhan yang mendesak.
Dalam fikih terdapat kaidah bahwa “Yang darurat itu membolehkan yang dilarang”, “Tidak ada (dalam agama) yang susah dan yang menyusahkan”, dan “Kesulitan itu membawa pada kemudahan”. Di samping itu prinsip ajaran Islam bertujuan menghilangkan kesukaran dan kesulitan (daf‘ al-haraj wa al-masyaqqat).
Ulama Mazhab Hanafi membagi rukhsah dalam dua bagian. Pertama, rukhsah yang mengandung istihsan. Di sini seseorang bisa memilih apakah melaksanakan yang ‘azimah atau rukhsah, tetapi sebenarnya melakukan rukhsah adalah lebih baik. Misalnya, berbuka pada bulan Ramadan bagi musafir lebih baik daripada berpuasa.
Kedua, rukhsah yang menggugurkan hukum ‘azimah. Misalnya, kalau semula hukumnya diharamkan maka menjadi dihalalkan karena rukhsah dalam keadaan tertentu. Contoh: memakan bangkai dan meminum tuak yang pada dasarnya diharamkan menjadi dihalalkan pada keadaan tertentu kalau membahayakan kesehatan seandainya tidak dimakan atau diminum.
DAFTAR PUSTAKA
Abu Zahrah, Muhammad al-Imam. Usul al-Fiqh. Cairo: Dar al-Fikr al-‘Arabi, 1958.
al-Kahlani, Muhammad bin Isma’il al-Imam. Subul as-Salam. Cairo: Mustafa al-Babi al-Halabi, 1960.
Khalaf, Abd al-Wahab. Ilm Usul al-Fiqh. Kuwait: Dar al-Qalam, 1978.
Sabiq, Sayid. Fiqh as-Sunnah. Beirut: Dar al-Fikr, 1986.
as-Suyuti, Jalaluddin al-Imam. al-Asybah wa an-Nazair. Semarang: Taha Putera, t.t.
YASWIRMAN