Pusat kegiatan kaum sufi atau tempat pembinaan calon sufi yang diisi dengan kegiatan pendidikan, pelatihan, pengkajian agama, dan ibadah, disebut ribat. Istilah itu banyak digunakan di Maroko dan Tunisia. Artinya sama dengan khanqah (Persia dan India), zawiat (di bagian tengah dunia Islam) atau tekke (di Turki).
Dalam bahasa Arab, kata ribat mempunyai beberapa arti:
(1) sesuatu yang dibuat untuk mengikat (seperti tali), membalut;
(2) sekawanan kuda, rombongan (pasukan) berkuda;
(3) tangsi, markas tentara;
(4) tempat yang diwakafkan untuk fakir miskin; dan
(5) hati. Dalam bahasa Indonesia kata “ribat” mengandung arti “gedung atau tempat melakukan pelatihan ibadah dan kewajiban lain”.
Pada mulanya ribat digunakan untuk benteng pertahanan kaum muslimin terhadap serangan musuh. Ribat banyak dibangun di daerah perbatasan dan dilengkapi dengan menara pengawas.
Dalam ribat tentara muslim melakukan latihan militer di samping ibadah keagamaan, sehingga ribat mempunyai dua fungsi, yaitu tempat ibadah dan markas tentara. Karena itu, istilah ribat dihubungkan dengan jihad di jalan Allah SWT atau perang suci, yang dalam prakteknya bukan saja untuk mempertahankan wilayah Islam dari serangan musuh, tetapi juga untuk memperluas wilayah kekuasaan Islam.
Istilah “ribat” itu sendiri diambil dari firman Allah SWT dalam surah al-Anfal (8) ayat 60, yang berarti:
“Dan siapkanlah untuk menghadapi mereka (orang-orang kafir) kekuatan apa saja yang kamu sanggupi dan dari ribath al-khail (kuda-kuda yang ditambat untuk berperang). (Dengan persiapan itu) kamu menggentarkan musuh Allah, musuhmu, dan orang-orang selain mereka yang tidak kamu ketahui, sedangkan Allah mengetahuinya….”
Dalam perjalanan sejarah, orang ribat pernah berhasil membangun sebuah kerajaan besar yang diberi nama al- Murabitun. Kerajaan ini didirikan oleh Yahya bin Umar sebagai pemimpin politik dengan Abdullah bin Yasin sebagai pemimpin spiritualnya.
Dinasti al-Murabitun memegang tam-puk kekuasaan selama sekitar 90 tahun dengan enam orang penguasanya: Abu Bakar bin Umar, Ibnu Tasyfin, Ali bin Yusuf, Tasyfin bin Ali, Ibrahim bin Tasyfin, dan yang terakhir Ishak bin Ali. Wilayah kekuasaannya cukup luas, meliputi daerah Maroko, gurun Sahara di Afrika barat laut, dan Spanyol, dengan pusat pemerintahan di Marrakech (Maroko).
Dalam perkembangannya, istilah ribat lebih banyak digunakan sama dengan pengertian zawiat atau khanqah. Ribat tidak banyak digunakan untuk latihan militer, tetapi lebih banyak diarahkan kepada latihan spiritual dari aliran tarekat.
Kalau pada mulanya ribat berfungsi sebagai tempat ibadah, latihan militer, dan markas tentara Islam, dalam perkembangan berikut ribat lebih merupakan tempat pendidikan calon sufi.
Dalam ribat kaum sufi atau calon sufi dididik dengan berbagai macam pendidikan agama dan dilatih melaksanakan suluk tertentu sesuai dengan ajaran dari tarekat pemilik ribat tersebut.
Di samping itu, dalam ribat juga dilaksanakan aktivitas ibadah keagamaan pada umumnya. Karenanya, ribat biasanya dilengkapi dengan mihrab untuk mengerjakan salat berjemaah dan tempat untuk membaca Al-Qur’an dan mempelajari ilmu lainnya. Para pengikut suatu tarekat, dalam men-jalani latihan tarekatnya atau melakukan suluk, berada dalam ribat untuk waktu tertentu.
Mereka dibimbing oleh syekh atau mursyid yang biasanya tinggal bersama keluarganya di kompleks ribat. Ia menemui muridnya pada waktu tertentu, memberikan bimbingan dan petunjuk, mengawasi, dan memimpin salat berjemaah.
Fasilitas yang terdapat dalam ribat bermacam-macam, tergantung pada kemampuan pemilik ribat itu sendiri. Kelompok tarekat yang besar dengan jumlah pengikut yang besar dan memiliki kemampuan yang cukup, mempunyai ribat yang indah dan megah.
Sementara bagi kelompok tarekat yang kecil, ribat mereka juga biasanya kecil dan sederhana. Pada beberapa ribat, para pengikut tarekat tinggal dalam kamar tertentu secara terpisah, tetapi ada juga ribat yang tidak mempunyai kamar, dan hanya merupakan sebuah ruangan besar serba guna yang dipakai secara bersama, baik untuk tempat tinggal, ruang belajar, beribadah, maupun bekerja.
Sumber biaya untuk sebuah ribat juga bermacam-macam. Ada ribat yang mendapat bantuan tetap dari pemerintah atau dermawan tertentu, tetapi ada pula ribat yang hidup dari futuh, yaitu tanpa bantuan atau tunjangan dari siapa pun. Para penghuni ribat terakhir ini melakukan segenap aktivitasnya dengan biaya mereka sendiri.
Sebagai sebuah tempat khusus untuk pembinaan dan penggemblengan para pengikut suatu tarekat yang juga calon-calon sufi, ribat mempunyai peraturan tertentu, baik bagi penghuninya maupun bagi orang yang akan berkunjung ke tempat ini.
Ketat tidaknya aturan tersebut tergantung kepada pemilik ribat yang bersangkutan, dalam hal ini ajaran dari tarekat pemilik ribat itu. Karena ribat berfungsi sebagai tempat tinggal, pendidikan, dan latihan bagi para pengikut suatu tarekat, ribat merupakan sebuah madrasah atau asrama, dan keberadaannya tidak terlepas dari kaum sufi dan tarekat.
Pendidikan yang dilakukan para sufi dalam ribat ternyata sangat efektif, baik dalam pembinaan akhlak, ibadah, maupun penanaman rasa percaya diri dan pendalaman ilmu pengetahuan agama. Karena itu, Syekh Muhammad Abduh berkata,
“Seandainya usahaku memperbaiki al-Azhar tidak berhasil, aku akan memilih sepuluh orang di antara muridku. Lalu, mereka akan kutempatkan di rumahku di Ain Syams (Cairo) dan kudidik dengan metode pendidikan seperti yang dilakukan para sufi, disertai peningkatan pengetahuan mereka.”
DAFTAR PUSTAKA
Atjeh, Abu Bakar. Pengantar Tarekat: Uraian tentang Mistik. Solo: Ramadhani, 1990.
al-Qusyairi, Abu al-Qasim Abdul Karim. ar-Risalah al-Qusyairiyyah. Cairo: Mu-hammad ‘Ali Subaih, 1966.
Said, Usman, dkk. Pengantar Ilmu Tasawuf. Proyek Pembinaan Perguruan Tinggi Agama/IAIN Sumatera Utara, 1981/1982.
Schimmel, Annemarie. Mystical Dimension of Islam, atau Dimensi Mistik dalam Islam, terj. Sapardi Djoko Damono. Jakarta: Pustaka Firdaus, 1986.
at-Taftazani, Abu al-Wafa’ al- Ghanami. Sufi dari Zaman ke Zaman, terj. Ahmad Rofi’ Utsmani. Bandung: Pustaka, 1985.
Trimingham, J. Spencer. The Sufi Orders in Islam. London: Oxford University Press, 1973.
HAFIZH ANSHARI