Rabi’ah al-Adawiyyah adalah seorang zuhud dan pelopor tasawuf yang mengemukakan konsep mahabah. Nama lengkapnya adalah Rabi’ah binti Isma’il al-Adawiyyah al-Qissiyah. Keluarganya miskin, ayahnya meninggal selagi ia masih kanak-kanak, dan masa remajanya penuh keprihatinan.
Fariduddin Attar (513 H/1119 M–627 H/1230 M), penyair mistik Persia, dalam melukiskan keprihatinan Rabi’ah menulis bahwa ia dilahirkan di rumah yang tidak memiliki sesuatu yang dapat dimakan dan dapat dijual. Malam gelap gulita karena minyak untuk penerangan juga telah habis.
Pada suatu hari menjelang usia remajanya, ketika keluar rumah, ia ditangkap oleh penjahat dan dijual dengan harga 6 dirham. Orang yang membeli Rabi’ah menyuruhnya mengerjakan pe kerjaan yang berat, memperlakukannya dengan bengis dan kasar.
Namun demikian ia tabah menghadapi penderitaan; pada siang hari melayani tuannya, dan pada malam hari beribadah kepada Allah SWT, mendambakan rida-Nya. Pada suatu malam, tuannya terjaga dari tidur, dan melalui jendela melihat Rabi’ah sedang sujud dan berdoa,
“Ya Allah, Engkau tahu bahwa hasrat hatiku adalah untuk dapat mematuhi perintah-Mu; jika aku dapat mengubah nasibku ini, niscaya aku tidak akan beristirahat barang sebentar pun dari mengabdi kepada-Mu.”
Menyaksikan peristiwa itu, ia merasa takut, dan dalam waktu semalaman termenung sampai terbit fajar. Pagi-pagi sekali ia memanggil Rabi’ah, bersikap lunak padanya, dan membebaskannya.
Setelah menikmati kebebasan, Rabi’ah menjalani kehidupan sufistik, beribadah dan berkhalwat (menyepi), lebih memilih kemiskinan daripada kegemerlapan kehidupan duniawi. Ia hidup menyendiri, tidak menikah, dan enggan menerima bantuan materiil dari orang lain.
Dengan sikap dan kesalehannya itu, namanya sebagai orang suci dan pengkhotbah makin lama makin harum. Ia dihormati oleh orang-orang zuhud semasanya dan sering dikunjungi untuk tukar-menukar pengalaman mengenai masalah kesufian. Para sufi yang sering berkunjung antara lain Malik bin Dinar (w. 171 H/788 M), Sufyan as-Sauri (97 H/715 M–161 H/778 M), dan Syaqiq al-Balkhi (w. 194 H/810 M).
Rabi’ah memperoleh pengalaman kesufian bukan melalui guru, melainkan melalui pengalamannya sendiri. Ia tidak meninggalkan ajaran tertulis langsung dari tangannya sendiri, akan tetapi ajarannya dikenal melalui para muridnya, dan baru dituliskan setelah ia wafat.
Terdapat beberapa keterangan mengenai tahun kematian Rabi’ah. Ada yang menyebut 135 H/752 M, yang lain menyebut 185 H/801 M. Begitu pula mengenai tempat penguburannya; ada yang menyatakan ia dikubur di dekat Yerusalem, dan yang lain menyatakan di kota kelahirannya. Rabi’ah dipandang sebagai pelopor tasawuf mahabah (cinta mistik), yaitu penyerahan diri total kepada “Kekasih” (Allah).
Setelah bebas dari perbudakan, Rabi‘ah menjalani kehidupan sufi Hakikat tasawufnya adalah Habbulilah (mencintai Tuhan Allah SWT). Ibadah yang dilakukannya bukan terdorong oleh rasa takut akan siksa neraka atau rasa penuh harap akan pahala dan surga, melainkan semata-semata terdorong oleh rasa rindu pada Tuhan untuk menyelami keindahan-Nya yang azali (wujud abadi tanpa awal).
Mahabah sebagai martabat untuk mencapai tingkat makrifat (ilmu yang dalam untuk mencari dan mencapai kebenaran dan hakikat) diperoleh Rabi’ah setelah melalui martabat kesufian, dari tingkat iba-dah dan zuhud (tapa) ke tingkat rida (rahmat) dan ihsan (kebajikan), sehingga cintanya hanya kepada Allah SWT.
Cinta Rabi’ah kepada Allah SWT telah memenuhi seluruh jiwa dan raganya. Ketika kepadanya ditanyakan mengenai cinta kepada Rasulullah SAW, ia menjawab,
“Aku, demi Allah sangat mencintai Rasul, akan tetapi cintaku kepada al-Khaliq (Maha Pencipta) telah memalingkan perhatianku dari sesama makhluk (segala ciptaan).”
Dan ketika kepadanya ditanyakan mengapa menolak perkawinan sebagai salah satu sunah Rasulullah SAW, ia menjawab bahwa dirinya adalah milik Allah SWT yang dicintai-Nya; barangsiapa ingin memperistrikannya, hendaklah minta izin kepada Allah SWT.
Bagi Rabi’ah, dorongan mahabah kepada Allah SWT berasal dari dirinya sendiri dan juga karena hak Allah SWT untuk dipuja dan dicintai. Mahabah di sini bertujuan untuk melihat keindahan Allah SWT. Puncak pertemuan mahabah antara hamba dan cinta kasih Allah SWT-lah yang menjadi akhir keinginannya. Puisi mahabah kepada Allah SWT, yang banyak diucapkan sufi-sufi masyhur, sering dinisbahkan ke padanya, misalnya:
“Ya Allah, jika aku menyembah-Mu, karena takut kepada neraka, bakarlah aku di dalam neraka; dan jika aku menyembah-Mu karena mengharapkan surga, campakkanlah aku dari dalam surga; tetapi jika aku menyembah-Mu demi Engkau semata, janganlah Engkau enggan memperlihatkan keindahan wajah-Mu yang abadi kepadaku.”
Syair Rabi’ah yang masyhur antara lain:
“Uhibbuka hubbaini hubbu al-hawa, wa hubban li annaka ahlun lidzaka/Fa amma al-ladzi huwa hubbu al-hawa fasyugli bi dzikrika ‘amman siwaka/wa amma alladzi anta ahlum lahu fakasyfuka li al-hajba hatta araka/Fa la al-hamdu fi dza wa dzaka li, walakinna laka al-hamdu fi idza wa dzaka/Ya habib al-qalbi ma li siwaka, farham al-yauma mudzniban qad ataka/Ya raja’i wa rahati wa sururi, qad aba al-qalbu an yuh ibba siwaka.
(Aku mencintai-Mu dengan dua cinta; cinta karena diriku, dan cinta karena diri-Mu. Cinta karena diriku adalah keadaanku yang senantiasa mengingat-Mu. Cinta karena diri-Mu adalah keadaan-Mu yang mengungkapkan tabir, sehingga Engkau kulihat. Baik untuk ini, maupun untuk itu, pujianku bukanlah bagiku; bagi-Mulah pujian untuk semuanya. Buah hatiku, hanya Engkaulah yang kukasihi; beri ampunlah pembuat dosa yang datang ke hadirat-Mu. Engkaulah harapanku, kebahagiaanku, dan kesenanganku; hatiku enggan mencintai selain Engkau).”
Daftar pustaka
Amin, Ahmad. Tuhr al-Islam. Cairo: Maktabah Misriyah, 1934.
HAMKA. Tasawuf Perkembangan dan Pemurniannya. Jakarta: Pustaka Panji Mas, 1986.
Mahmud, Abdul Qadir. al-Falsafah fi al-Islam. Cairo: Dar al-Fikr al-’Arabi, 1966.
Schimmel, Annmarie. Mystical Dimension of Islam, terj. t.tp.: Pustaka Firdaus, 1986.
M. Radhi al-Hafid