Rujuk berarti “kembali”. Secara terminologis rujuk adalah suatu tindakan atau perbuatan yang dilakukan oleh seorang suami setelah menjatuhkan talak terhadap istrinya, baik melalui ucapan yang jelas atau melalui perbuatan, dengan tujuan untuk kembali ke dalam ikatan pernikahan.
Rujuk dengan ucapan bisa dilakukan suami dengan berkata kepada istri yang ditalaknya: “Saya kembali kepadamu (rujuk kepadamu).” Adapun melalui perbuatan, misalnya langsung bercampur (bersetubuh) dengan istri dengan tujuan rujuk karena pada hakikatnya nikah itu bermakna bercampur (bersetubuh).
Abdur Rahman as-Sabuni, seorang ahli fikih, mengarti kan rujuk sebagai tetapnya ikatan antara suami istri dalam perkawinan selama istri dalam masa idah talak raj‘i (talak pertama atau kedua yang dinyatakan suami kepada istri yang telah digaulinya). Dalam agama Islam rujuk ini hanya diperbolehkan bagi suami selagi istri masih dalam masa idah pada talak raj‘i. Adapun untuk talak ba’in (talak tiga atau yang ketiga), disepakati oleh ulama mujtahid (ahli ijtihad) untuk tidak boleh rujuk.
Pelaksanaan rujuk, selain dengan ucapan yang jelas untuk tujuan rujuk, Sayid Sabiq (tokoh pembaru Islam) menambahkan boleh juga dengan kinayah (sindiran), seperti ucapan “Engkau perempuanku.” Adapun rujuk dengan perbuatan adalah melalui tingkah laku atau penghormatan yang me nyenangkan istri, termasuk bersetubuh, karena akad nikah belum hapus. Hal ini sesuai dengan firman Allah SWT yang berarti:
“Talak (yang dapat dirujuki) dua kali. Setelah itu boleh rujuk lagi dengan cara yang makruf atau menceraikan dengan cara yang baik. Tidak halal bagi kamu mengambil kembali dari sesuatu yang telah kamu berikan kepada mereka, kecuali kalau keduanya khawatir tidak akan dapat menjalankan hukum-hukum Allah…” (QS.2:229).
Dalam talak ba’in, Allah SWT berfirman yang berarti:
“Kemudian jika si suami menalaknya (sesudah talak yang kedua), maka perempuan itu tidak halal lagi baginya hingga dia kawin dengan suami yang lain…” (QS.2:230).
Dengan demikian berarti bekas suami baru dapat meni kahi kembali bekas istrinya jika si istri itu telah dinikahi orang lain dan terjadi perceraian antara keduanya.
Rasulullah SAW sendiri sangat menganjurkan manusia untuk memilih rujuk daripada membiarkannya, sampai masa idah istri habis. Dalam hadis dari Umar bin Khattab diceritakan bahwa pada suatu hari Umar melakukan talak terhadap istrinya. Kemudian Nabi Muhammad SAW berkata kepadanya: “Berlalulah (pergilah ke sana) kemudian rujuklah kepadanya” (HR. Bukhari dan Muslim).
Tata cara pelaksanaan rujuk ada lima macam. (1) Rujuk dilakukan dalam masa idah istri pada talak raj‘i. Apabila masa idahnya sudah habis dan suami ingin kembali ke dalam ikatan pernikahan, harus dilakukan akad nikah yang baru.
(2) Rujuk hanya dilakukan pada masa idah dan tidak boleh dikaitkan dengan masa yang akan datang (taklik).
(3) Untuk rujuk tidak disyaratkan pemberitahuan sebelumnya kepada istri, termasuk keridaan istri. Walaupun ulama mujtahid tidak mensyaratkan keridaan istri untuk dirujuk oleh suaminya, namun karena perkawinan merupakan hubungan timbal-balik antara suami dan istri, dalam pelaksanaan rujuk sebaiknya keridaan istri dimintakan karena ada juga istri yang tidak mau dirujuk lagi oleh suaminya.
(4) Rujuk tidak akan gugur hukumnya atau akan hilang ketentuannya karena merupakan hak dan ketentuan bagi suami.
(5) Dianjurkan ada saksi waktu pelaksanaan rujuk. Hal ini bertujuan agar masyarakat di sekitar tahu bahwa pasangan itu telah rujuk kembali. Imam Syafi‘i berpendapat bahwa saksi merupakan syarat bagi rujuk. Tetapi Imam Hanafi, Imam Malik, dan Imam Ahmad bin Hanbal (Imam Hanbali) hanya mengatakan adanya saksi adalah sunah dan bukan menjadi syarat bagi rujuk.
Hukum rujuk ada lima macam.
(1) Jaiz (boleh). Ini merupakan hukum asalnya.
(2) Sunah/mandub, jika si suami berkeinginan untuk memperbaiki kembali hubungan yang telah retak dengan istrinya.
(3) Wajib, apabila pembagian waktu belum disempurnakan oleh suami kepada salah satu istrinya (jika suami beristri lebih dari satu orang).
(4) Makruh, jika setelah dipertimbangkan oleh suami maka perceraian adalah jalan yang terbaik untuk dilakukan.
(5) Haram, jika suami punya maksud menyakiti istrinya, baik secara terang-terangan atau terselubung.
Menurut Imam as-San’ani (ahli hadis dan fikih), apabila terjadi perbedaan pendapat antara suami dan istri sekitar masa diperbolehkan rujuk, seperti suami telah merasa rujuk terhadap istrinya tetapi si istri menyangkal, maka di sini harus diperhatikan tiga hal.
(1) Apabila suami telah mengajak istrinya untuk rujuk, sedangkan istri masih dalam masa idahnya dan membenarkan bahwa suaminya telah merujuknya, rujuk seperti ini dinyatakan sah (tidak ada masalah).
(2) Apabila istri yang dirujuk tersebut menyangkal atau ingkar terhadap suaminya, padahal si istri masih dalam masa idah, maka pendapat yang terkuat mengatakan bahwa tindakan suami dapat dibenarkan dan berhak kembali memiliki istrinya seperti sediakala, walaupun si istri menyangkalnya.
(3) Apabila suami telah mengajak si istri untuk rujuk, sedangkan masa idahnya telah berlalu (menurut penuturan istri), kemudian istri tersebut menyangkal ajakan suami, dalam permasalahan ini dibenarkan pendapat istri.
Hal-hal lain yang perlu diperhatikan dalam masalah rujuk antara lain:
(1) tidak ada hukuman (had) seperti had zina bagi suami istri yang bercampur dalam masa idah, walaupun bercampurnya itu bukan dengan tujuan rujuk;
(2) idah istri habis kalau suami telah merujuknya dan selama suami tidak melakukan talak setelahnya;
(3) seseorang yang sedang ihram dalam ibadah haji boleh merujuk istrinya;
(4) wanita yang ditalak raj‘i oleh suaminya masih berada dalam status istri selama masa idahnya masih ada dan masing-masing masih saling mewarisi;
(5) nafkah selama talak raj‘i masih ditanggung suami. Karena itu suami lebih berhak daripada orang lain terhadap istrinya yang ditalak raj‘i sebelum si istri dinikahi orang lain. Kalau istri dinikahi orang lain, sedangkan talak raj‘i-nya sah, pernikahannya dengan laki-laki lain itu dinyatakan tidak sah.
Daftar pustaka
Jaziry, Abd ar-Rahman. Kitab al-Fiqh ‘ala al-Madzahib al-Arba‘ah. Cairo: al-Maktabah at-Tijariyah al-Kubra, 1969.
al-Kahlani, Muhammad bin Ismail al-Imam. Subul as-Salam. Cairo: Mustafa al-Babi al-Halabi, 1960.
Sabiq, Sayid. Fiqh as-Sunnah. Beirut: Dar al-Fikr, 1986.
as-Sabuni, Abd ar-Rahman. Syarh Qanun al-Ahwal as-Syakhsiyyah. Damascus: al-Matba‘ah al-Jadidah, 1979.
Yaswirman