Tak bisa disangkal, Qasim Amin adalah pemikir yang tidak hanya mempunyai perhatian besar pada wacana emansipasi perempuan tetapi juga mengkhususkan diri padanya. Ia menghasilkan karya penting mengenai persoalan kaum perempuan. Qasim Amin pernah menjadi hakim agung di Mesir.
Ayahnya, Beyk Amin, keturunan Turki, dan ibunya keturunan Mesir. Qasim Amin memperoleh pendidikan dasar pada Madrasah Raksu at-Tin di Iskandariyah. Ketika ayah dan ibunya pindah ke dekat Cairo, ia melanjutkan pelajarannya di Madrasah at-Tajhiziyyah, dan setelah itu ke Madrasah al-Huquq (Sekolah Tinggi Hukum).
Setamat Madrasah al-Huquq, sesuai dengan disiplin ilmu yang ditekuninya pada program sarjana itu, ayahnya mengirimnya ke kantor Advokat Mustafa Fahmi untuk bekerja.
Namun, tidak lama setelah itu ia dikirim ke Paris untuk menekuni studi hukum. Di Paris, Qasim Amin tidak hanya berkutat pada studi hukum, tetapi juga rajin membaca karya ilmiah dan gagasan yang berhubungan dengan masalah etika, sosiologi, ilmu jiwa, dan disiplin ilmu lain.
Sekembali dari Paris, ia bekerja di Niyabah ‘Ammah (Perwakilan Rakyat) dan di badan peradilan. Pada 1892 ia diangkat menjadi hakim agung di Mahkamah al-Isti’naf, di samping menjadi hakim di beberapa kota di Mesir.
Sebagai seorang pemikir dan pembaru, Qasim Amin selalu aktif dalam organisasi sosial dan menyampaikan gagasan pembaruan. Menurutnya, banyak hal yang menyebabkan umat Islam tertinggal dibandingkan dengan orang Barat, antara lain karena kaum perempuannya kurang terdidik.
Sebenarnya, Qasim Amin bukanlah pemikir dan pembaru pertama yang melontarkan gagasan tentang pentingnya memperhatikan peran perempuan dalam kehidupan sosial dan politik.
Sebelum Qasim Amin, di antara jajaran pemikir Islam di Mesir yang telah memunculkan ide emansipasi perempuan adalah at-Tahtawi (1801–1873). Namun, Qasim Amin adalah seorang pemikir yang tidak hanya mempunyai perhatian besar pada wacana emansipasi perempuan tetapi juga mengkhususkan diri padanya.
Di antara karya terpenting Qasim Amin yang membicarakan persoalan kaum perempuan itu adalah Tahrir al-Mar’ah (Emansipasi Perempuan) dan al-Mar’ah al-Jadidah (Perempuan Modern).
Sesuai dengan judul bukunya, dalam Tahrir al-Mar’ah, Qasim Amin menuliskan gagasan tentang kebebasan dan pengembangan daya perempuan untuk mencapai kemajuan. Sebagai seorang cendekiawan yang pernah hidup di Paris untuk beberapa lama, Qasim Amin menyaksikan betapa maju dan modernnya peradaban Barat.
Perempuan di Barat juga mengalami kemajuan, harkat dan martabat mereka setara dengan kaum pria. Mereka mendapat pendidikan yang sama dengan pria. Pada saat yang sama, Qasim Amin melihat dan sangat menyadari betapa rendahnya peradaban Mesir, khususnya penghargaan untuk perempuan, apabila dibandingkan dengan peradaban Barat.
Ia berkesimpulan bahwa hal itu terjadi terutama karena rendahnya kedudukan perempuan di Mesir. Mereka dipingit dan tidak memiliki kesempatan untuk belajar. Segala kebutuhan mereka disediakan oleh suami atau muhrim mereka.
Karena itu pula, peluang perempuan untuk berpartisipasi dalam pembangunan bangsa sangat kecil. Ia berpendapat bahwa Mesir akan tetap tertinggal dan tidak akan dapat mengejar ketertinggalannya dari dunia Barat, kalau perempuannya (separuh dari total penduduk) ditempatkan menurut perspektif tradisi yang berlaku.
Adat dan tradisi yang mengekang kaum perempuan itu, menurutnya, bukanlah ajaran Islam, tetapi adat istiadat yang berasal dari luar Islam. Menurutnya, ajaran Islam pada dasarnya menempatkan perempuan pada posisi yang tinggi, sederajat dengan kaum pria.
Oleh karena itu, menurutnya, kalau Mesir ingin maju, maka tradisi dan adat istiadat itu harus diubah, disesuaikan dengan ajaran Islam murni, yang menempatkan kaum perempuan pada kedudukan tinggi dan mengakui kemerdekaan serta kebebasan mereka.
Ada beberapa hal yang menjadi fokus pembahasan Qasim Amin tentang peran dan emansipasi perempuan. Hal-hal tersebut antara lain yang terpenting adalah: (1) pendidikan, (2) hijab, dan (3) perkawinan.
Dalam masalah pendidikan, Qasim Amin berpendapat bahwa perempuan perlu mendapat pendidikan yang baik, sesuai dengan tugas yang diembannya dalam rumahtangga dan di tengah masyarakat.
Sebagai ibu rumahtangga, perempuan bertugas mendidik putra-putra bangsa. Tugas ini saja membutuhkan ilmu yang memadai agar dapat menghasilkan anak berkualitas. Partisipasi perempuan modern dituntut dalam peran yang lebih luas, seperti pembangunan bangsa.
Berkenaan dengan hijab, pakaian yang menutup seluruh tubuh perempuan, termasuk wajah dan kedua belah telapak tangan, menurutnya, bukanlah berasal dari syariat Islam. Busana perempuan seperti itu menghalangi perempuan melakukan aktivitasnya. Amin berseru kepada kaum perempuan agar menutup auratnya sesuai dengan syariat Islam.
Dalam masalah perkawinan, Qasim Amin berpendapat bahwa dalam kenyataannya, termasuk dalam pandangan para ahli fikih, terdapat pandangan yang merendahkan derajat perempuan yang dianggap sebagai objek.
Menurutnya, pandangan seperti itu tidak sesuai dengan ajaran Al-Qur’an surah ar-Rum (30) ayat 21, yang menyatakan bahwa perkawinan itu adalah ikatan kasih sayang, masing-masing bertindak sebagai subjek. Oleh karena itu, perempuan seharusnya berhak memilih jodoh dan minta cerai.
Atas dasar itu, ia menyatakan bahwa di dalam poligami terdapat unsur penghinaan terhadap perempuan. Islam pada dasarnya menganjurkan monogami, dan poligami hanya diperkenankan dalam keadaan tertentu. Dengan demikian, perempuan diharapkan tidak lagi menjadi korban lelaki.
Pada zamannya, pemikiran liberal Qasim Amin tidak dapat diterima sebagian besar umat, termasuk para ulama. Oleh karena itu, idenya mendapat kritik dan protes dari berbagai kalangan karena dianggap berbahaya, merusak sendi agama Islam, dan menimbulkan dekadensi moral.
Buku keduanya, al-Mar’ah al-Jadidah (Perempuan Modern), merupakan jawaban Qasim Amin terhadap kritik yang dilontarkan banyak pihak terhadap buku pertama. Sebelum sempat menyaksikan hasil perjuangannya, Qasim Amin meninggal dalam usia 45 tahun.
Walaupun gagasannya tentang emansipasi perempuan belum dapat diterima pada zamannya, buku tersebut berpengaruh besar dalam rangka kemajuan bangsa Mesir khususnya, dan dunia Islam pada umumnya.
Mesir adalah negara pertama di dunia Arab yang perempuannya menyingkirkan kerudung (1920-an) dan masuk perguruan tinggi (1930-an). Sejak itu kerudung dihapuskan, karena dipandang sebagai penghambat partisipasi dunia profesi dan pekerjaan.
Karya Qasim Amin, Tahrir al-Mar’ah, telah membuat persoalan emansipasi perempuan sangat berpengaruh dan menjadi pembicaraan umum di Mesir khususnya dan dunia Arab umumnya di awal abad ke-20.
Setelah Revolusi Mesir 1952 dan pada masa pemerintahan Nasser (1953–1967), banyak perempuan (terutama di kota) yang berperan dalam masyarakat modern itu menanggalkan pakaian tradisional; apalagi kalangan generasi muda di kampus dan di sektor bisnis serta profesi.
John Alden Williams dalam tulisannya, menggambarkan perempuan sebagai berikut: “Keuntungan sosial yang diperoleh perempuan Mesir sangat mengagumkan. Perempuan Amerika mungkin dalam beberapa hal akan merasa iri kepada mereka. Perempuan Mesir tidak hanya menjadi dokter dan dosen, tetapi juga insinyur, arsitek, manajer perusahaan, dekan fakultas, dan menteri kabinet.
Mereka mendapatkan gaji yang sama dengan laki-laki, mendapatkan ganti rugi kalau mereka didiskriminasikan dalam pekerjaan dari kolega laki-lakinya dan banyak dari mereka yang tetap memakai nama kecilnya atas dasar kemampuan mereka dengan kompetisi yang sama dengan laki-laki.”