Muhammad Quraish Shihab merupakan seorang ulama dan cendekiawan muslim Indonesia yang dikenal ahli di bidang tafsir Al-Qur’an. Quraish sebagai seorang pakar Al-Qur’an mampu menerjemahkan dan menyampaikan pesan Al-Qur’an dalam konteks masa kini dan masa modern.
Quraish Shihab adalah putra Prof. KH Abdurrahman Shihab, seorang ulama dan guru besar di bidang tafsir. Abdurrahman Shihab dipandang sebagai salah seorang tokoh pendidik yang memiliki reputasi baik di kalangan masyarakat Sulawesi Selatan.
Kontribusinya di dunia pendidikan terbukti dari usahanya membina dua perguruan tinggi di Makassar (dulu: Ujungpandang), yaitu Universitas Muslim Indonesia (UMI), sebuah perguruan tinggi swasta terbesar di kawasan Indonesia timur, dan IAIN Alauddin di Makassar. Ia juga tercatat sebagai mantan rektor pada kedua perguruan tinggi tersebut: UMI (1959–1965) dan IAIN Alauddin (1972–1977).
Quraish mendapatkan motivasi awal dan benih kecintaan terhadap bidang studi tafsir dari ayahnya yang sering mengajak anaknya duduk bersama. Pada saat seperti inilah sang ayah menyampaikan nasihat yang kebanyakan berupa ayat AlQur’an.
Pendidikan formalnya dimulai dari sekolah dasar di Makassar. Setelah itu ia melanjutkan studi ke sekolah lanjutan tingkat pertama di kota Malang sambil “nyantri” di Pondok Pesantren Darul Hadis al-Falaqiyah di kota yang sama.
Untuk lebih mendalami studi keislamannya, Quraish dikirim oleh ayahnya ke al-Azhar, Cairo, pada 1958 dan diterima di kelas dua tsanawiyah. Kemudian ia melanjutkan studi ke Universitas al-Azhar pada Fakultas Ushuluddin Jurusan Tafsir dan Hadis. Pada 1967 ia meraih gelar Lc (setingkat sarjana S-1).
Dua tahun kemudian (1969) Quraish berhasil meraih gelar M.A. pada jurusan yang sama dengan tesis berjudul al-I‘jaz at-Tasyri‘i li Al-Qur’an al-Karim (Kemukjizatan Al-Qur’an al-Karim dari Segi Hukum).
Pada 1973 ia dipanggil pulang ke Makassar oleh ayahnya yang ketika itu menjabat rektor untuk membantu mengelola pendidikan di IAIN Alauddin. Ia menjadi wakil rektor bidang akademis dan kemahasiswaan sampai 1980. Di samping menduduki jabatan resmi itu, ia juga sering mewakili ayahnya yang uzur dalam menjalankan tugas pokok tertentu.
Berturut-turut setelah itu, Quraish diserahi berbagai jabatan, seperti koordinator Perguruan Tinggi Swasta Wilayah VII Indonesia Bagian Timur, dan pembantu pimpinan Kepolisian Indonesia Timur di bidang pembinaan mental.
Di celah-celah kesibukannya ia merampungkan beberapa tugas penelitian, antara lain penelitian dengan tema “Penerapan Kerukunan Hidup Beragama di Indonesia Timur” (1975) dan “Masalah Wakaf Sulawesi Selatan” (1978).
Untuk mewujudkan cita-citanya mendalami studi tafsir, pada 1980 Quraish kembali menuntut ilmu ke almamaternya, al-Azhar, mengambil spesialisasi dalam studi tafsir Al-Qur’an. Ia hanya memerlukan waktu 2 tahun untuk meraih gelar doktor dalam bidang ini.
Disertasinya yang berjudul Nazm ad-Durar li al-Biqa‘i Tahqiq wa Dirasah (kajian kitab Nazm ad-Durar [Rangkaian Mutiara] karya al-Biqa‘i) berhasil dipertahankannya dengan predikat summa cum laude dan memperoleh penghargaan mumtaz ma‘a martabah asy-syaraf al-ula (sarjana teladan dengan prestasi istimewa).
Setelah pulang ke tanah air, Quraish kembali mengabdi di tempat tugasnya semula, IAIN Alauddin Makassar. Namun, 2 tahun kemudian (1984) ia ditarik ke Jakarta sebagai dosen pada Fakultas Ushuluddin dan Program Pascasarjana IAIN Syarif Hidayatullah.
Karena keahliannya dalam bidang kajian Al-Qur’an, Quraish tidak memerlukan waktu lama untuk dikenal di kalangan masyarakat intelektual Indonesia. Dalam waktu singkat ia segera dilibatkan dalam berbagai forum nasional, antara lain menjadi ketua Majelis Ulama Indonesia (MUI, 1984), anggota Lajnah Pentashih Mushaf Al-Qur’an Departemen Agama (1989), dan anggota Badan Pertimbangan Pendidikan Nasional (1989).
Selain itu ia juga aktif dalam berbagai organisasi, seperti Organisasi Perhimpunan Ilmu-Ilmu Syariat, Konsorsium Ilmu-Ilmu Agama Depdikbud, dan Ikatan Cendekiawan Muslim se-Indonesia (ICMI). Di samping itu ia tetap memberikan ceramah keagamaan dalam berbagai forum dan menghadiri berbagai kegiatan ilmiah, baik di dalam maupun di luar negeri.
Pada 1993 pemerintah mempercayainya untuk mengemban tugas sebagai rektor IAIN Syarif Hidayatullah, Jakarta. Selain itu ia juga menjadi direktur Pendidikan Kader Ulama (PKU), yang merupakan sala satu usaha MUI untuk membina kader ulama di tanah air.
Quraish juga pernah memangku jabatan menteri Agama RI pada Kabinet Pembangunan VII (1997–1998). Ia kemudian diangkat pemerintah RI menjadi duta besar RI untuk Mesir (1999–2003). Selanjutnya ia kembali ke UIN Jakarta sebagai guru besar.
Di bidang intelektual, kontribusinya terbukti dari beberapa karya tulisnya. Karyanya berupa artikel singkat muncul secara rutin pada rubrik “Pelita Hati” dalam surat kabar Pelita, dan pada rubrik “Hikmah” dalam surat kabar Republika.
Adapun yang berupa uraian tafsir muncul pada rubrik “Tafsir al-Amanah” dalam majalah Amanah, yang kemudian dikompilasikan dan diterbitkan menjadi buku dengan judul Tafsir al-Amanah Jilid I.
Sejumlah makalah dan ceramah tertulisnya sejak 1975 dikumpulkan dan diterbitkan dalam bentuk dua buah buku dengan judul “Membumikan” Al-Qur’an (Mizan, 1992) dan Lentera Hati (Mizan, 1994).
Karya lainnya ialah Tafsir al-Manar, Keistimewaan dan Kelemahannya (Makassar: IAIN Alauddin, 1984); Filsafat Hukum Islam (Jakarta: Departemen Agama, 1987); Mahkota Tuntunan Ilahi (Tafsir al-Fatihah [Jakarta: Untagma, 1988]); Wawasan Al-Qur’an (1996); Mengungkap Lentera Hati (Asma al-Husna dalam Perspektif Al-Qur’an [1998]); Mukjizat Al-Qur’an Ditinjau dari Aspek Kebahasaan, Isyarat Ilmiah, dan Pemberitaan Gaib (1998); dan Tafsir al-Misbah yang terdiri dari 15 jilid diterbitkan Lentera Hati.
Quraish memang bukan satu-satunya pakar Al-Qur’an di Indonesia, tetapi kemampuannya menerjemahkan dan menyampaikan pesan Al-Qur’an dalam konteks masa kini dan masa modern membuatnya lebih dikenal dan lebih unggul daripada pakar Al-Qur’an lainnya.
Dalam hal penafsiran, ia cenderung menekankan pentingnya penggunaan metode tafsir maudhu‘i (tematik), yaitu penafsiran dengan cara menghimpun sejumlah ayat Al-Qur’an yang tersebar dalam berbagai surah yang membahas masalah sama, kemudian menjelaskan pengertian menyeluruh dari ayat tersebut, dan selanjutnya menarik kesimpulan sebagai jawaban terhadap masalah yang menjadi pokok bahasan.
Menurutnya, dengan metode ini pendapat Al-Qur’an tentang berbagai masalah kehidupan dapat diungkapkan sekaligus dapat dijadikan bukti bahwa ayat Al-Qur’an sejalan dengan perkembangan iptek dan kemajuan peradaban masyarakat.
Quraish banyak menekankan perlunya memahami wahyu Ilahi secara kontekstual dan tidak semata-mata terpaku pada makna tekstualnya agar pesan yang terkandung di dalamnya dapat difungsikan dalam kehidupan nyata.
Ia juga banyak memotivasi mahasiswanya, khususnya di tingkat pascasarjana, agar berani menafsirkan Al-Qur’an, tetapi dengan tetap berpegang ketat pada kaidah tafsir yang sudah dipandang baku. Menurutnya, penafsiran terhadap Al-Qur’an tidak akan pernah berakhir.
Dari masa ke masa selalu saja muncul penafsiran baru sejalan dengan perkembangan ilmu dan tuntutan kemajuan. Meskipun demikian, ia tetap mengingatkan perlunya sikap teliti dan hati-hati dalam menafsirkan Al-Qur’an sehingga seseorang tidak mudah mengklaim suatu pendapat sebagai pendapat Al-Qur’an.
Bahkan menurutnya, adalah satu dosa besar jika seseorang memaksakan pendapatnya atas nama Al-Qur’an.
Daftar Pustaka
Shihab, M. Quraish. Lentera Hati. Bandung: Mizan, 1994.
–––––––. “Membumikan” Al-Qur’an: Fungsi dan Peran Wahyu dalam Kehidupan Masyarakat. Bandung: Mizan, 1992.
–––––––. Tafsir al-Amanah. Jakarta: Pustaka Kartini, 1992.
Musdah Mulia