Raja Ali Haji adalah tokoh ulama dan sastrawan Melayu terkemuka abad ke-19. Ayahnya bernama Raja Ahmad (l. 1773). Kakeknya, Raja Haji (w. 1784), adalah seorang pahlawan Bugis yang pernah menjadi yamtuan muda (raja muda) ke-4 Kesultanan Johor-Riau (1777–1784).
Raja Ali Haji berasal dari keturunan Bugis yang menem pati Pulau Penyengat, tidak jauh dari Tanjungpinang (di Pulau Bintan). Mereka amat bangga dengan asal-usul dan hubungan kekerabatan mereka. Walaupun demikian, mereka tetap merasa sebagai bagian integral dari masyarakat Melayu-Riau.
Kehadiran kelompok etnik Bugis di kawasan ini terjadi pada pertengahan abad ke-18 ketika terjadi pe rebutan kekuasaan antara para pewaris Kesultanan Johor setelah Sultan Mahmud Syah II mati terbunuh (1699). Raja Kecil (putra Sultan Mahmud Syah II dan menantu Sultan Abdul Jalil Riayat Syah IV) dengan dukungan orang Minangkabau, berhasil menurunkan Sultan Abdul Jalil Riayat Syah IV (memerintah 1699–1718) dari takhtanya pada 1718 dan menyatakan dirinya sebagai pewaris yang sah Kesultanan Johor.
Ia berperang melawan Raja Sulaiman (putra Sultan Abdul Jalil Riayat Syah IV) dari dinasti baru yang dibantu orang Bugis. Aliansi Bugis-Melayu ini membantu Raja Sulaiman meraih takhta hingga berhasil menguasai Kesultanan Johor. Sebagai imbalannya, Raja Sulaman memberi jabatan yamtuan muda kepada orang Bugis.
Jabatan ini dapat diwarisi secara turun-temurun. Raja Haji adalah yamtuan muda yang keempat. Semasa hidupnya Raja Haji berhasil menjadikan Kesultanan Johor-Riau menjadi pusat perdagangan dan budaya yang penting.
Ia wafat dalam pertempuran melawan Belanda pada 1784. Raja Haji meninggalkan dua orang putra yang terkenal dalam sejarah, Raja Ahmad dan Raja Ja‘far. Raja Ahmad adalah ayah Raja Ali Haji; sedangkan Raja Ja‘far adalah yamtuan muda yang memerintah 1806–1831.
Raja Ahmad adalah pangeran pertama dari Riau yang naik haji. Pada 1823 ia memimpin misi perdagangan dan penelitian ke Batavia (sekarang Jakarta). Ia menaruh minat besar pada sejarah. Salah satu karyanya berjudul Syair Perang Johor, menguraikan tentang perang antara Kesultanan Johor dan Kesultanan Aceh pada abad ke-17. Ia juga dipandang sebagai orang pertama yang menyusun sebuah epos yang melukiskan sejarah orang Bugis di daerah Melayu dan hubungannya dengan raja-raja Melayu.
Kesadaran historis dan bakat menulis yang besar pada diri Raja Ahmad menitis kepada putranya, Raja Ali Haji. Sejak muda Raja Ali Haji sering menyertai ayahnya dalam berbagai ekspedisi, termasuk misi ke Batavia, perjalanan dagang, dan menunaikan ibadah haji. Karena sejak kecil sering menyertai ayahnya, ia tumbuh menjadi seorang pemuda yang memiliki wawasan serta pengalaman yang luas.
Sebelum usia 20 tahun Raja Ali Haji telah diserahi tugas kenegaraan yang penting. Kemudian pada usia 32 tahun ia bersama saudara sepupu nya, Raja Ali bin Raja Ja‘far, dipercayai memerintah wilayah Lingga, mewakili Sultan Mahmud Muzaffar Syah (memerintah 1841–1857) yang ketika itu masih belia.
Sejak usia muda Raja Ali Haji telah dikenal sebagai seorang ulama yang sering diminta fatwanya oleh para kerabat kerajaan. Ia juga aktif membimbing guru agama di Riau. Ketika saudara sepupunya, Raja Ali bin Raja Ja‘far, dikukuhkan sebagai yamtuan muda pada 1845, ia diangkat menjadi penasihat keagamaan negara.
Dalam bidang intelektual, kontribusi Raja Ali Haji terbukti dari sejumlah karyanya yang menyangkut masalah agama, sastra, politik, sejarah, filsafat, dan hukum. Ia memang bukan satu-satunya intelektual pada masanya, tetapi di kalangan temannya ia memiliki prestise yang tinggi.
Khusus dalam bidang sastra, karyanya yang berjudul Hikayat Abdul Muluk dipandang sebagai karya sastrawan Riau yang pertama kali diterbitkan, yaitu pada 1846. Ciri khas karya Raja Ali Haji ialah di samping berakar pada tradisi kesusastraan Islam dan Melayu, juga terletak pada kesungguhannya untuk menyajikan sejarah masa lalu, sejalan dengan tuntutan kondisi masanya.
Karyanya yang pertama di bidang ketatanegaraan berjudul Intizam Waza’if al-Malik (Peraturan Sistematis tentang Tugas Raja). Buku ini ditulis dalam rangka memperingati wafatnya Yamtuan Muda Raja Ali bin Raja Ja‘far pada 1857 yang isinya ditujukan khusus kepada para pembesar Kesultanan Riau. Buku ini berisikan nasihat terhadap perilaku raja dan aturan-aturan pemerintahan secara Islam.
Pada 1859 lahir karyanya yang berjudul samarat al-Muhimmah Difayah li al-Umara’ wa al-Kubara’ wa li Ahl al-Mahkamah (Pahala dari Tugas Keagamaan Bagi Para Pemimpin, Pembesar, dan Para Hakim). Dalam buku ini ia dengan tegas mengatakan bahwa seorang raja yang melalaikan tugasnya dan mendurhakai Tuhannya tidak dapat diterima sebagai penguasa lagi, sedang jabatannya akan diberikan kepada orang lain yang lebih tepat.
Di beberapa tempat dalam buku ini ia menyebut kitab Ihya’ ‘Ulum ad-Din sehingga terkesan bahwa ia sangat mengagumi Imam al-Ghazali. Pengaruh al-Ghazali dalam buku ini terlihat dari pendapat Raja Ali Haji mengenai konsep ideal seorang raja. Menurutnya, raja yang baik pantang terhadap hal-hal keduniawian dan kemung karan, seperti minum arak, judi, dan sabung ayam.
Raja yang baik mencurahkan perhatiannya kepada pembangunan masjid, asrama bagi musafir, dan sarana-sarana umum bagi kesejahteraan masyarakatnya. Sebaliknya, raja yang jelek ialah raja yang memiliki sikap congkak, iri hati, jahat, serakah, boros, tidak memperhatikan soal-soal administrasi, penipu, tidak memiliki rasa humor, bersikap menghambat serta tidak memperhatikan ulama, dan tidak memperhatikan sarana pendidikan.
Karya Raja Ali Haji yang monumental setelah samarat al-Muhimmah adalah Tuhfah an-Nafis (Hadiah yang Berharga), diselesaikan pada 1860. Karya ini pertama kali ditulis Raja Ahmad, kemudian disunting dan dilengkapi Raja Ali Haji.
Buku ini menguraikan sejarah Kerajaan Johor-Riau, sejak cikal-bakalnya di Palembang sampai berdirinya Singapura. Pemikiran politik Raja Ali Haji mengacu kepada pemikiran ulama zaman klasik, seperti al-Ghazali, Ibnu Taimiyah (1263–1328), dan Abu al-Hasan Ali bin Muhammad Habib al-Mawardi (w.1058).
Isi terpenting buku ini menjelaskan bahwa di bawah pemerintahan raja yang baik, negara menjadi sejahtera. Sebelum Tuhfah an-Nafis muncul karyanya Silsilah Melayu dan Bugis (1859). Buku ini meng gambarkan pengalaman lima orang Bugis bersaudara yang merupakan leluhur Pangeran Penyengat abad ke-19.
Kedua karya tersebut merupakan sumber sejarah yang berharga bagi sejarah Sumatera, Kalimantan, dan Semenanjung Malaka serta memuat deskripsi peristiwa penting selama hampir 2 abad.
Karya lain yang juga penting adalah dua buah buku yang masing-masing berjudul Bustan al-Katibin li as-sibyan al-Muta‘allimin (Taman Para Penulis dan Para Pencari Ilmu) dicetak 1875, dan Kitab Pengetahuan Bahasa.
Buku yang disebut terakhir belum selesai ketika ia wafat. Dalam kedua kitab ini ia menekankan bahwa satu-satunya jalan untuk mengatasi hawa nafsu dan mencegah terjadinya konflik dalam masyarakat adalah taat pada hukum Allah SWT yang digariskan dalam Al-Qur’an. Selain itu setiap individu harus menjaga nama baik, ilmu, dan akalnya.
Pesan etik yang disampaikannya disertai dengan lukisan peristiwa nyata yang terjadi di masanya. Dengan demikian buku tersebut bukan hanya berisikan ajaran akhlak, tetapi juga sejarah yang berkualitas. Karya Raja Ali Haji yang lainnya adalah Gurindam Duabelas (1847), Siti Sianah, Suluh Pegawai, Taman Permata, dan Sinar Gembala Mustika Alam.
Melalui karyanya tampak bahwa Raja Ali Haji lebih dari seorang sejarawan dalam arti sempit. Ia adalah seorang guru dan teolog, yang memiliki komitmen dalam memelihara cita-cita serta nilai keislaman dengan rasa tanggung jawab yang mendalam terhadap masyarakatnya. Untuk melestarikan karyanya, pada awal 1890-an sanak saudara Raja Ali Haji mendirikan satu perkumpulan yang disebut “Rusydiah Club” yang bergerak dalam pembinaan masyarakat Islam dan penerbitan buku serta karangan yang bersifat islami.
Daftar Pustaka
Andaya, B.W. and V. Matheson. “Islamic Thought and Malay Tradition: The Writing of Raja Ali Haji in Riau (ca. 1809–1870)”, Perception of the Past in Southeast Asia. Singapore: Asian Studies Association of Australia, 1979.
Hadijaya, Tardjan, ed. Adat Raja-Raja Melayu. Kuala Lumpur: Pustaka Antara, 1964.
Haji, Raj Ali. Samarat al-Muhimmah. Jakarta: Depdikbud RI, 1984/1985.
–––––––. Tu…fah an-Nafis: Silsilah Melayu dan Bugis. Johor: t.p., 1956.
Hamidy, U.U. “Kitab-Kitab yang Telah Dikarang oleh Sastrawan dan Penulis Riau,” Majalah Ilmu-ilmu Sastra Indonesia 6, i, Agustus 1975.
Mohammad Yusof, Mohammad Nor., ed. Salasilah Melayu dan Bugis. Petaling Jaya: Fajar Bhakti, 1984.
Mohd., Mohd. Daud. Tokoh-tokoh Sastera Melayu Klasik. Kuala Lumpur: Dewan Bahasa dan Pustaka, 1987.
Sham, Abu Hassan. Puisi-puisi Raja Ali Haji. Kuala Lumpur: Dewan Bahasa dan Pustaka, 1993.
MusdaH Mulia