Pembahasan konsep rezeki sering kali dikaitkan dengan konsep penghasilan, keuntungan, kebutuhan, penghidupan, hak milik, laba, dan akumulasi modal. Semua ini berhubungan erat dengan peranan manusia sebagai khalifah Allah SWT di bumi.
Istilah rizq dengan berbagai perubahan kata disebut 112 kali dalam 41 surah Al-Qur’an. Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (Jakarta: Depdikbud, 1996), rezeki berarti
(1) segala sesuatu yang dipakai untuk memelihara kehidupan (yang diberikan oleh Tuhan), makanan (sehari-hari), nafkah;
(2) penghidupan, pendapatan (uang dan sebagainya untuk memelihara kehidupan), keuntungan, dan kesempatan mendapat makan.
Ibnu Khaldun (sejarawan, bapak sosiologi Islam dari Tunisia; 1884–1961) dalam bukunya Muqaddimah (bahasan tentang teori sosial dan politik, dasar pembangunan masyarakat, dan pembidangan ilmu) menjelaskan perbedaan pandangan antara Ahlusunah dan Muktazilah tentang pengertian rezeki.
Bagi kalangan Ahlusunah, rezeki adalah suatu hasil kerja (penghasilan, pendapatan, atau ke-untungan) yang dilakukan oleh seseorang, dan hasil kerja itu sebagai suatu kekayaan dapat dimanfaatkan untuk kebutuhan orang lain. Dengan kata lain, hasil kerja seseorang kemudian menjadi modal untuk dibelanjakan (diinfakkan) dan dapat dimanfaatkan oleh orang lain.
Rezeki adalah hasil kerja (modal dan kekayaan) yang bermanfaat untuk orang lain. Ini sejalan dengan tafsir Departemen Agama RI, yang menyebutkan bahwa rezeki adalah segala yang dapat diambil manfaatnya.
Adapun kalangan Muktazilah (aliran teologi Islam rasional dan liberal, didirikan oleh Wasil bin Ata pada 100 H/718 M) menyebutkan bahwa rezeki adalah suatu barang dan jasa yang didapat seseorang dengan jalan yang sah. Namun, apabila barang dan jasa itu diperoleh dengan paksaan atau pinjam tanpa izin sekalipun bermanfaat besar bagi orang lain maka itu tidak disebut rezeki.
Menurut Ibnu Khaldun, perwujudan peranan manusia sebagai khalifah Allah SWT di bumi menghasilkan suatu nilai tertentu, yaitu nilai yang ditimbulkan hasil kerja. Dengan demikian, konsep rezeki sangat terkait dengan konsep kerja (amal saleh). Dalam Al-Qur’an ditegaskan, “Dan bahwasanya seorang manusia tiada memperoleh selain apa yang telah diusahakannya” (QS.53:39).
Di dalam Al-Qur’an juga ditemukan kata ar-Razzaq yang berarti Yang Maha Pemberi Rezeki (yang sebaik-baiknya). Ar-Razzaq adalah salah satu dari al-asma’ al-husna (nama baik dan indah) yang dimiliki Allah SWT (QS.51:58). Nama ini menunjukkan bahwa Allah-lah sumber rezeki. Rezeki-Nya sangat luas, melimpah, dan tak terbatas.
Dia-lah yang mengurus, memberikan, dan menganugerahkan rezeki kepada makhluk-Nya. Imam al-Ghazali (teolog, filsuf, dan sufi terbesar Islam dari Iran; 1058–1111) mengatakan, Allah SWT menciptakan baik sarana rezeki maupun mereka yang diberi rezeki, dan Ia juga memberikan sarana kepada makhluk dan menciptakan bagi mereka jalan untuk menikmati rezeki yang diberikan. Allah SWT berfirman, “Dia melapangkan rezeki bagi siapa yang dikehendaki-Nya dan menyempitkan(nya)” (QS.42:12).
Allah SWT memberikan rezeki-Nya kepada seluruh makhluk-Nya, baik kepada manusia, tumbuhan, maupun binatang. Dalam Al-Qur’an, Allah SWT berfirman, “Dan tidak ada suatu binatang melata pun di bumi melainkan Allahlah yang memberi rezekinya” (QS.11:6).
Sekalipun rezeki Allah SWT melimpah tak terbatas, namun Allah SWT memberikan rezeki tersebut kepada makhluk-Nya sesuai dengan takaran yang telah ditentukan. Dalam Al-Qur’an disebutkan, “Dan Kami tidak menurunkan (rezeki) melainkan dengan ukuran (takaran) yang tertentu” (QS.15:21).
Ini dimaksudkan agar manusia khususnya tidak menyalahgunakannya untuk kepentingan yang tidak berguna ataupun mengeksploitasi sumber daya alam dengan cara yang tidak baik dan melampaui batas, karena hal ini dapat mengakibatkan kerusakan alam.
Allah SWT memberikan rezeki-Nya kepada manusia, baik di dalam kehidupan dunia maupun kelak di akhirat. Allah SWT berfirman, “Dan Allah memberi rezeki kepada siapa yang dikehendaki-Nya tanpa batas (perhitungan)” (QS.24:38).
Ayat Al-Qur’an ini membuktikan kemurahan Allah SWT kepada manusia dalam pemberian rezeki. Allah SWT akan “memberi rezeki dari arah yang tiada disangka-sangka” (QS.65:3). Ayat ini mengajurkan agar setiap manusia selalu optimis menghadapi kehidupannya.
Imam al-Ghazali menyebutkan dua macam pemberian rezeki. Pertama, rezeki lahiriah, yaitu rezeki berupa pe meliharaan dan makanan yang dibutuhkan tubuh setiap manusia. Pemberian rezeki lahiriah dimaksudkan untuk memberi kekuatan jasmani manusia, yang memiliki masa terbatas dan singkat.
Kedua, rezeki batiniah, yaitu rezeki berupa hal yang diketahui dan hal yang disingkapkan atau diwahyukan untuk keperluan hati. Adapun hasil pemberian rezeki batiniah ini adalah bahwa hati akan mendapat pengetahuan dan petunjuk kepada perbuatan yang baik. Untuk itu, rezeki batiniah adalah rezeki yang memiliki nilai lebih tinggi dibanding rezeki lahiriah.
Rezeki lahiriah hampir identik dengan makanan. Selama hidupnya, manusia memerlukan makanan untuk per tumbuhan dan perkembangan tubuh setiap saat. Allah SWT memerintahkan seluruh manusia untuk mencari dan men-gusahakan makanan yang sifatnya halal dan Tayyib (lezat, baik, sehat, menenteramkan, dan paling utama). Allah SWT berfirman,
“Dan makanlah makanan yang halal lagi Tayyib dari apa yang Allah telah rezekikan kepadamu, dan bertakwalah kepada Allah yang kamu beriman kepada-Nya” (QS.5:88).
Nabi Muhammad SAW dalam sebuah hadis menyebutkan, “Mencari (rezeki) yang halal adalah wajib bagi setiap muslim setelah kewajiban lainnya” (HR. Tabrani). Nabi Muhammad SAW juga bersabda,
“Siapa saja yang memakan makanan halal selama 40 hari, maka Allah akan menyinari hatinya dan akan mengalirkan mata air hikmah dari hatinya melalui lidahnya.” (HR. Tabrani)
Makanan sebagai rezeki Allah SWT diuraikan dan dibagi dalam Al-Qur’an menjadi tiga kategori pokok. Pertama, makanan nabati. Menurut M. Quraish Shihab (ahli tafsir Al-Qur’an Indonesia), tak satu pun ayat Al-Qur’an menyebutkan secara eksplisit larangan makanan nabati tertentu. Sekalipun ada tumbuhan tertentu yang kemudian terlarang maka hal itu termasuk dalam larangan umum memakan sesuatu yang buruk atau merusak kesehatan.
Kedua, makanan hewani. Al-Qur’an membagi jenis makanan ini menjadi dua kelompok, yakni dari laut dan darat. Tentang makanan dari laut, Allah SWT berfirman,
“Dihalalkan bagi kamu binatang buruan laut dan makanan yang berasal dari laut sebagai makanan yang lezat bagi kamu dan orang-orang yang dalam perjalanan” (QS.5:96).
Adapun makanan dari darat, Al-Qur’an dalam surah al-An‘am (6) ayat 145 secara eksplisit menghalalkan al-an‘am (unta, sapi, dan kambing), dan mengharamkan babi secara tegas.
Ketiga, makanan olahan. Al-Qur’an menyebut khamr (yang memabukkan; sesuatu yang menutup pikiran) sebagai salah satu contoh jenis makanan olahan yang dilarang dimakan. Allah SWT berfirman,
“Dan dari buah kurma dan anggur, kamu buat minuman olahan yang memabukkan dan rezeki yang baik. Sesungguhnya pada yang demikian itu terdapat tanda (kebesaran) Allah bagi orang yang memikirkan” (QS.16:67).
Menurut Quraish, ayat ini merupakan ayat pertama yang turun tentang makanan olahan yang berasal dari buah-buahan. Khamr dilarang karena dapat memabukkan, dan dapat menutup akal, sehingga dapat mengakibatkan seseorang yang meminumnya lupa kepada perintah dan larangan Allah SWT.
DAFTAR PUSTAKA
al-Ghazali, Imam. al-Asma’ al-husna, terj. Ilyas Hasan. Bandung: Mizan, 1998.
Ibnu Khaldun. Muqaddimah Ibnu Khaldun, terj. Ahmadie Thaha. Jakarta: Pustaka Firdaus, 2000.
Rahardjo, M. Dawam. Ensiklopedi Al-Qur’an: Tafsir Sosial Berdasarkan Konsep-konsep Kunci. Jakarta: Paramadina, 1996.
Shihab, M. Quraish. Wawasan Al-Qur’an: Tafsir Maudhu’i atas Pelbagai Persoalan Umat. Bandung: Mizan, 1996.
Idris Thaha