Muhammad Rasyid Rida dikenal sebagai pemikir dan pembaru Islam di Mesir pada abad ke-20. Ia lahir dan dibesarkan di keluarga yang taat beragama. Ada yang menyebutkan bahwa ia keturunan Nabi SAW melalui garis keturunan Husein bin Ali bin Abi Thalib. Itulah sebabnya ia memakai gelar sayid.
Pendidikan Muhammad Rasyid Rida diawali dengan membaca Al-Qur’an, menulis dan berhitung di kampung nya, Qalamun, Suriah. Berbeda dengan anak-anak seusia nya, ia lebih senang menghabiskan waktunya untuk belajar dan membaca buku daripada bermain. Sejak kecil ia telah memiliki kecerdasan yang tinggi dan kecintaan terhadap ilmu pengetahuan.
Setelah lancar membaca dan menulis, Muhammad Rasyid Rida masuk ke Madrasah ar-Rasyidiyah, yaitu sekolah milik pemerintah di kota Tripoli. Di sekolah itu ia belajar ilmu bumi, ilmu berhitung, ilmu bahasa, seperti nahu dan sharaf (ilmu tata bahasa Arab), dan ilmu agama, seperti akidah dan ibadah. Hanya setahun Muhammad Rasyid Rida belajar di sini, karena ternyata sekolah itu khusus diperuntukkan bagi mereka yang ingin menjadi pegawai pemerintah, sedangkan ia tidak berminat mengabdi menjadi pegawai pemerintah.
Ketika berumur 18 tahun, ia kembali melanjutkan studinya dan sekolah yang dipilihnya adalah Madrasah al-Wataniyyah al-Islamiyyah yang didirikan Syekh Husain al-Jisr. Dibandingkan dengan Madrasah ar-Rasyidiyyah, madrasah ini jauh lebih maju, baik dalam sistem pengajaran maupun materi yang diajarkan.
Di sini ia belajar mantik, matematika, dan filsafat, di samping juga ilmu-ilmu agama. Gurunya, Syekh Husain al-Jisr, dikenal sebagai seorang yang banyak berjasa dalam menumbuhkan semangat ilmiah dan ide pembaruan dalam diri Rasyid Rida kelak.
Di antara pemikiran gurunya yang sangat mempen-garuhi ide pembaruan Rasyid Rida adalah bahwa satu-satunya jalan yang harus ditempuh umat Islam untuk mencapai kemajuan adalah memadukan pendidikan agama dan pendidikan umum dengan menggunakan metode Eropa.
Syekh Husain al-Jisr berpendapat demikian karena sekolah yang didirikan bangsa Eropa dan Amerika di Suriah saat itu banyak diminati anak-anak pribumi. Keadaan ini justru mengkhawatirkan al-Jisr karena di sekolah itu tidak disajikan materi pelajaran agama.
Selain menekuni pelajarannya di Madrasah al-Wataniy al-Islamiyyah, Rasyid Rida juga tekun mengikuti berita perkembangan dunia Islam melalui surat kabar al-‘Urwah al-Wutsqa (Ikatan yang Kuat; surat kabar berbahasa Arab yang dipimpin dua tokoh pembaru Jamaluddin al-Afghani dan Muhammad Abduh, diterbitkan di pengasingan mereka di Paris).
Melalui surat kabar ini Rasyid Rida mengenal gagasan kedua tokoh yang sangat dikaguminya itu. Ide pembaruan mereka menimbulkan keinginan yang kuat di hati Rasyid Rida untuk bergabung dan berguru pada Jamaluddin al-Afghani dan Muhammad Abduh.
Keinginan Rasyid Rida untuk bertemu al-Afghani tidak tercapai karena al-Afghani lebih dahulu meninggal sebelum Rasyid Rida sempat menjumpainya. Muhammad Abduh sempat dijumpainya ketika yang disebut terakhir ini berada dalam pembuangannya di Beirut.
Pertemuan dan dialog-dialog antara Rida dan Abduh semakin menumbuhkan semangat juang dalam dirinya untuk melepaskan umat Islam dari belenggu keterbelakangan dan kebodohannya. Rasyid Rida banyak menyerap pemikiran Muhammad Abduh dalam usaha memajukan umat Islam.
Setelah Abduh diizinkan kembali ke Mesir, ia kemudian mengikuti gurunya itu pada 1898. Setibanya di Mesir, ia mengusulkan kepada Abduh agar menerbitkan sebuah majalah. Terbitlah sebuah majalah yang diberi nama al-Manar, nama yang diusulkan Rasyid Rida dan disetujui Muhammad Abduh.
Dalam terbitan perdananya dijelaskan bahwa tujuan al-Manar sama dengan al-‘Urwah al-Wutsqa, yaitu untuk memajukan umat Islam dan menjernihkan ajaran Islam dari segala paham yang menyimpang.
Setahun setelah al-Manar terbit, ia mengajukan saran kepada gurunya agar menafsirkan Al-Qur’an dengan tafsiran yang relevan dengan tuntutan zaman. Ketika itu Abduh aktif mengajar tafsir Al-Qur’an di al-Azhar. Sebagai murid, Rasyid Rida mencatat kuliah-kuliah gurunya, lalu catatannya itu diserahkan kepada gurunya untuk dikoreksi. Selesai diperiksa, catatan itu diterbitkan dalam majalah al-Manar.
Kumpulan tulisan mengenai tafsir yang termuat dalam majalah al-Manar inilah yang kemudian dibukukan menjadi Tafsir al-Manar. Sampai wafatnya, Muhammad Abduh hanya sempat menafsirkan hingga surah an-Nisa’ (4) ayat 125. Penafsiran ayat selanjutnya dilakukan Rasyid Rida sendiri.
Rasyid Rida juga seorang pengikut tarekat, yaitu Tarekat Naqsyabandiyah. Berdasarkan pengalamannya di dunia tarekat, ia menyimpulkan bahwa ajaran tarekat yang ber lebihan dalam cara beribadah dan pengultusan seorang guru membuat seseorang mempunyai sikap statis dan pasif. Sikap-sikap seperti itu jelas merugikan umat Islam.
Ide pembaruan penting yang dibawa Rasyid Rida adalah dalam bidang agama, bidang pendidikan, dan bidang politik. Dalam bidang agama ia berpendapat bahwa umat Islam lemah karena mereka tidak lagi mengamalkan ajaran agama Islam yang murni seperti yang dipraktekkan pada masa Rasulullah SAW dan sahabat-sahabatnya, melainkan ajaran yang sudah banyak bercampur dengan bid’ah dan khurafat.
Selanjutnya ia menegaskan, jika umat Islam ingin maju, mereka harus kembali berpegang kepada Al-Qur’an dan sunah Rasulullah SAW dan tidak terikat dengan pendap-at-pendapat ulama terdahulu yang tidak lagi sesuai dengan tuntutan hidup modern.
Mengenai ajaran Islam, Rasyid Rida membedakan antara masalah peribadatan (yang berhubungan dengan Tuhan) dan masalah muamalah (yang berhubungan dengan manusia). Yang pertama telah tertuang dalam teks Al-Qur’an yang qat’i (tunjukannya jelas, pasti) dan hadis mutawatir. Menurutnya, untuk hal yang kedua ini akal dapat digunakan sepanjang tidak menyimpang dari prinsip dasar ajaran Islam.
Rasyid Rida kemudian menyoroti paham fatalisme yang menyelimuti umat Islam waktu itu. Menurut Rasyid Rida, ajaran Islam sebenarnya mengandung paham dinamika, bukan fatalisme. Paham dinamika inilah yang membuat dunia Barat maju. Rasyid Rida menjelaskan paham dinamika dalam Islam dengan mengambil bentuk jihad, yaitu kerja keras dan rela berkorban demi mencapai keridaan Allah SWT. Etos jihad inilah yang mengantarkan umat Islam ke puncak kejayaannya pada zaman klasik.
Idenya yang lain adalah toleransi bermazhab. Rasyid Rida melihat fanatisme mazhab yang tumbuh di kalangan umat Islam mengakibatkan perpecahan dan kekacauan. Oleh karena itu, perlu dihidupkan toleransi bermazhab, bahkan dalam bidang hukum perlu diupayakan penyatuan mazhab, walaupun ia sendiri dikenal sebagai pengikut setia Mazhab Hanbali.
Dalam bidang pendidikan Rasyid Rida mengikuti guru nya, Muhammad Abduh. Rida sangat menaruh perhatian terhadap pendidikan. Menurutnya, umat Islam hanya dapat maju apabila menguasai bidang pendidikan. Oleh karena itu, ia selalu mengimbau dan mendorong umat Islam untuk menggunakan kekayaannya bagi pembangunan lembaga pendidikan.
Menurut Rasyid Rida, membangun lembaga pendidikan lebih bermanfaat daripada membangun masjid. Apa artinya masjid jika pengunjungnya hanyalah orang bodoh. Sebaliknya, lembaga pendidikan akan dapat meng hapuskan kebodohan dan pada gilirannya membuat umat menjadi maju dan makmur.
Usaha yang dilakukannya di bidang pendidikan adalah membangun sekolah misi Islam dengan tujuan utama untuk mencetak kader mubalig yang tangguh, sebagai imbangan terhadap sekolah misionaris Kristen.
Sekolah tersebut didirikan pada tahun 1912 di Cairo dengan nama Madrasah ad-Da‘wah wa al-Irsyd. Di sekolah tersebut diajarkan ilmu agama, seperti Al-Qur’an, tafsir, akhlak, hikmah at-tasyri‘ (hikmah ditetapkannya syariat), bahasa Eropa, dan ilmu kesehatan. Setelah itu, Rasyid Rida mendapat undangan dari pemuka Islam India untuk mendirikan lembaga yang sama di sana.
Selain aktif di bidang pendidikan, ia juga aktif berkiprah di dunia politik. Kegiatannya antara lain menjadi Presiden Kongres Suriah 1920, sebagai delegasi Palestina-Suriah di Jenewa 1921, sebagai anggota Komite Politik di Cairo 1925, dan menghadiri Konferensi Islam di Mekah 1926 dan di Yerusalem 1931.
Ide-idenya yang penting di bidang politik adalah tentang ukhuwah islamiah (persaudaraan Islam). Ia melihat salah satu penyebab kemunduran umat Islam ialah perpecahan yang terjadi di kalangan mereka. Untuk itu, ia menyeru umat Islam agar bersatu kembali di bawah satu keyakinan, satu sistem moral, satu sistem pendidikan, dan tunduk kepada satu sistem hukum dalam satu kekuasaan yang berbentuk negara.
Akan tetapi, negara yang diinginkan Rasyid Rida bukan seperti di Barat, melainkan negara dalam bentuk khilafah (kekhalifahan) seperti pada masa al-Khulafa’ ar-Rasyidun (empat khalifah besar). Khalifah haruslah seorang mujtahid (ahli ijtihad) yang dalam menjalankan roda pemerintahannya dibantu oleh ulama. Hanya dengan sistem khilafah, ukhuwah Islamiah dapat diwujudkan.
Dalam bukunya al-Khulafa’, Rasyid Rida menjelaskan secara panjang lebar mengenai khilafah, antara lain disebutkan bahwa fungsi khalifah adalah menyebarkan kebenaran, mene gakkan keadilan, memelihara agama, dan bermusyawarah mengenai masalah yang tidak dijelaskan dalam nas.
Khalifah bertanggung jawab atas segala tindakannya di bawah pengawasan ahl al-hall wa al-‘aqd yang anggotanya terdiri atas ulama dan pemuka-pemuka masyarakat. Tugas ahl al-hall wa al-‘aqd, selain mengawasi jalannya roda pemerintahan, juga mencegah terjadinya penyelewengan oleh khalifah. Lembaga ini berhak menindak khalifah yang berbuat zalim dan sewenang-wenang.
Pengaruh pemikiran pembaruan Rasyid Rida dan gurunya, Muhammad Abduh, terasa sampai ke Indonesia. Ide-idenya yang terkandung dalam majalah al-Manar, khususnya mengenai pemberantasan bid’ah dan khurafat, banyak mengilhami timbulnya gerakan pembaruan di Indonesia.
Bukti-bukti yang dapat dikemukakan sebagai adanya pengaruh ide-ide Rasyid Rida di Indonesia, antara lain, terbitnya majalah al-Munir di Padang yang dikelola oleh ulama yang pernah belajar di Mekah. Majalah ini mengulas berita-berita yang dimuat da lam majalah al-Manar.
Ulama Indonesia banyak yang tertarik untuk membaca al-Manar, baik semasa berada di Mekah maupun setelah kembali ke Indonesia. Hal ini ditandai dengan munculnya pertanyaan ulama Indonesia terhadap Rasyid Rida melalui al-Manar mengenai nasionalisme, patriotisme, dan semangat ukhuwah islamiah.
Daftar pustaka
Adams, Charles C. Islam and Modernism in Egypt. London: Oxford University Press, 1933.
al-Adawi, Ibrahim Ahmad. Rasyid Ridha: al-Imam al-Mujtahid. Cairo: al-Mu’assasah al-Misriyah, t.t.
Amin, Ahmad. Zu‘ama’ al-Islah fi ‘Asr al-hadits. Cairo: Maktabah an-Nahdah al-Misriyah, 1960.
Kerr, Malcolm H. Islamic Reform: The Political and Legal Theory of Muhammad Abduh and Rasyid Rida. California: University Press, 1966.
Nasution, Harun. Pembaharuan dalam Islam: Sejarah Pemikiran dan Gerakan. Jakarta: Bulan Bintang, 1988.
Rida, Muhammad Rasyid. al-Khilafah. Cairo: Maktabah al-Manar al-Misriyah, 1341 H/1922 M.
–––––––. Tafsir al-Manar, Cairo: Dar al-Manar, 1948–1956.
asy-Syirbasi, Ahmad. Rasyid Ridha. Cairo: Lajnah at-Ta’rif bi al-Islam, t.t.
MusdaH Mulia