Rabi’ah Al-Adawiyyah

(Basrah, 95 H/713 M–Yerusalem, 185 H/801 M)

Rabi’ah­ al-Adawiyyah adalah seorang zuhud dan pelopor tasawuf yang mengemukakan konsep mahabah. Nama lengkapnya adalah Rabi’ah binti Isma’il al-Adawiyyah al-Qissiyah. Keluarganya miskin, ayahnya meninggal selagi ia masih kanak-kanak, dan masa remajanya penuh keprihatinan.

Fariduddin Attar (513 H/1119 M–627 H/1230 M), penyair mistik Persia, dalam melukiskan keprihatinan­ Rabi’ah menulis bahwa ia dilahirkan di rumah yang tidak memiliki sesuatu yang dapat dimakan dan dapat dijual. Malam gelap gu­lita karena minyak untuk penerangan juga telah habis.

Pada suatu hari menjelang usia remajanya, ketika keluar rumah, ia ditangkap oleh penjahat dan dijual dengan harga 6 dirham. Orang yang membeli Ra­bi’ah menyuruhnya mengerjakan pe­ kerjaan yang berat, memperlakukannya dengan bengis dan kasar­.

Namun demikian ia tabah menghadapi­ penderitaan;­ pada siang hari melayani­ tuannya, dan pada malam hari beribadah kepada Allah SWT, mendambakan rida-Nya. Pada­ suatu malam, tuannya terjaga dari tidur, dan melalui jendela melihat Rabi’ah sedang sujud dan berdoa,

“Ya Allah, Engkau­ tahu bahwa hasrat hatiku adalah­ untuk dapat mematuhi perintah-Mu; jika aku dapat mengubah nasibku ini, niscaya aku tidak akan beristirahat barang­ sebentar pun dari mengabdi­ kepada-Mu.”

Menyaksikan­ peristi­wa itu, ia merasa takut, dan dalam waktu semalaman­ termenung sampai terbit fajar. Pagi-pagi sekali ia memanggil­ Rabi’ah, bersikap lunak padanya, dan membebaskannya.

Setelah menikmati kebebasan, Rabi’ah menjalani­ kehidupan sufistik, beribadah dan berkhalwat (menyepi), lebih memilih kemiskinan daripada­ kegemerlapan­ kehidupan duniawi. Ia hidup menyendiri, tidak menikah, dan enggan menerima­ bantuan materiil dari orang lain.

Dengan sikap dan kesa­lehannya itu, namanya sebagai orang suci dan pengkhotbah makin lama makin harum. Ia dihormati oleh orang-orang zuhud se­masanya dan sering dikunjungi untuk tukar-me­nukar pengalaman mengenai masalah kesufian. Para sufi yang sering berkun­jung­ antara lain Malik­ bin Dinar (w. 171 H/788 M), Sufyan as-Sauri (97 H/715 M–161 H/778 M), dan Syaqiq al-Balkhi (w. 194 H/810 M).

Rabi’ah memperoleh pengalaman kesufian bukan­ me­lalui guru, melainkan­ melalui pengalamannya­ sendiri. Ia tidak meninggalkan­ ajaran tertulis langsung­ dari tangannya sendiri, akan tetapi ajarannya dikenal melalui para murid­nya, dan baru­ dituliskan setelah ia wafat.

Terdapat beberapa keterangan­ mengenai tahun­ kematian Rabi’ah. Ada yang menyebut 135 H/752 M, yang lain menyebut 185 H/801 M. Begitu­ pula mengenai­ tempat penguburannya; ada yang menyatakan­ ia dikubur di dekat Yerusalem, dan yang lain menyatakan di kota kelahirannya­. Rabi’ah dipandang sebagai pelopor tasawuf ma­habah (cinta mistik), yaitu penyerahan diri total­ kepada “Kekasih” (Allah).

Setelah bebas dari perbudakan, Rabi‘ah menjalani kehidupan sufi Hakikat tasawufnya adalah­ Habbulilah (mencintai Tuhan Allah SWT). Ibadah­ yang dilakukannya bukan terdorong oleh rasa takut akan siksa neraka atau rasa penuh harap akan pahala dan surga, melainkan semata-semata terdorong oleh rasa rindu pada Tuhan untuk menye­­lami keindahan-Nya yang azali (wujud­ abadi tanpa awal).

Mahabah sebagai martabat untuk mencapai tingkat makrifat (ilmu yang da­lam untuk mencari dan mencapai kebenaran dan hakikat) diperoleh Rabi’ah setelah melalui martabat kesufi­an, dari tingkat iba-dah dan zuhud (tapa) ke tingkat rida (rahmat) dan ihsan (kebajikan), sehingga cintanya hanya kepada Allah SWT.

Cinta Rabi’ah kepada Allah SWT telah meme­nuhi­ seluruh jiwa dan raganya. Ketika kepadanya­ ditanyakan mengenai cinta kepada Rasulullah SAW, ia menjawab,

“Aku, demi Allah sangat mencintai Rasul, akan tetapi cintaku kepada al-Khaliq (Maha Pencipta) telah memalingkan perhatianku dari sesama makhluk (segala ciptaan).”

Dan ketika kepadanya ditanyakan mengapa menolak­ perkawinan­ sebagai salah satu sunah Rasulullah­ SAW, ia menjawab bahwa dirinya adalah milik Allah SWT yang dicintai-Nya; barangsiapa­ ingin memperistrikannya, hendaklah­ minta izin kepada­ Allah SWT.

Bagi Rabi’ah, dorongan mahabah kepada Allah SWT berasal dari dirinya sendiri dan juga karena hak Allah SWT untuk dipuja dan dicintai. Ma­habah di sini bertujuan untuk melihat keindahan Allah SWT. Puncak pertemuan mahabah antara hamba dan cinta kasih Allah SWT-lah yang menjadi akhir keinginannya. Puisi mahabah­ kepada­ Allah SWT, yang banyak diucapkan sufi-sufi masyhur, sering dinisbahkan ke ­ padanya, misalnya:

“Ya Allah, jika aku menyembah-Mu, karena takut kepada neraka, bakarlah aku di dalam neraka; dan jika aku menyembah-Mu karena mengharapkan surga, campakkanlah aku dari dalam surga; tetapi jika aku menyembah-Mu demi Engkau semata, jangan­lah Engkau enggan­ memperlihatkan keindahan wajah-Mu yang abadi kepadaku.”

Syair Rabi’ah yang masyhur antara lain:

“Uhibbuka hubbaini hubbu al-hawa, wa hubban li annaka ahlun lidzaka/Fa amma al-ladzi huwa hubbu al-hawa fasyugli bi dzikrika ‘amman siwaka/wa amma alladzi anta ahlum lahu fakasyfuka li al-hajba hatta araka/Fa la al-hamdu fi dza wa dzaka li, walakinna laka al-hamdu fi idza wa dzaka/Ya habib al-qalbi ma li siwaka, farham al-yauma mudzniban qad ataka/Ya raja’i wa rahati wa sururi, qad aba al-qalbu an yuh ibba siwaka.

(Aku mencintai-Mu dengan dua cinta; cinta karena diriku, dan cinta karena diri-Mu. Cinta­ karena diriku adalah keadaanku­ yang senantiasa mengingat-Mu. Cinta karena diri-Mu adalah keadaan­-Mu yang meng­ungkapkan tabir, sehingga Engkau kulihat. Baik untuk ini, maupun untuk itu, pujianku bukanlah bagiku; bagi-Mulah pujian untuk semuanya. Buah hatiku, hanya Engkaulah yang kukasihi; beri ampunlah pembuat dosa yang datang ke hadirat-Mu. Engkaulah harapanku, keba­hagiaanku,­ dan kesenanganku;­ hatiku enggan mencintai selain Engkau).”

Daftar pustaka

Amin, Ahmad. Tuhr al-Islam. Cairo: Maktabah Misriyah, 1934.
HAMKA. Tasawuf Perkembangan dan Pemurniannya. Jakarta: Pustaka Panji Mas, 1986.
Mahmud, Abdul Qadir. al-Falsafah fi al-Islam. Cairo: Dar al-Fikr al-’Arabi, 1966.
Schimmel, Annmarie. Mystical Dimension of Islam, terj. t.tp.: Pustaka Firdaus, 1986.

M. Radhi al-Hafid