Qaramitah

(Ar.: al-Qaramithah)

Qaramitah adalah sebuah gerakan perbaikan sosial dan penegakan keadilan atas dasar persamaan. Gerakan ini tersebar di dunia Islam antara abad ke-9 dan ke-12. Pusat gerakan ini ada di Bahrein, Iran, Suriah, dan Yaman. Secara etimologis, Qaramitah diambil dari nama Hamdan bin Qarmat, pemimpin pemberontakan di Irak.

Gerakan Qaramitah berakar pada ide mesianis Syiah radikal, dan diduga awal pergerakannya diilhami propaganda Syiah Ismailiyah (paham Syiah yang hanya mempercayai 7 imam), yang disebarkan ke tengah-tengah orang Badawi Suriah dan gurun-gurun Arab.

Sekitar pertengahan abad ke-9 para propagandis telah tersebar di berbagai propinsi dunia Islam untuk menyebarkan doktrin-doktrin revolusioner mereka. Dalam waktu singkat dakwah Ismailiyah telah berdiri kokoh di Irak selatan di bawah pimpinan Hamdan bin Qarmat dan Abdan; segera setelah itu tegak pula di Bahrein di bawah pimpinan Abu Sa’id Hasan bin Bahram al-Jannabi (w. 301 H/913 M), kemudian di Yaman di bawah pimpinan Mansur al-Yamani dan Ali bin al-Fadl.

Seorang propagandis terkenal, Abu Abdullah asy-Syi‘i, meninggalkan Yaman menuju Afrika utara, kemudian berhasil membawa Bani Fatimiyah untuk menduduki singgasana kekhalifahan. Sementara itu, propaganda Ismailiyah berdiri pula di Persia barat laut dengan berpusat di Rayy (Teheran).

Salah satu propinsi utama bagi propaganda Ismailiyah adalah Irak selatan. Para propagandis di sini disebut Qaramitah karena mereka dipimpin Hamdan bin al-Asy‘as yang dijuluki Qarmath. Ia mulai terlibat dalam propaganda ini sejak awal pergerakannya dibawa oleh seorang propagandis ke daerah pinggiran (sawad) Kufah, tempat kelahiran Qarmat.

Pada 890 M (277 H) dia menemukan Darul Hijrah (tempat yang aman sebagai markas). Para pengikutnya memberikan sumbangan sukarela untuk perbendaharaan umum. Ia dibantu oleh iparnya, Abdan, yang bertindak sebagai komandan kedua dalam pergerakan.

Ketika pergerakan telah menapak di Irak dan terdengar buruk di kalangan penduduk dan para penguasa Abbasiyah di Baghdad, pergerakan itu mulai dikenal dengan nama Qaramitah. Kemudian nama ini digunakan dalam arti luas terhadap para pengikut pergerakan di bagian­bagian lain dunia Islam.

Kepemimpinan Qarmat dan Abdan rupanya tergantung pada sejumlah pemimpin yang identitasnya tetap dirahasiakan dan tinggal di luar sawad. Ketika kepemimpinan Qaramitah dipegang oleh Abdan, mereka memecatnya dan menggantinya dengan Zikrawayh ad-Dindani.

Pada 900 M (288 H), Zikrawayh memberi isyarat di Suriah di tengah-tengah Bani Ulays bagi kebangkitan Qaramitah secara umum. Akan tetapi, pergerakan Qaramitah di Mesopotamia Bawah mengakibatkan pertumpahan darah dan Zikrawayh sendiri wafat 906 M (294 H).

Pergerakan di Ahsa, Bahrein, berada di bawah pimpinan Abu Sa’id Hasan bin Bahram al-Jannabi. Daerah ini, yang terisolasi dan sukar dimasuki, subur untuk gerakan-gerakan revolusioner.

Penduduknya merupakan campuran dan banyak di antaranya merupakan sisa-sisa pemberontak Zanj yang masih bertahan. Dengan memanfaatkan kekecewaan sosial lokal dan kekacauan yang ditinggalkan oleh pemberontak Zanj, Qaramitah membangun sebuah negara yang kokoh dan makmur.

Kekuasaan ini dibangun oleh Abu Sa’id, yang semula merupakan propagandis atau wakil Hamdan bin Qarmat. Selama lebih dari satu abad kemudian Qaramitah Bahrein tetap dikenal sebagai Abu Sa‘idiyyin (Pengikut Abu Sa’id).

Dalam beberapa hal organisasi kekuasaannya bersifat komunistis; pajak-pajak dikumpulkan dan dibagi-bagikan di antara para anggota komunitas sesuai dengan kebutuhan mereka masing-masing, meskipun penghasilan mereka bertumpu pada para budak hitam.

Dinasti Abu Sa’id bertindak sebagai pemimpin di dalam perang dan diplomasi, sedangkan urusan komunitas diatur oleh sebuah badan yang disebut Badan Kaum Tua (‘Iqdaniyyah). Selama berdirinya, kekuasaan dipegang oleh Abu Sa’id Hasan bin Bahram al-Jannabi (894–913), Abu al-Qasim Sa’id (913–923), Abu Tahir Sulaiman (923–944), Abu Mansur Ahmad (944–972), dan Abu Ya’kub Yusuf (972–977).

Di bawah pimpinan mereka, Qaramitah menjarah Kufah dari Bahrein, mengganggu­ jemaah haji, menduduki Oman, dan pada 929 menjarah Mekah serta mengambil Hajar Aswad dari Ka’bah lalu membawanya ke Ahsa karena takhayul mereka, dan baru mengembalikannya 20 tahun kemudian atas permintaan seorang khalifah Fatimiyah, al-Mansur (946–953).

Negara Qaramitah yang mempunyai corak republik mulai menurun pada akhir abad ke-11, tetapi tampaknya masih bisa bertahan sampai 2 atau 3 abad kemudian, sehingga doktrin-doktrin Qaramitah masih tetap berpengaruh di Bahrein sampai sekarang.

Di Yaman, propaganda Qaramitah dilancarkan sejak 879 oleh Mansur al-Yamani yang nama aslinya adalah Ibnu Hawsyab. Ia menemukan Darul Hijrah dekat Adnala’a (Yaman Selatan), tetapi gagal dalam perlawanan terhadap para pemimpin Zaidiyah (salah satu sekte Syiah, yang agak condong ke aliran Suni) dan hanya memperoleh sedikit kekuasaan.

Di Persia barat laut, propaganda dipusatkan di Rayy dan dilancarkan terhadap para penduduk pedesaan, bahkan dengan berusaha untuk menarik para penguasanya. Propaganda yang dimulai tahun 873 ini kemudian menyebar ke Merv (kini di Turkmenistan) dan akhirnya berhasil menarik salah seorang amir Samani ke dalam kelompok mereka.

Di Suriah pergerakan Qaramitah berpusat di Salamiya, tetapi sejak pemberontakan tahun 901 tidak memperlihatkan aktivitas, dan tidak pula mengadakan kontak dengan kelompok Druze yang merupakan cabang lain dari Syiah Ismailiyah.

Dalam pada itu, Sa’id bin Husain, cucu Abdullah bin Maymun, meninggalkan Salamiya dan menyeberang ke Afrika utara membawa sebuah gerakan Mahdiyah dengan nama samaran Ubaidillah. Dia memaklumkan dirinya sebagai cucu Imam Muhammad bin Isma‘il dan dengan demikian mempunyai garis keturunan langsung dari Ali bin Abi Thalib dan Fatimah.

Gerakan Mahdiyah ini mendapat tantangan dari Qaramitah Bahrein, meskipun akhirnya berhasil mendirikan sebuah dinasti Fatimiyah. Mereka tidak mengakui keimaman Ubaidullah al-Mahdi, dan dengan demikian tidak mengakui keimaman para khalifah Fatimiyah.

Sebagaimana pergerakan Ismailiyah di bawah pimpinan Abdullah bin Maymun (pendiri kedua paham Syiah Ismailiyah) yang cenderung kepada filsafat yang diilhami Aristoteles dan Neo-Platonis, golongan Qaramitah telah berperan di dalam pengembangan pemikiran Islam. Pengaruh para penulis Qaramitah, terutama Surat Ikhwanus Safa (Rasa’il Ikhwan as-safa), diduga membekas pada para pemikir muslim Suni atau Imamiyah ortodoks.

Sebagaimana terlihat, sebagian besar risalah tersebut memuat logika, ilmu alam, metafisika, psikologi dan teologi. Dalam bidang filsafat, mereka memberi ilham pada teori imamisme idealistis al-Farabi dan Ibnu Sina. Cerita amsal (parabel) hayy ibn Yaqzan (buku filsafat dan teologi karya Ibnu Tufail) juga diduga berasal dari mereka.

Pemikiran mereka juga telah menyelusup ke dalam teologi dogmatis, seperti tanasukh (inkarnasi) Ibnu Ha’it (teolog Muktazilah) dan Ibnu Yanusy (tokoh ilmu kalam), serta Nur Muhammad. Kemudian dalam bidang tasawuf, pengaruh mereka masih jelas pada Sahl at-Tustari (w. 282 H/896 M) sampai pada as-Suhrawardi (pendiri Tarekat Suhrawardiyah; 544 H/1150 M–587 H/1191 M) dengan konsep nur qahirnya.

Bahkan para sufi yang mengkritik kaum Qaramitah seperti al-Hallaj (tokoh sufi yang melahirkan paham al-hulul, ‘bersatunya manusia dengan Tuhan’; 858–922 M), at-Tawhidi (tokoh aliran Muktazilah; w. 1023 M), dan al-Ghazali, menggunakan peristilahan mereka.

DAFTAR PUSTAKA

Bosworth, C.E. The Islamic Dynasties. Edinburgh: Edinburgh University Press, 1967.
Gibb, Hamilton A.R. and Kramers, J.H. Shorter Encyclopaedia of Islam. New York: Cornell University Press, 1953.
Hourani, Albert. Arabic Thought in the Liberal Age, 1798–1939. London, Oxford, New York: Oxford University Press, 1962.
Lewis, Bernard. The Arabs in History, terjemahan dalam Bahasa Indonesia. Jakarta: Pedoman Ilmu Jaya, 1988.
Nicholson, Reynold A. A Literary History of the Arabs. Cambridge: Cambridge University Press, 1979.
O’Leary, De Lacy. Arabic Thougth and Its Place in History. London: Routledge & Kegan Paul LTD, 1954.
Stern, S.M. Studies in Early Isma’ilism. Jerusalem: The Magnes, 1983.
Syalabi, Ahmad. Mausu’ah at-Tarikh al-Islami wa al-hadarah al-Islamiyyah. Cairo: an-Nahdah al-Misriyah, 1977.

Hery Noer Aly