Risalah

(Ar.: risalah)

Dalam bahasa Arab, risalah berarti “surat yang dikirim” atau “karya tulis”. Secara terminologis, risalah berarti ajaran yang disampaikan­ Allah SWT melalui perantaraan seseorang atau beberapa­ orang rasul untuk mengatur kehidup­an­ ma­nusia dalam hubungannya dengan Allah SWT, sesama,­ dan lingkungannya.

Meskipun telah diberi hidayah oleh Tu­han berupa akal, manusia tidak dapat menentukan jalan hidupnya sendiri karena kemampuan akal ma­nusia amat terbatas. Apabila manusia dibiarkan­ mengatur hidupnya sendiri, kehidupan di muka­ bumi ini akan kacau karena antara satu dan yang lain akan saling berbeda pendapat, mau me­nang sendiri, dan menyalahkan orang lain. Ka­rena keterbatasan kemam­ puan manusia ini maka Tuhan berkenan mengutus rasul-Nya untuk membawa risalah-Nya berupa peraturan­ dan ajaran.

Peraturan dan ajaran itu harus ditaati­ oleh setiap orang demi terbentuknya suatu masyarakat yang aman dan tente­ram,­ sehingga dengan­ peraturan dan ajaran itu manusia dapat membentuk dan mengembangkan hasil ciptaannya di muka bumi ini, yang disebut peradaban.

Ulama sepakat bahwa manusia membutuh­kan­ rasul yang membawa risalah Tuhan untuk me­mberi petunjuk bagi manusia ke jalan yang benar dan menjauhkan manusia dari kesesatan. Namun ula­ma berbeda pendapat tentang kewajiban Tuhan mengutus­ para rasul-Nya.

Kelompok Muktazilah, didasarkan atas pandangan mereka bahwa Tuhan Maha Adil, berpendapat bahwa Tuhan berkewajiban mengutus rasul-Nya. Tuhan tidak adil kalau membiarkan manusia­ hanyut dalam gelora hawa nafsunya. Oleh sebab itu Tuhan berkewajiban berbuat­ baik dan yang terbaik (as-salah wa al-aslah) bagi manusia.

Salah satu perwujudan dari berbuat baik dan terbaik bagi manusia ialah diutusnya para rasul Tuhan. Dengan itu manusia dapat mencapai kehidupan­ yang baik dan terbaik.

Berlainan dengan pendapat kelompok Muktazilah­ di atas, kelompok Asy‘ariyah berpenda­pat bahwa Tuhan tidak wajib mengutus para rasul­. Mengutus para rasul itu hanya jaiz bagi Tuhan­. Pandangan ini didasarkan atas pendapat mereka­ bahwa Tuhan mempunyai kekuasaan dan kehendak mutlak.

Segala sesuatu terserah atas kehendak dan kekuasaan Tuhan. Seandainya Tuhan­ tidak mengutus para rasul-Nya, Tuhan tidak dapat dipersalahkan karena Ia mempunyai kehendak­ dan kekuasaan­ mutlak. Dia lebih tahu dengan kehendak dan kekuasaan-Nya itu. Tidak ada kewajiban bagi Tuhan terhadap makhluk-Nya dan Tuhan berbuat sesuatu bukan atas keterpaksaan, tetapi atas kehendak­ dan kekuasaan-Nya Yang Maha Mutlak.

Terlepas dari wajib atau tidaknya Tuhan mengi­rim­ para rasul-Nya, yang jelas manusia tetap membutuhkan para rasul, terutama sekali untuk mengajarkan manusia tentang hal-hal gaib yang wajib dipercayainya dan menentukan batas antara baik dan buruk.

Tanpa bantuan rasul, sulit bagi manusia untuk mengetahui yang gaib dan baik atau buruk. Meskipun manusia mempunyai akal dan fitrah beragama,­ namun akal dan fitrah itu mempunyai kemam­puan­ yang terbatas. Akal sering diliputi oleh hawa nafsu, sehingga orang sering menemui jalan buntu dan kesesatan.

Para ahli ilmu kalam berbeda pendapat tentang kemam­ puan akal manusia dalam kaitannya dengan risalah Tuhan. Kaum Muktazilah lebih liberal dalam­ mendudukkan fungsi akal dalam agama. Menurut­ mereka, akal dapat mengetahui Tuhan, ke­wajiban kepada Tuhan, masalah baik dan buruk, dan kewajiban mengerjakan yang baik serta menjauhi yang buruk.

Sebaliknya, bagi kaum Asy‘ariyah, akal hanya dapat mengetahui Tuhan, tetapi tidak dapat mengetahui kewajib­an kepada Tuhan, masalah baik dan buruk, dan kewajiban berbuat baik serta menjauhi keburukan.

Di antara dua pendapat yang bertolak bela­kang­ ini terdapat lagi pendapat kelompok Matu­ridiyah (Abu Mansur Muhammad al-Maturidi) yang mencoba mensintesiskan kedua pendapat di atas. Namun mereka tidak berhasil, bahkan mereka­ sendiri terpecah menjadi dua kelompok.

Kelompok­ pertama ialah Maturidiyah Samarkand yang dekat dengan kelompok Muktazilah dan kelompok­ kedua­ adalah Maturidiyah Bukhara yang dekat dengan kelompok Asy‘ari-yah. Bagi Maturidiyah­ Samarkand, akal dapat mengetahui Tuhan, kewajiban kepada Tuhan, dan dapat mengetahui baik dan buruk. Bagi Maturidiyah Bukhara, akal hanya dapat mengetahui Tuhan dan mengetahui­ baik dan buruk, sedangkan kewajiban hanya ditentukan oleh risalah Tuhan.

Meskipun kaum Muktazilah menempatkan akal pada posisi yang tinggi, namun mereka tidak meniadakan­ risalah sama sekali. Dalam kenyataannya,­ mereka bahkan mengatakan Tuhan wajib mengutus­ para rasul karena bagi mereka akal hanya­ dapat­ mengetahui garis besar masalah keagamaan­. Sebaliknya kaum Asy‘ariyah yang menempatkan­ fungsi­ akal lebih kecil daripada fungsi risalah bahkan memandang pengutusan rasul itu tidak wajib.

Yang jelas, Tuhan telah berkenan mengutus pa­ra rasul-Nya untuk membawa risalah sebagai pedoman hidup manusia. Risalah itu terkandung dalam wahyu Allah SWT yang disampaikan oleh rasul. Allah SWT berfirman: “ Dan sesungguhnya kami telah mengutus rasul pada tiap-tiap umat (untuk menyerukan), ‘Sembahlah Allah (saja), dan jauhilah tagut itu’…” (QS.16:36).

Ajaran yang bukan bersumber dari wahyu dan tidak dibawa oleh rasul Allah SWT tidaklah dinamakan risalah. Ajaran-ajaran yang bukan bersumber dari wahyu, tetapi bersumber dari pemikiran manusia biasa disebut dengan filsafat, sedangkan yang bersumber dari khayal atau dongeng disebut takhayul atau khurafat.

Risalah itu me­ngandung dua hal pokok, yaitu akidah dan syariat. Akidah mengan­dung­ dua hal mendasar,­ yaitu kepercayaan­ kepada Allah SWT dan kepercayaan pada­ hari akhirat. Adapun syariat mengand-ung hukum yang berupa peraturan yang harus dijalankan manusia untuk mencapai hidup yang tenteram dan damai.

Dalam masalah akidah, semua risalah yang di­tuturkan Allah SWT mengandung ajaran yang sama,­ yaitu semuanya mengajarkan kepercayaan kepada­ Allah SWT dan hari kebangkitan. Hal ini diisyaratkan oleh firman Allah SWT yang berarti:

“Katakanlah (hai orang-orang mukmin): Kami beriman­ kepada Allah dan apa yang diturunkan kepada­ kami, dan apa yang diturunkan kepada Ibrahim,­ Ismail, Ishak, Ya’kub, dan anak cucunya, dan apa yang diberikan kepada Musa dan Isa serta apa yang diberikan kepada nabi-nabi dari Tuhannya. Kami tidak membeda-bedakan seorang­ pun di antara mereka­ dan kami hanya tunduk patuh kepada-Nya” (QS.2:136).

Perbedaan antara risalah yang dibawa para rasul itu hanya ada pada sisi hukum. Perbedaan itu memang wajar karena hukum me­rupakan peraturan yang menyangkut pranata so­ sial, sedangkan pranata sosial senantiasa berubah­. Dengan demikian terjadi pula perubahan hukum.

Daftar pustaka

al-Asy‘ari, Abu al-Hasan bin Ismail. al-Ibanah ‘an Usul ad-Diyanah. Damascus: Idarah at-Tiba’ah al-Muniriyah, 1348 H.
al-Hamdani, ‘Abd al-Jabbar bin Ahmad. Syarh al-Usul al-Khamsah. Cairo: Maktabah Wahbah, 1929.
al-Jarjawi, Ali Ahmad. æikmah at-Tasyri‘ wa Falsafatuh. Cairo: al-Yusufiyah, 1929.
Nasution, Harun. Teologi Islam: Aliran-Aliran, Sejarah, Analisa Perbandingan. Jakarta: UI Press, 1986.
Shihab, M. Quraish. Membumikan Al-Qur’an: Fungsi dan Peran Wahyu dalam Kehidupan Masyarakat. Bandung: Mizan, 1992.
asy-Syahristani, Abu al-Fath Muhammad Abdul Karim. al-Milal wa an-Nihal. Beirut: Dar al-Fikr, t.t.
Syaltut, Mahmud. al-Islam ‘Aqidah wa Syari‘ah. Cairo: Dar al-Qalam, 1966.

Yunasril Ali