Rahmah El-Yunusiyyah

(Padangpanjang, Sumatera Barat, 29 Desember 1900–26 Februari 1969)

Rahmah adalah tokoh pendidikan dan perjuang­an­ Islam dari Sumatera Barat, pendiri Madrasah­ Diniyah Puteri Padangpanjang yang merupakan­ perguruan wanita Islam pertama di Indonesia, dan pelopor TKR (Tentara Keamanan Rakyat)­ di Sumatera Barat.

Rahmah adalah anak bungsu dari empat bersaudara yang lahir pada 29 Desember 1900 dari pasangan Syekh Muhammad Yunus (dari Pandai Sikat) dan Rafi’ah (dari Sikumbang). Ayahnya adalah seorang kadi di Pandai Sikat yang juga ahli dalam ilmu falak. Kakeknya adalah Syekh Imaduddin,­ ulama terkenal Minangkabau,­ tokoh Tarekat Naqsyabandiyah.

Rahmah hanya sebentar mengenyam pendidik­an­ dari ayahnya karena ayahnya meninggal ketika­ ia masih sangat muda. Ia kemudian dibimbing langsung­ oleh kakak-kakaknya yang ketika itu telah­ dewasa­. Ia belajar membaca dan menulis dari kedua kakak lelakinya, Zainuddin Labay el-Yunusy dan M. Rasyad.

Zainuddin Labay adalah ulama­ pembaru dan tokoh pendidikan di Sumatera Barat yang mendirikan Diniyah School. Rahmah sempat ma­suk Diniyah School hingga kelas tiga. Namun, karena­ tidak puas dengan sekolah yang dianggapnya tidak dapat memecahkan banyak persoalan, termasuk persoalan wanita, ia kemudian­ belajar pada sejumlah guru lain.

Ia belajar agama pada ulama terkenal Minangkabau, seperti Haji Abdul Karim Amrullah (ayah Buya HAMKA), Tuanku Mudo Abdul Hamid Hakim (pemimpin sekolah Thawalib Padangpanjang, pengarang kitab fikih al-Mu‘in al-Mubin), Syekh Muhammad Jamil Jambek, Syekh Abdul Latif Rasjidi, dan Syekh Daud Rasjidi.

Selain ilmu keislam­an, ia juga mempelajari ilmu kesehatan (khususnya­ kebidanan)­ dan kete­rampilan-keterampil­an wanita, seperti memasak, menenun, dan menjahit. Kelak ilmu yang diperolehnya­ ini diajarkannya kepada muridnya di Diniyah Puteri.

Rahmah memiliki cita-cita agar wanita Indo­nesia­ mem­peroleh kesempatan penuh untuk menun­tut­ ilmu yang sesuai dengan kodrat wanita hingga dapat diamalkan dalam kehidupan sehari-hari. Da­lam mendidik, ia bertujuan agar wanita sanggup berdikari untuk menjadi ibu pendidik yang cakap, aktif, dan bertanggung jawab kepada kesejahteraan bangsa dan tanah air, sehingga kehidupan­ agama mendapat tempat yang layak. Cita­-cita dan tujuannya ini dirumuskannya­ dalam tujuan pendirian Diniyah­ Puteri.

Cikal bakal Diniyah Puteri bermula dengan dibentuknya­ Madrasah li Banat (sekolah untuk putri) pada 1 November 1923. Selama 2 tahun pertama cara belajarnya mengguna­kan sistem halaqah­ seperti yang diterapkan di Masjidil­haram, yakni­ para murid duduk di lantai mengelilingi­ guru yang menghadap meja kecil.

Lama-kelamaan sekolah­ ini dapat memiliki gedung sendiri. Berdirinya gedung ini sepenuhnya berasal dari kemauan keras para perintisnya dan simpati masyarakat. Gedung pertama Diniyah Puteri, mi­salnya, dibangun dari batu kali yang diangkut sendiri oleh para guru dan murid Diniyah Puteri dan murid sekolah lain yang ada di Padangpanjang.

Rahmah memiliki prinsip dan sikap yang teguh­. Ketika Belanda menawarkan diri untuk membantu sekolahnya dengan subsidi penuh dengan syarat Diniyah Puteri menjadi­ lembaga yang berada di bawah pengawasan Belanda, ia me­nolak dengan tegas. Rahmah tidak mau sistem pendidikan yang telah terbina dibelokkan oleh Belanda.

Pada waktu itu Belanda memang menaruh­ curiga bahwa di Diniyah­ Puteri diajarkan paham politik yang disebarkan­ oleh Rangkayo Rasuna Said, salah seorang guru di sana. Wataknya­ yang keras hati tidak hanya tampak dalam menghadapi Belanda. Ia juga bersikukuh untuk menolak bantuan kaum pria ketika sekolahnya kekurangan dana untuk memperbaiki gedung akibat­ gempa bumi 1926.

Penolakannya­ itu semata-mata bertujuan untuk membukti­kan bahwa kaum wanita juga memiliki kemampuan­ untuk berbuat sesuatu seperti kaum pria. Pada tahun itu juga ia melakukan perjalanan ke luar Su-matera Barat untuk men­cari dana. Ia me­ngun­jungi Sumatera Utara, Aceh, hingga Semenanjung Malaka. Hasil perjalanan ini adalah gedung Dini­yah Puteri bertingkat dua dengan empat ruangan.

Hal lain yang menonjol dari Rahmah adalah tanggung jawabnya. Ia bukan saja memikirkan ke­majuan pendidikan muridnya, namun juga keselamatan jiwa mereka. Pada masa Jepang ma­suk ke Indonesia (1942), Rahmah me­ng­ ungsikan seluruh muridnya (sekitar seratus orang) untuk menyelamatkan­ mereka dari serbuan tentara Je­pang. Saat itu kota Padangpanjang memang menjadi salah­ satu ajang pertempuran. Selama peng­ungsian itu, semua keperluan muridnya ditanggung­ sendiri oleh Rahmah.

Di samping sebagai pendidik, Rahmah juga seorang­ pejuang. Ia merupakan orang pertama yang mengibarkan bendera merah putih di seko­lahnya setelah mendengar berita proklamasi kemerdeka­an­ Indonesia. Semasa revolusi kemerdekaan,­ ia dipenjarakan­ Belanda dan baru dibebaskan­ 1949 setelah pengakuan kedaulatan.

Hingga 1958 ia aktif di bidang politik. Ia antara lain menjadi anggota KNID (Komite Nasional­ Indonesia Daerah) Sumatera Tengah, ketua Barisan Sabilillah dan Sabil Muslimat di Padang, dan anggota Konstituante­ mewakili Masyumi. Peranannya­ yang paling menonjol adalah kepelo­porannya dalam pembentukan TKR (Tentara Keamanan Rakyat) pada 2 Oktober 1945.

Perhatian Rahmah untuk kaumnya memang tidak­ pernah padam. Rahmah bercita-cita mendirikan­ perguruan tinggi Islam khusus untuk wanita­ dengan sarana yang lengkap. Cita-citanya ini seba­gian sudah terlaksana. Ketika ia wafat (26 Februari 1969), Diniyah­ Puteri­ telah memiliki perguruan tinggi dengan satu fakultas (Fakultas Dirasah Islamiyah). Ia juga bercita-cita untuk mendirikan rumah sakit khusus wanita.

Di bawah kepemimpinan Rahmah, Diniyah Puteri­ ber­kembang pesat. Keberhasilan lembaga ini mendapat perha­ tian dan pujian dari berbagai tokoh­ pendidikan, pemimpin, politikus, dan to­koh agama dalam dan luar negeri. Pada 1957 Rahmah memperoleh gelar Syaikhah dari Senat Guru Besar Universitas al-Azhar, Mesir. Gelar ini belum pernah dianuger-ahkan kepada siapa pun sebelumnya­.

Daftar Pustaka

Daya, Burhanuddin. Gerakan Pembaharuan Pemikiran Islam: Kasus Sumatera Thawalib. Yogyakarta: Tiara Wadana Yogya, 1990.
M.D., Sagiman, et al. Perlawanan dan Pengasingan Perjuangan Pergerakan Nasional. Jakarta: Idayu Press, 1986.
Noer, Deliar. Gerakan Modern Islam di Indonesia 1900–1942. Jakarta: LP3ES, 1982.
Steenbrink, A. Karel. Pesantren Madrasah Sekolah. Jakarta: LP3ES, 1986.
Yunus, Mahmud. Sejarah Pendidikan Islam di Indonesia. Jakarta: Hidakarya Agung, t.t.

ADE ARMANDO