Mohammad Rasjidi adalah seorang cendekiawan muslim, ulama, filsuf, dan menteri Agama Republik Indonesia pertama. Rasjidi, anak kedua dari Atmosudigdo (pengusaha batik), pada masa kecilnya bernama Saridi. Ia adalah seorang penulis produktif, menghasilkan lebih dari 20 karya ilmiah.
Rasjidi dilahirkan di Kotagede, Yogyakarta pada 20 Mei 1915. Ia memasuki Sekolah Ongko Loro (Sekolah Kelas Dua), satu-satunya sekolah tingkat dasar yang ada di daerahnya, melanjutkan studinya ke HIS (Hollandsche Inlandsche School) Muhammadiyah di Kotagede, dan selanjutnya memasuki Kweekschool Muhammadiyah (sekolah guru).
Kemudian Saridi melanjutkan studinya ke Sekolah al-Irsyad di Lawang, Jawa Timur yang didirikan Syekh Ahmad Soorkati (1874–1943). Ketika bersekolah di al-Irsyad ini kecerdasan dan kecenderungannya di bidang filsafat sudah mulai terlihat.
Pada waktu itu ia baru berumur 15 tahun dan telah berhasil menghafal buku logika karangan Aristoteles. Karena kecerdasannya itulah, Syekh Ahmad Soorkati menyayanginya dan mengganti namanya menjadi Mohammad Rasjidi. Setelah 2 tahun belajar di Lawang ia memperoleh diploma.
Pada 1931 Rasjidi berangkat ke Cairo untuk melanjutkan studinya. Ia belajar di Universitas Cairo jurusan filsafat dan agama. Ketika belajar di Cairo, ia sempat menunaikan ibadah haji.
Pada 1938 ia kembali ke tanah air dan mulai tertarik untuk menjadi anggota Partai Islam Indonesia (PII), di samping menjadi anggota Alliance Française (Perhimpunan Perancis) di Yogyakarta. Selanjutnya oleh Pemerintah Balatentara Dai Nippon (Jepang) ia ditugasi untuk mengelola perpustakaan Islam di Jakarta.
Masa selanjutnya adalah masa kiprahnya di bidang politik, birokrasi, dan diplomasi. Dalam Kabinet Sjahrir (Sutan Sjahrir) yang dibentuk pada 14 November 1945, Mohammad Rasjidi ditunjuk sebagai menteri negara. Lebih kurang dua bulan sesudahnya, ia ditunjuk menjadi menteri Agama.
Rasjidi juga menjadi salah seorang anggota del-egasi RI di bawah pimpinan H Agus Salim pada Inter Asian Relation Conference (New Delhi, 23 Maret 1947). Setelah penyerahan kedaulatan, ia diangkat menjadi duta besar RI untuk Mesir merangkap Arab Saudi yang ber kedudukan di Cairo. Setelah 2 tahun menjadi duta besar di Mesir, pada 1953 Mohammad Rasjidi dipindahkan ke Teheran sebagai duta besar di Iran merangkap Afghanistan.
Kegiatan diplomasinya terhenti sejenak ketika ia menyelesaikan disertasinya di Universitas Sorbonne, Perancis atas bantuan Rockefeller Foundation. Disertasinya tentang buku Serat Centhini (Tjentini) berhasil dipertahankannya di depan sidang promosi pada 23 Mei 1956 di Perancis.
Kemudian ia diangkat menjadi duta besar RI di Pakistan. Namun pada masa berikutnya terjadi kegoncangan politik di Tanah Air. Kabinet goyah dan tidak dapat melaksanakan tugas sebagaimana mestinya. Daerah juga mulai bergolak, antara lain dengan berdirinya PRRI pada 1958.
Di tengah suasana demikian, Rasjidi mendapat tawaran dari McGill University, Montreal, Canada untuk menjadi seorang Associate Professor dalam ilmu agama Islam. Setelah 5 tahun bertugas di Montreal, ia menerima tawaran dari Islamic Centre di Washington D.C. untuk mengelola masjid, perpustakaan, dan lembaga pendidikan.
Setelah selesai bertugas di Amerika Serikat, ia kembali ke Indonesia. Sejak itulah ia memulai pengabdiannya di bidang akademis di Indonesia. Pada mulanya ia menjadi dosen hukum Islam di Universitas Indonesia.
Pada tahun 1968 ia dikukuhkan menjadi guru besar hukum Islam dan lembaga Islam, dengan pidato pengukuhan berjudul “Islam di Indonesia di Zaman Modern”. Selain sebagai guru besar di Universitas Indonesia, ia juga menjadi guru besar filsafat Barat di Program Pascasarjana IAIN Syarif Hidayatullah Jakarta (kini: UIN Syarif Hidayatullah).
Sejak tahun 1965, atas permintaan Raja Faisal dari Arab Saudi, ia aktif dalam Rabitah al-‘Alam al-Islami. Ia ditunjuk untuk mengepalai Kantor Rabitah di Indonesia sekaligus menjadi anggota Majlis Ta’sisi (Dewan Konstitusi) yang beranggotakan delapan puluh orang di berbagai negara.
Dalam disertasinya dijelaskan bahwa ada dua macam stabilitas, yaitu: (1) stabilitas karena keyakinan dan kesadaran, seperti yang terjadi di negara maju (Inggris, Jerman, Amerika Serikat, Perancis, dan Belanda); dan (2) stabilitas yang didasarkan atas kebodohan, seperti pada zaman penjajahan (keamanan terjamin karena rakyat tidak dapat memahami penderitaannya).
Dalam suatu seminar di Montreal, Rasjidi menanggapi uraian seorang guru besar, Prof. Joseph Schacht, yang mengatakan bahwa segala perselisihan yang terjadi di kalangan umat Nabi SAW diselesaikan menurut arbitrase. Oleh karena itu, kata-kata yang dipakai untuk memutuskan segala sengketa adalah hakama (pene ngah), bukan qadha’ (memutuskan), yang menurutnya suatu penyelesaian yang memiliki kekuatan supernatural.
Menanggapi uraian ini, Rasjidi menjelaskan bahwa tidak mungkin setelah menerima wahyu, Nabi Muhammad SAW menggunakan sistem hakama, karena arbitrase hanya digunakan jika tidak ada teks hukum Al-Qur’an. Lebih jauh ia menjelaskan bahwa hukum dan qadha’ itu adalah identik (QS.5:48 dan 50).
Rasjidi menghasilkan banyak karya ilmiah, seperti: Koreksi terhadap Nurcholish Madjid tentang Sekularisme; Filsafat Agama; Islam di Indonesia di Zaman Modern (Pidato Pengukuhan Guru Besar); Keutamaan Hukum Islam; Islam dan Kebatinan; Mengapa Aku Tetap Memeluk Agama Islam; Islam Menentang Komunisme; Islam dan Sosialisme; Sikap Ummat Islam Indonesia terhadap Ekspansi Kristen; Agama dan Etika; Di Sekitar Kebatinan; Kasus RUU Perkawinan dalam Hubungan Islam dan Kristen; Empat Kuliah Agama Islam di Perguruan Tinggi; Sidang Raya Dewan Gereja Sedunia di Jakarta 1975, Artinya bagi Dunia Islam; Bibel, Qur’an, dan Sains Modern (terjemahan); Janji-Janji Islam (terjemahan); Consideration Critique du Livre Tjentini ou Evolution de l’Islam en Indonesie (disertasi); Koreksi terhadap Harun Na sution tentang Islam Ditinjau dari Berbagai Aspeknya; Strategi Kebudayaan dan Pembaharuan Pendidikan Nasional; Unity and Diversity in Islam (Persatuan dan Perbedaan dalam Islam); Humanisme dalam Islam (terjemahan); Persoalan-persoalan Falsafat (terjemahan); dan Apakah itu Syi’ah.
Dalam pertemuan dan musyawarah ulama Jakarta Raya pada 26 Februari 1967, yang kemudian menyepakati didirikannya Dewan Dakwah Islamiyah Indonesia (DDII), Rasjidi dipilih menjadi wakil ketua berpasangan dengan Mohammad Natsir (sebagai ketua). Kepengurusan DDII pada periode pertama ini bertahan selama 20 tahun (1967–1987).
Ini berarti peran Rasjidi dalam DDII cukup besar dan cukup berpengaruh. Sebagai salah satu tokoh peletak dasar tujuan didirikannya DDII, peran dan sumbangan pemikirannya bagi perkembangan organisasi ini sangat besar.
Daftar Pustaka
Azra, Azyumardi, dan Saiful Umam, ed. Menteri-Menteri Agama RI, Biografi Sosial
Politik. Jakarta: PPIM, INIS, dan Litbang Depag RI, 1998.
Departemen Agama RI. Sejarah Departemen Agama. Jakarta: Puslitbang Kehidu-
pan Beragama, 1981/1982.
Redaksi Tempo. Apa dan Siapa: Sejumlah Orang Indonesia 1985–1986. Jakarta: Pustaka Grafitipers, 1986.
Syahrin Harahap