Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, revolusi berarti “perubahan ketatanegaraan (pemerintahan atau keadaan sosial) yang dilakukan dengan kekerasan (seperti dengan perlawanan bersenjata)”. Dalam sejarah dunia terjadi beberapa peristiwa revolusi yang membawa perubahan sejarah secara fundamental.
Revolusi pada dasarnya bertujuan untuk membawa perbaikan dan pembaruan sosial dengan cara yang relatif radikal dan drastis. Ada dua aktivitas sentral dalam revolusi:
(1) membersihkan pelaku pemerintahan yang zalim; dan (2) menghadirkan suatu alternatif tatanan sistem sosial baru sebagai pengganti sistem sosial lama yang hanya berpihak kepada penguasa dengan segala kepentingannya dan menyengsarakan kehidupan mayoritas rakyatnya.
Revolusi adalah lawan kata evolusi, yaitu perkembangan perlahan-lahan atau tahap demi tahap tanpa unsur paksaan. Ditilik dari tujuan revolusi, dapat ditarik garis pembeda antara revolusi Barat dan re volusi Islam. Dalam revolusi Barat, baik revolusi borjuis pada tahun 1789 maupun revolusi sosialis bulan Oktober 1917, diperlukan pembebasan kekuatan produktif agar dimungkinkan pertumbuhan yang mencukupi kebutuhan materiil manusia.
Sementara itu, revolusi Islam di Iran 1979 dimulai dengan penolakan terhadap model perkembangan Barat, yakni penolakan terhadap despotisme di dalam negeri dan imperialisme dari luar negeri. Keduanya (despotisme dan imperialisme) telah memaksakan model perkembangan Barat untuk kepentingan segelintir manusia.
Bani Sadr (presiden Iran) menulis, “Revolusi Islam adalah penolakan terhadap Barat, karena Barat menunjukkan kegagalan dalam segala bidang.” Revolusi Perancis pada tahun 1789 disebut juga Revolusi Borjuis. Cikal bakal revolusi ini terlihat dari semangat individualisme yang dikembangkan beberapa ahli sosiologi dan filsuf politik Perancis, terutama Jean Jacques Rousseau (1712–1778).
Dasar teori individualisme menyebutkan bahwa manusia itu lahir merdeka dan hidup merdeka. Ia bebas berbuat apa saja menurut kemauannya asalkan jangan mengganggu keamanan atau kebebasan orang lain.
Pada masa ini muncul konflik besar yang menimbulkan reaksi perlawanan gigih kaum individualis. Pertama, dalam hal filsafat, semangat universalisme tereduksi secara semena-mena oleh pihak gereja Katolik.
Cita-cita universalisme berpandangan bahwa tiap orang harus merasa dirinya sebagai bagian dari pergaulan umum. Artinya, apa yang dikerjakannya haruslah diatur, bukan hanya untuk keperluan dirinya sendiri, melainkan untuk orang banyak. Tiap orang dipandang sebagai anggota suatu badan.
Kalau perbuatannya itu salah, maka badan akan merasa sakit dan anggotanya yang lain akan merasa sakit pula. Semangat ini bertujuan untuk persatuan manusia. Akan tetapi dalam aplikasinya kemudian, pihak gereja menganggap per sekutuan umum itu sebagai organisasi gereja. Gereja berpandangan
bahwa tiap orang lahir harus tunduk di bawah perintah paus sebagai kepala gereja Katolik. Paus mesti dianggap sebagai wakil Tuhan di muka bumi ini. Otoritas kebenaran kemudian dimonopoli oleh gereja sehingga kemerdekaan berpikir tidak diperkenankan dan akan ditindas.
Sikap gereja seperti ini membangkitkan perlawanan. Semakin keras kungkungan gereja, semakin keras pula aksi yang menentang. Aksi tersebut dipelopori oleh kaum individualis yang berpandangan bahwa manusia itu pada hakikatnya adalah merdeka.
Kedua, dalam hal negara atau pemerintahan. Kaum individualis menentang pemerintah feodalisme. Semenjak kaum bangsawan berhasil menduduki tampuk kekuasaan pemerintahan dan kemudian raja berderajat sama dengan gereja sebagai penguasa agama, terjadilah persekongkolan yang manis antara raja dan gereja.
Pemerintahan raja yang bersifat otokrasi dan ditunjang oleh kaum bangsawan itulah yang disebut “feodalisme”. Lambat laun sifat otokrasi raja itu mulai dibatasi oleh kaum bangsawannya sendiri. Sementara rakyat kebanyakan tidak diberi hak bersuara sedikit pun dalam hal pemerintahan. Rakyat tak lain dipandang sebagai budak atau pelayan kaum bangsawan.
Nasib mereka ditentukan untuk menerima perintah dari atas. Keadaan inilah yang ditentang oleh kaum individualis. Kondisi kehidupan yang terikat dan tertindas ini kemudian menjadi bom waktu meledaknya Revolusi Perancis tahun 1789 yang meruntuhkan kekuasaan feodalisme.
Revolusi Rusia atau Revolusi Bolshevik adalah revolusi terbesar dalam sejarah dunia. Revolusi ini mengandung arti yang sangat penting, karena akibat yang ditimbulkannya mempengaruhi sebagian besar penghuni dunia.
Sebelum terjadi revolusi, Rusia diperintah tsar secara otokrasi dalam bentuk pemerintahan kerajaan. Pada masa ini kapitalisme muncul dan hidup di Rusia. Dalam kehidupan sehari-hari, raja dan kaum kapitalis bersekongkol menindas rakyat banyak. Perlawanan rakyat bermunculan dan membuahkan beberapa perubahan secara fundamental.
Mula-mula kekuasaan tsar dapat ditumbangkan rakyat jelata, lalu diiringi dengan berdirinya Republik Rusia yang dikendalikan Kabinet Kerensky. Setelah pemerintahan otokrasi musnah dan berakhir, kaum proletar Rusia meneruskan perjuangan dengan menciptakan masyarakat sosialisme di bawah pimpinan Partai Komunis.
Lenin, ketua Partai Komunis pada saat itu, tidak puas dengan adanya “Rusia merdeka” saja. Ia menghendaki Rusia merdeka yang sosialis. Rakyat banyak tidak lagi ditindas segolongan kecil penduduk yang kaya raya.
Adapun pembahasan tentang revolusi dunia Islam harus memperhitungkan peran gerakan sufi yang menonjol pada abad kesembilan belas. Di Afrika utara, Sudan, dan Mesir, para sufi besar Musthafa bin Azzuz (w. 1866), Abdul Qadir (w. 1883), Muhammad al-Mahdi (w. 1885), Abdul Karim (Muhammad Abdul Karim al-Khathabi, w. 1920), Abdul Hamid bin Badis (w. 1940), Hasan al-Banna (w. 1949), semuanya mengangkat panji pemberontakan melawan kekuasaan kolonialis.
Rekan mereka di Asia Tengah dan Asia Selatan, yang kerap diilhami oleh teladan sesama muslim di tempat lain, juga mengikuti pola ini. Istilah jihad dalam Al-Qur’an telah terserap dalam wacana mereka ketika berusaha memobilisasi kaum muslim dalam perjuangan antikolonial.
Setelah itu, proses kolektif terhadap rezim yang berkuasa menjadi jeritan hati Abu A‘la al-Maududi (1903–1979) di India dan Pakistan, Sayid Qutub (1906–1966) di Mesir, serta Ali Syari’ati (1933–1977) dan Ayatullah Ruhullah al-Musawi Khomeini (1902–1989) di Iran.
Sementara Revolusi Iran terjadi pada Februari 1979. Akar revolusi Islam ini berawal dari protes besar-besaran yang dipimpin para ulama terhadap Dinasti Qajar pada 1891–1892 atas konsesi kepada Inggris untuk memonopoli tembakau di Iran.
Demikian juga kerjasama ulama, para intelektual, dan kaum kelas menengah dalam kurun waktu 1905–1911, yang menggerakkan revolusi konstitusional, merupakan rangkaian semangat revolusi untuk membatasi kesewenang-wenangan monarki di Iran.
Ketika Reza Syah, ayah Mohammad Reza Syah Pahlevi, mendongkel Dinasti Qajar pada 1925 dan mendirikan Dinasti Pahlevi yang baru, nasib Iran justru semakin parah. Pemihakan Reza Syah pada Nazi Jerman selama Perang Dunia II mengakibatkan ia terpental dari singgasana pada 1941 akibat tekanan Inggris dan Rusia.
Mohammad Reza Syah Pahlevi (yang kemudian terkenal sebagai Syah Iran) menggantikan ayahnya dan mula-mula tampak tidak terlalu diktatorial. Akan tetapi, kemudian ternyata bahwa ia tidak dapat mandiri dan menghamba kepada kepentingan asing, mula-mula kepada Inggris dan kemudian Amerika Serikat.
Pada 1951 Perdana Menteri Mohammad Mossadeq melakukan nasionalisasi atas perusahaan minyak asing milik Inggris, dan untuk sementara berhasil mengusir Syah Iran. Akan tetapi, CIA (Central Intelligence Agency) yang bekerjasama dengan pemerintah Inggris dapat mengembalikan Syah Iran ke takhtanya dan melemparkan Mossadeq ke luar gelanggang politik. “Revolusi” Mossadeq akhirnya gagal dan Syah Iran menjadi despot dan tiran yang sempurna.
Syah Iran ditumbangkan dari kekuasaannya oleh Revolusi Islam Iran di bawah pimpinan Khomeini pada 1979. Imam Ayatullah Khomeini dibantu oleh rekan-rekannya yang juga merupakan arsitek Revolusi Islam Iran, yaitu Ali Syari’ati, Ayatullah Taleqani, dan Ayatullah Murtada Mutahhari.
Keberhasilan Revolusi Iran tidak dapat dilepaskan dari tiga komponen yang saling mendukung, yaitu para mullah, intelektual, dan pedagang/pengusaha. Ideologi dan loyalitas ditanamkan oleh para imam dan mullah, ide dan arsitek diprakarsai oleh para intelektual, sedangkan dana didukung oleh para pedagang (bazari).
DAFTAR PUSTAKA
Abrahamian, Ervand. Iran Between Two Revolutions. Princeton, New Jersey: Princeton University Press, 1982.
Arjomand, Said Amir. The Turban for the Crown. The Islamic Revolution in Iran. New York/Oxford: Oxford University Press, 1988.
Garaudy, Roger. Mencari Agama pada Abad XX: Wasiat Filsafat Roger Garaudy. Jakarta: Bulan Bintang, 1986.
Hasiboean, Hadely. Revolusi Roessia. Medan: Partai Boeroeh Indonesia Soematra (PBI), t.t.
Ibnu Taimiyah. as-Siyasah asy-Syar‘iyyah fi Islah ar-Ra‘i wa ar-Ra‘iyah. Beirut: Dar al-Ma‘rifah, t.t.
Keddie, N.R. Roots of Revolution. New Haven: Yale University Press, 1981.
Sihbudi, M. Riza. Dinamika Revolusi Islam Iran. Jakarta: Pustaka Hidayah, 1989.
Syari’ati, Ali. Kritik Islam atas Marxisme dan Sesat Pikir Barat Lainnya. Bandung: Mizan, 1996.
Amsal Bakhtiar