Kata rikaz dalam bahasa Arab berarti “terpendam”. Secara terminologis, rikaz berarti “harta yang terpendam”. Ada beberapa istilah lain yang hampir sama dengan rikaz, yaitu ma‘adin (tambang atau sumber barang tambang) dan kanz.
Ulama Mazhab Hanafi mengartikan rikaz sebagai seluruh harta yang terpendam dalam tanah, baik keberadaan harta itu atas kehendak Allah SWT (seperti bijih besi, emas, dan perak) maupun yang disimpan manusia zaman dahulu (harta karun).
Dalam pengertian ini, maka rikaz dan ma‘adin mempunyai arti yang sama. Tidak ada perbedaan antara status harta yang dipendam manusia dan harta yang berupa barang tambang.
Namun jumhur ulama membedakan antara rikaz dan ma‘adin. Mereka membedakan kedua definisi tersebut berdasarkan orang yang menyimpan/memendam harta. Rikaz adalah harta terpendam yang disimpan orang terdahulu (pada masa Jahiliah), sedangkan ma‘adin adalah harta terpendam yang disimpan orang yang telah memeluk agama Islam.
Harta terpendam yang tidak dibedakan siapa yang menyimpannya digolongkan sebagai kanz. Wahbah az-Zuhaili, ahli fikih kontemporer dari Suriah, mendefinisikan kanz sebagai harta yang disimpan orang dalam tanah, baik oleh orang sebelum masa Islam maupun pada masa Islam.
Pembedaan antara keduanya dapat ditentukan melalui ilmu arkeologi. Apabila harta itu tidak dapat diidentifikasi, menurut sebagian ulama Mazhab Hanafi, harta itu dianggap sebagai harta yang disimpan sebelum Islam masuk ke daerah itu. Namun, sebagian ulama Mazhab Hanafi lainnya berpendapat bahwa harta itu dianggap sebagai harta yang disimpan setelah daerah itu dikuasai Islam.
Dalam fikih, istilah rikaz, ma‘adin, dan kanz dibahas dalam persoalan sebab-sebab pemilikan suatu barang. Menurut ulama Mazhab Maliki, Syafi‘i, dan Hanbali, harta rikaz boleh dimiliki penemunya, tetapi apabila di kemudian hari diketahui pemiliknya, ia wajib mengembalikan gantinya.
Untuk harta ma‘adin, ulama Mazhab Maliki berpendapat bahwa seluruh bentuk harta ma‘adin tidak bisa dimiliki seseorang, melainkan menjadi milik negara karena seluruh tanah dikuasai negara untuk kepentingan bersama.
Adapun ulama Mazhab Hanafi mengatakan bahwa harta ma‘adin itu dapat dimiliki seseorang apabila tanah yang menyimpan harta itu miliknya. Jika tanah itu milik negara, harta terpendam di dalamnya menjadi milik negara dan dimanfaatkan untuk kepentingan bersama. Apabila harta terpendam itu terdapat dalam tanah yang tidak dimiliki seseorang maupun negara, harta itu menjadi milik orang yang menemukannya.
Untuk harta kanz, menurut ulama Mazhab Hanafi, apabila harta itu disimpan orang setelah Islam menguasai daerah tersebut, harta itu tidak boleh dimiliki penemunya. Harta ini dianggap berstatus luqatah (harta temuan) yang wajib diumumkan di tengah-tengah masyarakat agar diketahui pemiliknya serta dapat dikembalikan kepadanya.
Apabila pemiliknya tidak diketahui, harta itu disedekahkan kepada fakir miskin untuk mereka manfaatkan. Namun harta kanz yang berasal dari zaman Jahiliah, menurut kesepakatan ulama fikih, boleh diambil penemunya.
Terkait dengan harta terpendam ini adalah persoalan zakat. Menurut jumhur ulama, yang dikenakan zakat adalah harta yang bersifat rikaz, yaitu harta terpendam yang berasal dari zaman Jahiliah karena harta itu menjadi milik penemunya. Adapun harta yang bersifat ma‘Îdin seperti emas, perak, besi, dan tembaga tidak dikenakan zakat karena harta itu menjadi milik negara.
Menurut ulama Mazhab Hanafi, harta rikaz dikenakan zakat dengan jumlah seperlima dari harta dan sisanya bagi orang yang menemukan harta tersebut. Alasan mereka adalah sabda Rasulullah SAW yang berarti: “Terhadap harta rikaz itu (dikenakan zakat) seperlima harta” (HR. Jamaah ahli hadis dari Abu Hurairah).
Akan tetapi, mereka membedakan antara rikaz yang bersifat beku yang harus diolah (seperti emas, perak, besi, dan tembaga) dan harta yang bersifat cair seperti minyak dan gas. Untuk harta yang bersifat beku dikenakan zakat, sedangkan harta yang bersifat cair tidak dikenakan zakat.
Untuk harta yang bersifat kanz yang berasal dari zaman Jahiliah, menurut kesepakatan ulama fikih, wajib dikeluarkan zakat sebesar seperlima bagian untuk perbendaharaan negara. Sisanya, menurut sebagian ulama, adalah untuk penemu, baik ditemukan di tanah yang telah dikuasai seseorang maupun di tanah yang sama sekali belum dimiliki orang.
Sebagian ulama lain menyatakan, jika harta itu ditemukan di tanahnya sendiri atau di tanah yang belum dikuasai seseorang, sisa harta itu menjadi miliknya. Apabila ditemukan di tanah yang telah dikuasai seseorang, sisa harta itu untuk pemilik pertama dari tanah itu, jika masih hidup, atau untuk ahli warisnya. Apabila pemilik atau ahli warisnya tidak dikenal lagi, sisa harta itu menjadi milik negara.
Daftar Pustaka
Ibnu Abidin. Radd al-Muhtar ‘ala ad-Durr al-Mukhtar. Cairo: al-Babi al-Halabi, 1970.
Ibnu Qudamah. al-Mugni. Riyadh: Maktabah ar-Riyadh al-Hadisah, t.t.
Ibnu Rusyd. Bidayah al-Mujtahid wa Nihayah al-Muqtasid. Beirut: Dar al-Fikr. 1970.
al-Jaziri, Abdurrahman. Kitab al-Fiqh ‘Ala Madzahib al-Arba‘ah. Libanon: Dar al-Fikr, 1972.
al-Kahlani, Muhammad bin Ismail. Subul as-Salam. Beirut: Dar al-Fikr, 1968.
Sabiq, Sayid. Fiqh as-Sunnah. Beirut: Dar al-Fikr, 1980.
ash-Shiddieqy, T.M. Hasbi. Dasar-Dasar Fikih Islam. Medan: Toko Buku Islamiyah, 1953.
asy-Syaukani, Muhammad bin Ali bin Muhammad. Nail al-Autar Syarh Muntaqa al-Ikhbar. Beirut: Dar al-Fikr, 1978.
az-Zarqa, Ahmad Mustafa. Madkhal ila al-Fiqh al-‘Amm: al-Fiqh al-Islami fi Tsaubihi al-Jadid. Beirut: Dar al Fikr, 1967.
Nasrun Haroen