Secara harfiah, qiyam al-lail berarti “bangun di malam hari”. Dalam ilmu fikih, qiyam al-lail ini berarti “bangun di tengah malam untuk bermunajat dan beribadah kepada Allah SWT”.
Selama ini, banyak umat Islam menyederhanakan makna qiyamul lail hanya dengan mengerjakan salat tahajud, padahal maknanya lebih dari itu. Banyak ibadah yang bisa dikerjakan di malam hari, seperti salat tahajud, salat hajat, salat istikharah, membaca Al-Qur’an, muhasabah (mengevaluasi diri), dan wirid.
Setelah mengerjakan salat sunah, biasanya seseorang bermunajat kepada Allah SWT, yang didahului dengan memohon ampunan. Seusai salat sunah, seseorang juga disunahkan melakukan muhasabah, yakni mengevaluasi diri secara menyeluruh tentang segala hal, terutama apa yang telah dilakukannya.
Suasana malam sunyi diyakini dapat membantu orang yang melakukan muhasabah untuk menjernihkan akal budi dan batinnya.
Qiyamul lail dilakukan pada malam hari yang telah ditentukan. Menurut sebagian ulama, waktu malam hari dapat dibagi menjadi tiga bagian:
(1) sepertiga pertama, sekitar pukul 19.00–22.00, adalah waktu utama untuk melakukan ibadah ini;
(2) sepertiga kedua, sekitar pukul 22.00–01.00, adalah waktu yang lebih utama; dan
(3) sepertiga terakhir, yakni antara pukul 01.00–waktu subuh, adalah saat paling utama untuk beribadah dan bermunajat kepada Allah SWT.
Dari pembagian waktu seperti ini, jelaslah bahwa waktu yang paling utama untuk melaksanakan qiyamul lail adalah pada malam sepertiga terakhir. Hal ini diperkuat dengan sebuah hadis yang menceritakan bahwa Abu Muslim berkata kepada Abu Zarr al Giffari (sahabat Nabi SAW), “Pada saat manakah salat malam itu yang lebih utama?” Abu Zarr menjawab, “Saya pernah bertanya demikian kepada Rasulullah SAW, dan beliau bersabda, ‘Pada tengah malam yang terakhir, tetapi sedikit sekali orang yang suka mengerjakannya’” (HR. Ahmad).
Dalam ajaran Islam, ibadah di tengah malam sangat dianjurkan. Melakukan ibadah yang diselingi dengan muhasabah dan munajat kepada Allah SWT di tengah malam, ketika orang sedang tidur dengan nyenyak, mempunyai makna kedekatan tersendiri dengan Allah SWT. Waktu malam hari adalah waktu yang mustajab, karena Allah SWT akan mengabulkan segala doa yang dipanjatkan hamba-Nya pada waktu seperti itu. Hal ini dikuatkan oleh beberapa hadis berikut ini:
“Perintah Allah turun ke langit dunia di waktu sepertiga akhir dari waktu malam, lalu berseru: ‘Adakah orang yang memohon (berdoa), pasti akan Kukabulkan, adakah orang yang meminta, pasti akan Kuberi, dan adakah orang yang mengharap/memohon ampunan, pasti akan Kuampuni baginya, sampai tiba waktu subuh” (HR. Bukhari dan Muslim).
Di samping hadis ini, ada juga hadis lain, “Kerjakanlah salat malam, karena hal itu merupakan kebiasaan orang-orang saleh sebelummu, juga suatu jalan untuk mendekatkan diri kepada Tuhan, pula sebagai penebus kejahatan-kejahatan (dosa), pencegah dosa serta dapat menghindarkan diri dari penyakit” (HR. at-Tirmizi dan Ahmad).
Hadis lain juga menyatakan, “Bahwasanya di waktu malam ada suatu saat yang apabila kebetulan ada seorang muslim yang memohon kepada Allah SWT akan kebajikan dunia dan akhiratnya, pasti Allah SWT akan mengabulkan kepadanya” (HR. Bukhari).
Selain hadis ini, melaksanakan ibadah di tengah malam juga dianjurkan dalam beberapa ayat Al-Qur’an, antara lain firman Allah SWT, “Dan pada sebagian malam hari bersembahyang tahajudlah kamu sebagai suatu ibadah tambahan bagimu: mudah-mudahan Tuhanmu mengangkat kamu ke tempat yang terpuji” (QS.17:79).
Firman Allah SWT dalam ayat lainnya, “Sesungguhnya Tuhanmu mengetahui bahwa kamu berdiri (sembahyang) kurang dari dua pertiga malam, atau seperdua malam atau sepertiganya dan (demikian pula) segolongan dari orang-orang yang bersama kamu. Dan Allah menetapkan ukuran malam dan siang.
Allah mengetahui bahwa kamu sekali-kali tidak dapat menentukan batas-batas waktu itu, maka Dia memberi keringanan kepadamu, karena itu bacalah apa yang mudah (bagimu) dari Al-Qur’an” (QS.73:20).
Di samping itu ada juga firman-Nya, “Sesungguhnya bangun di waktu malam adalah lebih tepat (untuk khusyuk) dan bacaan di waktu malam lebih berkesan” (QS.73:6).
Ada pula ayat yang menyatakan, “Dan hamba-hamba Tuhan Yang Maha Penyayang itu (ialah) orang yang berjalan di atas bumi dengan rendah hati dan apabila orang-orang jahil menyapa mereka, mereka mengucapkan kata-kata yang baik, dan orang yang melalui malam hari dengan bersujud dan berdiri untuk Tuhan mereka” (QS.25:63–64).
Di samping hadis dan beberapa ayat Al-Qur’an di atas, masih banyak lagi dasar normatif yang menganjurkan qiyamul lail. Salah satu nilai keutamaan melakukan qiyamul lail adalah kedekatan diri dengan Allah SWT. Hal ini diucapkan oleh Nabi SAW,
“Sedekat-dekat hamba kepada Allah SWT ialah pada tengah malam terakhir. Maka, jika engkau termasuk golongan yang zikir kepada Allah SWT pada saat itu, maka usahakanlah” (HR. al-Hakim).
Dengan mendekatkan diri kepada Allah SWT, terutama di malam hari ketika orang-orang sedang tertidur nyenyak, segala permintaan akan dikabulkan Allah SWT. Lebih dari itu, dalam sebuah hadis dinyatakan bahwa menjalankan salat dua rakaat di malam hari lebih baik dari dunia dan seisinya.
Hadis tersebut menggambarkan kemuliaan dan keutamaan menjalankan salat malam yang merupakan bagian dari ibadah qiyamul lail. Hadis lain yang diriwayatkan Abu Zarr menyatakan bahwa menjalankan salat malam akan menerangi gelapnya alam kubur.
Sebagai suri teladan bagi umatnya, Nabi Muhammad SAW tidak hanya memberikan perintah atau menganjurkan umatnya melakukan qiyamul lail, tetapi juga memberikan contoh. Banyak kisah yang menceritakan kehidupan Rasulullah SAW, terutama bagaimana ia beribadah di malam hari.
Penggalan akhir surah al-Muzammil (73) ayat 20 di atas menggambarkan dengan jelas kehidupan Rasulullah SAW di malam hari. Dalam sebuah hadis diceritakan bahwa Rasulullah SAW terbiasa bangun di malam hari, dan kemudian melaksanakan salat hingga telapak kakinya melepuh dan berdarah.
Melihat Nabi Muhammad SAW salat malam sampai seperti itu, para sahabat heran, mengapa ia melakukan hal tersebut, padahal Nabi Muhammad SAW telah diberi jaminan bahwa segala dosanya telah diampuni Allah SWT. Atas pertanyaan tersebut, Rasulullah SAW malah menjawab, “Bukankah aku harus menjadi hamba yang penuh syukur”? (HR. Bukhari dan Muslim).
Dari bukti ayat Al-Qur’an dan hadis di atas, jelas tergambar bahwa Nabi Muhammad SAW tidak hanya menganjurkan qiyamul lail tetapi juga menjalankannya. Bahkan dalam sebuah hadis dikatakan bahwa kalau saja tidak khawatir bahwa salat malam tersebut akan memberatkan umatnya, niscaya ia akan mewajibkannya.
Di samping Nabi Muhammad SAW, para sahabat Nabi SAW juga banyak menjalankan qiyamul lail, antara lain Umar bin Khattab, Ibnu Mas‘ud, dan Sufyan as-Sauri. Diceritakan bahwa Umar bin Khattab terbiasa berjalan sambil membaca ayat Al-Qur’an dalam wiridnya, sampai dia pernah pingsan dan terjatuh.
Sementara itu, Ibnu Mas‘ud diriwayatkan terbiasa bangun di malam hari, kemudian terdengar suaranya seperti lebah berdengung (karena membaca Al-Qur’an dan wirid) sampai tiba waktu salat subuh.
Diceritakan bahwa Sufyan as-Sauri terbiasa dengan salat malam. Banyak di antara para sahabat Nabi SAW melihat bahwa tempat tidur dianggap sebagai hambatan dalam menjalankan qiyamul lail.
Di samping Nabi Muhammad SAW dan para sahabat, qiyamul lail juga dipraktekkan para pemuka agama Islam. Para sufi misalnya, banyak mempraktekkan qiyamul lail. Dengan menjalankan qiyamul lail, mereka berharap dapat mengasah spiritualitas, sehingga memudahkan mereka menerima cahaya kebenaran Ilahi.
Daftar Pustaka
Baqi, Muhammad Fuad Abdul. al-Lu’lu’ wa al-Marjan, t.p., t.t.
al-Ghazali, Abu Hamid. Menangkap Kedalaman Rohaniah Peribadatan Islam. Jakarta: Rajawali, 1995.
Ibnu Rusyd. Bidayah al-Mujtahid wa Nihayah al-Muqtasid. Cairo: Syarikah Maktabah wa Matba‘ah Mustafa al-Babi al-Halabi wa Auladuh, 1401 H/1981 M.
Rifai’i, Moh. Fiqh Islam Lengkap. Semarang: Toha Putra, t.t.
Sabiq, Sayid. Fiqh as-Sunnah. Beirut: Dar al-Fikr, 1986.
Din Wahid