Qadzf

Menuduh orang lain berbuat zina tanpa saksi yang diakui syariat disebut qadzf. Qadzf merupakan suatu tindak pidana yang merugikan kehormatan orang lain. Dalam hukum pidana Islam, qadzf termasuk ke dalam tindak pidana hudud.

Sifat tindak pidana hudud atas qadzf ini tak dapat digugurkan oleh korban. Di samping itu, bentuk, jenis, dan ukuran hukumannya pun tidak dapat diubah-ubah, karena telah ditentukan oleh syari‘ (syariat) dan merupakan hak Allah SWT.

Apabila tindak pidana ini telah terbukti sesuai dengan tuntutan syarak (hukum Islam), kewajiban hakim hanyalah melaksanakan hukuman yang telah ditentukan.

Qadzf termasuk ke dalam bentuk tindak pidana hudud, sekalipun terjadi perbedaan pendapat di kalangan ulama tentang apakah qadzf merupakan hak Allah SWT semata-mata atau di dalamnya tergabung hak Allah SWT dan hak pribadi seseorang.

Agaknya pendapat yang terakhir ini lebih dapat dipahami karena sulit sekali memisahkan mana yang hak Allah SWT dan mana pula yang hak manusia secara pribadi. Sebenarnya yang dimaksud hak Allah SWT itu pun menyangkut kepentingan orang banyak.

Qadzf bisa terjadi dengan menisbahkan (membangsakan) keturunan kepada orang lain dengan jalan zina. Bisa juga dengan menafikan keturunan seorang muslim (dari ayah kandungnya), yaitu seseorang menuduh seseorang bahwa dia bukan anak kandung ibu bapaknya.

Dalam tuduhan ini terkandung makna bahwa ibu orang tersebut melakukan zina dengan orang lain.

Dalam Al-Qur’an surah an-Nur (24) ayat 4 ditegaskan bahwa seseorang yang menuduh orang lain berbuat zina harus mengemukakan empat orang saksi. Jika dia tidak mampu menghadirkan empat orang saksi yang benar-benar melihat perzinaan tersebut, berarti dia telah melanggar kehormatan orang yang dituduhnya berzina tersebut.

Untuk tuduhan yang tidak dapat dibuktikan ini, sesuai dengan ayat tersebut, dia dikenakan dua hukuman, yaitu dera 80 kali dan dia tidak dapat dijadikan saksi di depan pengadilan. Hukuman 80 kali dera adalah hukuman pokoknya, sedangkan hukuman menghilangkan hak kesaksiannya merupakan hukum pelengkap.

Hak kesaksian ini dapat dipulihkan kembali jika ia benar-benar bertobat. Hal ini didasarkan pada surah an-Nur (24) ayat 5, “Kecuali bagi orang-orang yang bertobat sesudah itu dan memperbaiki (dirinya), maka sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.”

Tuduhan berbuat zina ini bukan hanya berlaku untuk perempuan, tetapi juga berlaku untuk laki-laki yang dituduh berbuat zina. Pengkhususan penyebutan wanita dalam surah an-Nur (24) ayat 4 tersebut hanya disebabkan karena tuduhan berbuat zina kepada perempuan lebih banyak dan lebih menyakitkan hatinya dan keluarganya.

Karena dalam ajaran Islam hudud tidak dapat dilaksanakan jika terdapat unsur keraguan di dalam pembuktiannya, ulama mengemukakan syarat-syarat yang harus dipenuhi agar seseorang dapat dikenakan hukuman qadzf. Syarat-syarat tersebut adalah:
(1) yang menuduh berakal sehat dan telah balig,
(2) tuduhannya tidak terbukti,
(3) orang yang dituduh itu jelas dan keadaannya muhsan (orang yang berakal sehat, balig, merdeka, beragama Islam, dan suci dari perbuatan zina),
(4) yang menuduh itu bukan ayah atau ibu, kakek atau nenek, dan seterusnya ke atas, (5) tuduhan itu objeknya zina, dan
(6) tuduhan dilakukan tanpa dibarengi syarat atau terkait dengan sesuatu lainnya.

Dalam pembuktian tindak pidana qadzf ini diperlukan gugatan kepada hakim serta dibuktikan di depan sidang pengadilan dengan alat bukti yang telah ditentukan syarak.

Sebagaimana tindak pidana hudud lainnya, qadzf juga merupakan delik aduan. Artinya, tindak pidana ini tidak bisa dihukum jika tidak dibuktikan secara sah di depan pengadilan berdasarkan pengaduan yang berkepentingan.

DAFTAR PUSTAKA
Abu Zahrah, Muhammad. al-Jarimah wa al-‘Uqubah fi al-Fiqh al-Islami. Cairo: Dar al-Fikr al-‘Arabi, t.t.
Bahnasi, Ahmad Fathi. al-Mas’uliyyah al-Jina’iyyah al-Islamiyyah. Cairo: Dar al-Qalam, 1961.
__________. ‘Uqubah fi al-Fiqh al-Islami. Beirut: Dar ar-Ra’id al-‘Arabi, 1970.
az-Zuhaili, Wahbah. al-Fiqh al-Islami wa Adillatuh. Beirut: Dar al-Fikr, 1984.
Nasrun Haroen