Puasa adalah salah satu bentuk ibadah Islam yang berarti “menahan diri dari segala sesuatu yang membatalkan ibadah tersebut pada siang hari” (mulai dari terbit fajar hingga terbenam matahari). Puasa dalam bahasa Arab disebut as-saum atau as-siyam yang berarti imsak atau “menahan diri dari segala sesuatu”.
Wahbah az-Zuhaili, ahli fikih dan usul fikih Universitas Damascus, mendefinisikan puasa sebagai “menahan diri dari segala keinginan syahwat, perut, serta faraj (kemaluan), dan dari segala sesuatu yang masuk ke dalam kerongkongan, baik berupa makanan, minuman, obat, dan semacamnya, pada waktu tertentu (mulai dari terbit fajar sadiq [sinar putih yang terbentang di ufuk timur] hingga terbenam matahari) yang dilakukan secara yakin oleh seorang muslim yang berakal, tidak haid, dan tidak pula nifas”.
Hikmah Puasa. Ada hikmah yang terkandung dalam ibadah puasa. Muhammad Ali as-Sabuni (ahli tafsir) dalam buk-nya Rawa’i‘ al-Bayan Tafsir Ayat al-Ahkam min Al-Qur’an (uraian yang menarik tentang tafsir ayat hukum dalam Al-Qur’an) mengatakan bahwa sekurang-kurangnya ada empat hikmah yang terkandung dalam puasa:
(1) merupakan sarana pendidikan bagi manusia agar tetap bertakwa kepada Allah SWT, membiasakan diri untuk patuh terhadap perintah-Nya, dan menghambakan diri kepada-Nya;
(2) merupakan pendidikan bagi jiwa dan membiasakannya untuk tetap sabar dan tahan terhadap segala penderitaan dalam menempuh dan melaksanakan perintah Allah SWT; menjadikan orang dapat mena-han diri dari atau tidak menuruti segala keinginan dan hawa nafsunya dan senantiasa berjalan di atas petunjuk syarak (hukum Islam);
(3) merupakan sarana untuk menumbuhkan rasa kasih sayang dan rasa persaudaraan terhadap orang lain, sehingga terdorong untuk membantu dan menyantuni orang yang melarat dan tidak berkecukupan; dan
(4) menanamkan dalam diri manusia rasa takwa kepada Allah SWT dengan senantiasa melaksanakan perintah-Nya, baik dalam keadaan terang-terangan maupun sembunyi-sembunyi, dan mening galkan segala yang dilarang-Nya.
Adapun menurut Wahbah az-Zuhaili, puasa mengandung banyak faedah yang tidak hanya bersifat materiil, tetapi juga spiritual. Pelaksanaan puasa merupakan perwujudan ketaatan terhadap perintah Allah SWT, yang dapat menjauhkan seorang muslim dari siksaan Allah SWT karena puasa merupakan alat penebus dosa.
Puasa menjadi sarana pendidikan moral tinggi yang dapat melahirkan perangai luhur. Puasa dalam hal ini merupakan alat yang ampuh untuk meme rangi hawa nafsu. Puasa mengajarkan kejujuran, kesabaran serta kedisiplinan, memperkuat tekad untuk melaksanakan setiap pekerjaan, dan membantu menjernihkan pikiran.
Dalam hubungannya dengan sesama manusia, puasa dapat menumbuhkan rasa kasih sayang dan persaudaraan yang tinggi, menimbulkan rasa solidaritas dan gotong-royong di kalangan orang-orang Islam, dan mendorong mereka untuk ikut merasakan lapar dan merasakan perlunya berhubungan dengan orang lain.
Macam Puasa. Puasa dibagi atas beberapa macam. Dilihat dari waktu pelaksanaannya, puasa dibagi dua, yaitu puasa pada bulan Ramadan dan puasa di luar bulan Ramadan, seperti puasa kada dan puasa 6 hari pada bulan Syawal.
Adapun dilihat dari segi hukumnya, puasa dibagi atas empat macam, yaitu puasa wajib, puasa haram, puasa sunah (saum at-tathawwu‘), dan puasa makruh.
Puasa Wajib. Puasa wajib mencakup puasa Ramadan, puasa kafarat (denda, tebusan), dan puasa nazar. Puasa Ramadan adalah puasa yang diwajibkan atas setiap muslim selama sebulan penuh pada bulan Ramadan. Puasa Ramadan merupakan salah satu dari lima rukun Islam.
Perintah untuk melaksanakan puasa Ramadan didasarkan pada Al-Qur’an, hadis, dan kesepakatan ulama. Dalil yang menyatakan kewajiban berpuasa disebut dalam Al-Qur’an surah al-Baqarah (2) ayat 183–185. Allah SWT berfirman, “Hai orang-orang yang beriman, diwajibkan atas kamu berpuasa sebagaimana diwajibkan atas orang-orang sebelum kamu agar kamu bertakwa” (QS.2:183).
Adapun hadis yang menerangkan kewajiban berpuasa antara lain adalah hadis yang diriwayatkan Bukhari dan Muslim dari Ibnu Umar yang menerangkan rukun Islam dan hadis qudsi (Hadis) dan hadis yang diriwayatkan Bukhari dan Muslim dari Talhah bin Ubaidillah. Berdasarkan dalil di atas ulama sepakat bahwa puasa Ramadan itu wajib dilaksanakan setiap muslim.
Puasa Ramadan mulai diwajibkan Allah SWT atas umat Muhammad SAW pada 10 Ramadan, satu setengah tahun sesudah hijrah. Ketika itu Nabi SAW baru saja diperintahkan untuk mengalihkan arah kiblat dari Baitulmakdis (Yerusalem) ke Ka’bah di Masjidilharam (Mekah).
Puasa Ramadan wajib dimulai ketika melihat atau menyaksikan bulan pada awal bulan Ramadan. Apabila langit dalam keadaan berawan yang mengakibatkan bulan tidak dapat dilihat atau disaksikan, bulan Ramadan disempurnakan 30 hari.
Hal ini didasarkan pada Al-Qur’an surah al-Baqarah (2) ayat 185 yang berarti: “Barangsiapa yang menyaksikan bulan di antara kamu hendaklah berpuasa.” Adapun dalam hadis yang diriwayatkan Bukhari dan Muslim dari Abu Hurairah dikatakan:
“Berpuasalah kamu karena melihat bulan, dan berbukal-ah karena melihatnya. Akan tetapi, apabila engkau tidak melihatnya maka sempurnakan jumlah bulan Ramadan itu menjadi tiga puluh hari.”
Puasa kafarat adalah puasa yang dilakukan seseorang karena sebab tertentu, seperti bersetubuh di siang hari bulan Ramadan. Adapun puasa nazar adalah puasa yang diwajibkan atas seseorang karena suatu nazar.
Puasa Haram. Puasa haram mencakup puasa sebagai berikut.
(1) Puasa sunah yang dilakukan seorang istri tanpa izin suaminya. Seorang istri yang hendak melakukan puasa sunah harus terlebih dahulu diketahui dan mendapat izin dari suaminya. Hal ini didasarkan pada hadis yang mengatakan bahwa tidak halal bagi seorang istri untuk berpuasa (sunah) sewaktu suami berada di tempat, kecuali atas izinnya (HR. Bukhari dan Muslim).
(2) Puasa yang dilakukan pada hari raya Idul Fitri dan Idul Adha (Salat id). Larangan ini didasarkan pada hadis yang diriwayatkan Bukhari dan Muslim dari Abu Hurairah yang mengatakan: “Sesungguhnya Rasulullah SAW melarang berpuasa pada dua hari raya, yaitu hari raya Idul Fitri dan hari raya Idul Adha.
(3) Puasa pada tiga hari tasyrik (11, 12, 13 Zulhijah).
(4) Puasa yang dilakukan dalam keadaan haid atau nifas.
(5) Menurut Mazhab Syafi‘i, puasa yang dilaksanakan pada pertengahan akhir bulan Syakban
(6) Puasa yang dilakukan seseorang yang takut akan terjadi mudarat bagi dirinya apabila ia melakukan puasa.
Puasa Sunah. Puasa sunah mencakup puasa sebagai berikut.
(1) Puasa yang dilakukan selang satu hari (hari ini berpuasa, besok tidak) atau puasa Nabi Daud. Puasa seperti ini lebih utama daripada puasa sunah lainnya. Hal ini dijelaskan Rasulullah SAW dalam hadis sahih yang diriwayatkan Bukhari dan Muslim dari Abdullah bin Umar bin Khattab: “Puasa sunah yang terbaik ialah puasa yang dilakukan Nabi Daud, sehari ia berpuasa dan seharinya tidak.”
(2) Puasa selama 3 hari dalam setiap bulan (Hijriah). Waktu yang paling baik untuk melakukan puasa ini adalah pada tanggal 13, 14, dan 15. Hal ini didasarkan pada hadis riwayat Nasa’i dan Ibnu Hibban, bahwa pahala nilai puasa yang dilaksanakan selama 3 hari ini sama dengan nilai puasa yang dilakukan sepanjang tahun.
(3) Puasa pada hari Senin dan Kamis. Hal ini didasarkan pada hadis Usamah bin Zaid: “Nabi SAW berpuasa pada hari Senin dan Kamis. Sewaktu beliau ditanya tentang hal ini, beliau menjawab bahwa amalan-amalan manusia dilaporkan pada hari Senin dan Kamis.”
(4) Puasa yang dilakukan selama 6 hari pada bulan Syawal. Puasa 6 hari ini dapat dilakukan secara berturut-turut atau tidak, tetapi yang pertama lebih afdal daripada yang kedua. Hal ini didasarkan pada hadis riwayat Muslim dari Abu Ayyub RA yang berarti: “Barangsiapa yang melakukan puasa selama enam hari sesudah puasa Ramadan, ia seakan-akan telah berpuasa wajib sepanjang tahun.”
(5) Puasa hari Arafah, yaitu puasa yang dilakukan pada tanggal 9 Zulhijah bagi orang yang tidak sedang melakukan ibadah haji. Hal ini didasarkan pada hadis riwayat Muslim dari Abu Qatadah yang berarti: “Puasa hari Arafah dapat menghapus dosa dua tahun, setahun yang lampau, dan setahun mendatang.” Bagi orang yang sedang melakukan haji, puasa pada hari itu tidak disunahkan; bahkan sebaliknya, disunahkan tidak berpuasa.
(6) Puasa pada hari ke-8 bulan Zulhijah (sebelum hari Arafah). Puasa ini disunahkan tidak hanya bagi orang yang melakukan haji, tetapi bagi orang yang tidak melakukan haji.
(7) Puasa Tasu’a dan Asyura, yaitu puasa yang dilakukan pada tanggal 9 dan 10 Muharam. Hal ini didasarkan pada hadis riwayat Muslim dan Abu Qatadah.
(8) Puasa pada al-asyhur al-hurum, yaitu puasa yang dilakukan pada bulan Zulkaidah, Zulhijah, Muharam, dan Rajab. Keempat bulan ini merupakan bulan yang paling afdal untuk melaksanakan puasa sesudah bulan Ramadan.
(9) Puasa bulan Syakban. Hal ini didasarkan pada hadis riwayat Bukhari dan Muslim dari Aisyah binti Abu Bakar RA.
Puasa Makruh. Puasa makruh terbagi atas tiga macam.
(1) Puasa yang dilakukan pada hari Jumat, kecuali beberapa hari sebelumnya telah berpuasa. Hal ini didasarkan pada hadis yang diriwayatkan Bukhari dan Muslim dari Abu Hurairah yang isinya melarang orang berpuasa pada hari Jumat, kecuali telah berpuasa sehari sebelumnya atau sehari sesudahnya.
(2) Puasa wisal, yaitu puasa yang dilakukan secara bersambung tanpa makan atau minum pada malam harinya.
(3) Puasa dahri, yaitu puasa yang dilakukan terus-menerus.
Syarat Puasa. Ada beberapa syarat yang harus dipenuhi dalam melaksanakan puasa. Syarat itu terdiri atas syarat wajib dan syarat sah. Syarat wajib adalah syarat yang menyebabkan seseorang harus melakukan puasa, sedangkan syarat sah adalah syarat yang harus dipenuhi seseorang agar puasanya sah menurut syarak.
Ulama menetapkan lima syarat wajib puasa.
(1) Islam. Artinya, puasa itu wajib bagi seorang muslim, tidak wajib bagi orang kafir.
(2) Balig. Puasa tidak wajib bagi anak kecil, orang gila, yang pingsan, dan orang mabuk. Hal ini didasarkan pada hadis yang mengatakan: “Tidak dikenakan kewajiban atas tiga golongan orang, anak-anak sampai balig, orang gila sampai ia sadar, dan orang tidur sampai ia bangun” (HR. Bukhari, Abu Dawud, at-Tirmizi, an-Nasa’i, Ibnu Majah, Daruqutni, dan Ahmad).
(3) Berakal.
(4) Mampu.
(5) Menetap (bermukim).
Mengenai syarat sah puasa, terdapat perbedaan pendapat di antara ulama. Mazhab Hanafi mengatakan bahwa ada tiga syarat bagi sahnya puasa, yaitu niat, terlepas dari hal yang bertentangan dengan puasa (seperti haid dan nifas) dan terlepas dari hal yang membatalkan puasa.
Mazhab Hanbali juga menetapkan tiga syarat, yaitu Islam, niat, dan bersih dari haid dan nifas. Mazhab Maliki menetapkan empat syarat sahnya puasa, yaitu niat, bersih dari haid dan nifas, Islam, dan pada waktu yang dibolehkan untuk berpuasa.
Sama halnya dengan Mazhab Maliki, Mazhab Syafi‘i menetapkan empat syarat sahnya puasa, yaitu Islam, berakal, bersih dari haid dan nifas sepanjang hari, dan niat. Karena itu, tidak sah puasa seorang kafir, orang gila, anak-anak yang belum balig, dan wanita yang haid dan nifas.
Dalam berpuasa ulama sepakat tidak mensyaratkan bersih dari junub. Puasa yang dilakukan seseorang dalam keadaan junub tetap sah. Hadis yang diriwayatkan Aisyah dan Ummu Salamah menyatakan: “Nabi SAW pernah bangun subuh dalam keadaan junub karena bercampur dengan istrinya, kemudian beliau meneruskan puasanya.” Ummu Salamah mengatakan: “Rasulullah SAW pernah bangun subuh dalam keadaan junub karena jimak, bukan karena mimpi, lalu beliau tidak buka dan tidak mengkada puasanya.”
Syarat sah yang disepakati ulama adalah niat. Menurut mereka, niat berpuasa pada siang hari dilakukan pada malam hari. Hal ini didasarkan pada hadis Nabi SAW yang mengatakan: “Barangsiapa yang tidak melakukan niat pada malam harinya sebelum terbit fajar, maka puasanya tidak sah” (HR. Daruqutni).
Menurut kalangan Mazhab Hanafi, niat yang terbaik bagi semua puasa adalah saat terbit fajar. Menurut kalangan Mazhab Maliki, niat boleh dilakukan pada malam hari, dari terbenam matahari sampai terbit fajar.
Adapun kalangan Mazhab Syafi‘i dan Hanbali mengatakan bahwa niat untuk puasa wajib dilakukan pada malam hari, sedangkan niat untuk puasa sunah boleh dilakukan sebelum siang hari atau pada siang hari, dengan syarat sejak terbit fajar belum pernah berbuka.
Menurut kebanyakan ulama, menentukan niat perlu dilakukan bagi setiap puasa wajib. Yang berpuasa harus meyakini puasa yang akan dilaksanakannya pada keesokan hari, puasa Ramadan, puasa kada, dan puasa kafarat atau nazar. Pada malam hari, puasa yang akan dilaksanakannya sudah harus ditentukan dalam niatnya.
Ulama juga sepakat bahwa niat puasa Ramadan perlu dilakukan secara terpisah. Ini berarti bahwa setiap malam seseorang disyaratkan melakukan niat untuk berpuasa pada siang hari. Akan tetapi kalangan Mazhab Maliki mengatakan bahwa niat puasa sebulan penuh dapat dilakukan hanya sekali pada awal Ramadan, tidak perlu dilakukan setiap malam. Hal ini berlaku jika puasanya tidak terputus oleh hal seperti sakit atau bepergian.
Sunah Puasa. Hal yang disunahkan untuk dilakukan selama berpuasa adalah sebagai berikut.
(1) Makan sahur, walaupun dengan seteguk air dan memperlambatnya pada akhir malam (sebelum terbit fajar). Hal ini didasarkan pada hadis Rasulullah SAW yang berarti: “Bersahurlah kamu, karena di dalam sahur itu terdapat keberkatan” (HR. Bukhari dan Muslim). Dalam hadis lain Rasulullah SAW berkata, “Di antara yang membedakan antara puasa kita (umat Islam) dengan puasa ahli kitab adalah makan sahur” (HR. Tirmizi).
(2) Memper cepat berbuka, apabila sudah diyakini bahwa matahari telah terbenam dan dilakukan sebelum salat magrib. Disunahkan berbuka dengan makanan yang mengandung air (basah) dan manis, seperti kurma dan manisan.
(3) Membaca doa sebelum berbuka. Doa berbuka puasa yang diajarkan Rasulullah SAW antara lain adalah Allahumma laka sumtu, wa ‘ala rizqika aftartu, wa ‘alaika tawakkaltu, dzahaba az-zama‘ wabtallatm al-‘uruq wa Tsabata al-ajru in sya’a Allah Ta‘ala, ya Wasi‘a al-fadhl igfir li, al-hamdu li Allah a‘anani fa sumtu, wa razaqani fa afthartu (Ya Allah, bagi-Mu aku berpuasa, atas rezekimu aku berbuka, kepada-Mu aku bertawakal, haus telah hilang, kerongkongan telah basah, dan pahala tetap di sisi Allah SWT.
Wahai Yang Maha Pemurah, ampunilah dosaku, segala puji bagi Allah yang telah memberi pertolongan kepadaku sehingga aku mampu berpuasa dan telah memberi rezeki kepadaku sehingga aku dapat berbuka).
Namun doa yang umum digunakan masyarakat Islam secara luas adalah Allahumma laka sumtu wabika amantu wa ‘ala rizqika afthartu birahmatika ya arham ar-Rahimin (Ya Allah, karena Engkau aku berpuasa, dan dengan Engkau aku beriman, dan di atas rezeki-Mu aku berbuka, dengan sebab rahmat-Mu, wahai Zat Yang Maha Pemberi rahmat bagi orang-orang yang mendapatkan rahmat).
(4) Memberikan makan untuk berbuka kepada orang yang berpuasa walaupun sebuah kurma atau segelas air.
(5) Mandi junub, haid, dan nifas sebelum terbit fajar, sehingga pada saat memasuki puasa badan sudah dalam keadaan bersih.
(6) Menahan lidah dan anggota badan lainnya dari ucapan dan perbuatan yang berlebihan dan tidak ada manfaatnya. Menjauhkan diri dari yang haram pada bulan Ramadan adalah wajib secara hukum.
(7) Memperbanyak sedekah kepada fakir miskin.
(8) Aktif dengan ilmu, membaca dan mempelajari Al-Qur’an, berzikir, dan berselawat kepa da Nabi SAW, baik pada siang hari maupun malam hari.
(9) Iktikaf di masjid, terutama 10 hari terakhir bulan Ramadan.
Makruh Puasa. Hal yang makruh dilakukan selama berpuasa adalah:
(1) berciuman dan bercumbu rayu dengan istri/ suami;
(2) mencicipi makanan dengan mengunyahnya tanpa uzur (halangan);
(3) mengumpulkan liur dalam mulut dengan sengaja dan menelannya;
(4) melakukan sesuatu yang dapat melemahkan badan, seperti membekam;
(5) memakai wangi-wangian dan menciumnya secara berlebihan pada siang hari;
(6) berkumur yang berlebihan;
(7) memperbanyak tidur dalam bulan Ramadan;
(8) berbicara dan bekerja yang berlebihan;
(9) bersikat gigi sesudah tergelincir matahari sampai terbenam matahari; dan
(10) meninggalkan sisa makanan di celah gigi.
Orang yang Diperbolehkan Berbuka Puasa atau Tidak Berpuasa. Walaupun puasa itu wajib bagi setiap muslim, Allah SWT memberikan keringanan atau izin khusus kepada orang tertentu. Karena sebab tertentu, mereka tidak wajib melaksanakan puasa pada bulan Ramadan. Orang yang dibolehkan berbuka puasa adalah sebagai berikut.
Pertama, musafir (orang yang sedang bepergian). Hal ini didasarkan pada firman Allah SWT yang terdapat dalam surah al-Baqarah (2) ayat 184. Bepergian yang membolehkan seseorang berbuka puasa adalah bepergian yang cukup jauh, yang membolehkan seseorang mengasar (memendekkan rakaat) salat, dengan syarat musafir tersebut meninggalkan rumahnya sebelum terbit fajar.
Kalangan Mazhab Hanbali membolehkan berbuka bagi musafir walaupun ia bepergian dari kampungnya pada siang hari, sesudah tergelincir matahari. Kalangan Mazhab Syafi‘i menambahkan satu syarat, bahwa kebolehan berbuka itu berlaku bagi orang yang tidak terus-menerus melakukan perjalanan.
Apabila terus-menerus, haram baginya untuk berbuka. Kalangan Mazhab Hanafi menambahkan bahwa perjalanan yang dilakukannya itu dibolehkan menurut ajaran agama dan tidak berniat untuk bermukim selama 4 hari. Adapun kalangan Mazhab Maliki mensyaratkan berniat berbuka dalam perjalanan pada malam hari sebelum terbit fajar.
Meskipun sejak pagi sudah melaksanakan puasa, seorang musafir dapat berbuka puasa jika keadaan menghendakinya. Namun demikian, sebagian ulama (seperti ulama Mazhab Hanafi dan Maliki) berpendapat bahwa berpuasa lebih baik daripada tidak, sepanjang yang dilakukannya tidak memberi mudarat (kerugian) bagi dirinya. Adapun ulama Mazhab Hanbali berpendapat bahwa berbuka dihukumkan sunah dan berpuasa dihukumkan makruh.
Kedua, orang sakit. Hal ini diterangkan Allah SWT dalam surah al-Baqarah (2) ayat 184. Orang sakit diperbolehkan berbuka apabila puasa yang dilakukannya akan menimbulkan kesulitan besar dan mudarat bagi dirinya atau akan meng akibatkan penyakitnya bertambah.
Sebagian ulama menentukan syarat bagi orang sakit yang dibolehkan berbuka puasa, yaitu:
(1) tidak mampu berpuasa dan jika berpuasa dikhawatirkan sakitnya akan bertambah parah;
(2) mampu berpuasa, tetapi akan menyulitkan bagi dirinya; dan
(3) sakit yang tidak menyulitkan dirinya dan tidak akan menambah penyakitnya (sakit yang ringan).
Baik orang sakit maupun musafir, apabila di pagi hari berniat berpuasa dan uzur yang membolehkannya berbuka sudah hilang, tidak dibolehkan berbuka. Namun apabila di pagi hari ia berniat berbuka puasa tetapi kemudian uzurnya hilang, ia dibolehkan berbuka pada sisa hari yang masih tinggal.
Ketiga, orang hamil dan menyusui. Mereka dibenarkan berbuka puasa apabila dikhawatirkan akan timbul bahaya, baik bagi dirinya sendiri maupun bagi anaknya (baik anak itu anaknya sendiri atau anak susuan). Menurut kalangan Mazhab Hanafi, mereka wajib mengkada tanpa fidyah.
Menurut kalangan Mazhab Syafi‘i dan Hanbali, mereka wajib mengkada disertai dengan fidyah apabila mereka khawatir akan anaknya. Adapun menurut kalangan Mazhab Maliki, mereka wajib mengkada disertai dengan fidyah bagi yang menyusui saja, tidak termasuk orang hamil.
Keempat, orang yang lanjut usia. Mereka diperbolehkan berbuka karena tidak mampu lagi berpuasa. Mereka tidak diwajibkan mengkada, tetapi diwajibkan memberi fidyah kepada fakir miskin.
Kelima, orang yang sangat merasa haus dan lapar. Mereka boleh berbuka puasa, dengan syarat apabila puasa yang dilakukannya dikhawatirkan menimbulkan kehancuran bagi dirinya, menyebabkan kurang waras atau hilangnya sebagian anggota badan. Dalam hal ini ia wajib mengkada puasanya.
Hal ini didasarkan pada fir-man Allah SWT dalam surah al-Baqarah (2) ayat 195 yang berarti: “…janganlah kamu menjatuhkan dirimu sendiri ke dalam kehancuran.”
Keenam, orang yang dipaksa. Mereka boleh berbuka puasa dengan kewajiban mengkadanya.
Orang yang membatalkan puasa atau tidak dapat melaksanakan puasa pada bulan Ramadan diwajibkan untuk mengkada, berkafarat, dan berfidyah. Mengkada berarti “mengganti puasa Ramadan yang telah ditinggalkannya pada hari lain sesudah bulan Ramadan”.
Jumlah hari yang dikadanya harus disesuaikan dengan jumlah hari yang ditinggalkannya. Adapun kafarat dan fidyah adalah tebusan terhadap puasa yang ditinggalkannya. Meskipun demikian, ada perbedaan antara kafarat dan fidyah. Kafarat adalah hukuman yang diberikan kepada seseorang yang telah membatalkan puasanya karena dengan sengaja telah melakukan persetubuhan dengan istrinya di siang hari bulan Ramadan.
Kafarat itu dapat ditunaikan dengan memerdeka-kan seorang hamba, berpuasa 2 bulan berturut-turut atau memberi makan enam puluh orang miskin. Adapun fidyah lebih ringan daripada kafarat. Fidyah adalah tebusan yang harus dilakukan seseorang yang tidak mampu melaksanakan puasa Ramadan, seperti orang yang lanjut usia, orang hamil, dan ibu yang menyusui.
Hal yang Membatalkan Puasa dan yang Mewajibkan Kada, Kafarat, atau Fidyah. Ada beberapa hal yang membatalkan puasa. Ulama membagi hal yang membatalkan puasa itu atas dua bagian, yaitu hal yang membatalkan puasa serta mewajibkan kada dan hal yang membatalkan puasa serta mewajibkan kada dan kafarat sekaligus.
Terdapat perbedaan pendapat di antara ulama mengenai jumlah hal yang membatalkan puasa dan yang mewajibkan kada. Menurut kalangan Mazhab Hanafi, yang membatalkan puasa dan mewajibkan kada adalah:
(1) memasukkan segala sesuatu yang bukan makanan dan yang bukan dalam pengertian makanan ke dalam kerongkongan;
(2) muntah dengan sengaja;
(3) memasukkan makanan atau obat-obatan ke dalam kerongkongan tanpa uzur;
(4) makan dan bersetubuh dengan sengaja sesudah makan dan bersetubuh karena lupa;
(5) makan, minum, atau bersetubuh karena tidak mengetahui dengan pasti bahwa fajar telah terbit;
(6) terpenuhi syahwat kelamin secara tidak sempurna, seperti keluarnya mani karena bersetubuh dengan mayat, binatang, atau bayi;
(7) memasukkan kapas, secarik kain atau ujung kain ke dalam dubur; dan (8) bagi wanita, memasukkan jarinya ke bagian dalam farajnya.
Kalangan Mazhab Maliki lebih menyederhanakannya. Yang membatalkan puasa dan wajib mengkada adalah jika:
(1) berbuka dengan sengaja pada puasa Ramadan yang tidak memenuhi syarat kafarat;
(2) berbuka dengan sengaja pada puasa fardu (bukan puasa Ramadan), seperti puasa kada Ramadan, puasa kafarat, dan puasa nazar; dan (3) berbuka puasa dengan sengaja pada puasa sunah.
Menurut kalangan Mazhab Syafi‘i, yang membatalkan puasa dan mewajibkan kada adalah:
(1) sampainya segala sesuatu yang bersifat materi ke dalam kerongkongan;
(2) menelan dahak dan ingus;
(3) muntah dengan sengaja;
(4) keluarnya mani bukan karena bersetubuh tetapi karena dilakukan dengan tangan (onani) dan karena mengecup atau mencium istri; dan
(5) sampainya air yang digunakan untuk berkumur dan air yang dimasukkan dari hidung ke dalam kerongkongan.
Adapun menurut kalangan Mazhab Hanbali, yang dapat membatalkan puasa dan mewajibkan kada itu adalah:
(1) masuknya segala sesuatu yang bersifat materi melalui lubang badan ke bagian dalam badan dengan sengaja atau atas kemauan sendiri;
(2) muntah dengan sengaja, walaupun sedikit;
(3) keluarnya mani atau mazi karena mencium, melakukan onani, mengecup, dan bersetubuh tanpa faraj, dan keluarnya mani karena memandang berulang-ulang kali terhadap sesuatu yang merangsang, yang dilakukan dengan sengaja;
(4) murtad; dan
(5) makan pada saat adanya anggapan bahwa matahari telah terbenam, padahal belum.
Mengenai hal yang membatalkan puasa dan mewajibkan kada serta kafarat sekaligus, kalangan Mazhab Hanafi berpendapat bahwa mengkada dan berkafarat wajib bagi orang yang memakan makanan atau yang mengandung pengertian makanan pada siang hari tanpa adanya uzur syar‘i (yang berdasarkan hukum Islam), seperti makan, minum obat-obatan, dan merokok.
Termasuk dalam kelompok ini adalah makan dengan sengaja setelah mengumpat orang lain dan disertai anggapan bahwa mengumpat itu telah membatalkan puasanya, sesudah mencium dengan syahwat walaupun tidak keluar mani, menelan air hujan yang masuk ke dalam mulutnya atau menelan liur istrinya/kekasihnya karena adanya rasa sedap.
Adapun yang mewajibkan kafa rat menurut kalangan ini adalah terpenuhinya syahwat faraj secara sempurna yang dilakukan dengan cara bersetubuh (meskipun tidak keluar mani), baik pada qubul (lubang depan) maupun dubur (lubang belakang). Kewajiban kafarat ini tidak hanya dikenakan pada subjek, tetapi juga pada objeknya, dengan syarat yang menjadi objek adalah manusia hidup dan berkeinginan.
Hal ini senada dengan yang diungkapkan kalangan Mazhab Maliki, yakni kafarat wajib bagi orang yang me lakukan persetubuhan dengan sengaja. Kalangan ini menambahkan bahwa kada dan kafarat wajib bagi yang mengeluarkan mani atau mazi dengan sengaja yang disertai rasa nikmat karena mencium atau bercampur pada yang selain faraj, atau karena memandang atau merenungkan (mengkhayal) sesuatu yang mengakibatkan keluarnya mani.
Kafarat tidak wajib bagi orang yang hanya memandang dan merenung-kan sesuatu, tetapi tidak mengakibatkan keluarnya mani. Termasuk dalam kelompok ini adalah makan dan minum dengan sengaja. Kafarat juga wajib bagi orang yang berniat berbuka puasa pada pagi hari dan yang berbuka dengan sengaja tanpa uzur. Kalangan ini menegaskan pendapatnya bahwa kafarat itu wajib apabila memenuhi beberapa syarat, yaitu:
(1) berbuka puasa Ramadan;
(2) sengaja berbuka;
(3) berbuka atas kemauan sendiri;
(4) mengetahui bahwa berbu-ka itu haram;
(5) merusak kehormatan Ramadan;
(6) sesuatu yang masuk itu sampai ke dalam tubuh melalui mulut; dan
(7) sesuatu yang masuk itu harus sampai ke perut. Menurut kalangan Mazhab Syafi‘i, yang mewajibkan kada dan kafarat disertai takzir hanya satu, yaitu bersetubuh.
Seseorang yang bersetubuh harus memenuhi syarat:
(1) pada malam harinya berniat puasa;
(2) sengaja;
(3) dengan kemauan sendiri, tidak dipaksa;
(4) mengetahui bahwa mela kukan perbuatan itu haram;
(5) terjadi dalam bulan Ramadan;
(6) satu-satunya hal yang merusak puasanya;
(7) bukan anak-anak, musafir, atau sakit;
(8) meyakini bahwa puasa yang sedang dilaksanakannya adalah sah;
(9) tidak keliru melakukan persetubuhan;
(10) tidak menjadi gila atau mati sesudah bersetubuh pada siang hari itu;
(11) bersetubuh itu disandarkan padanya (jika wanita yang menyebabkannya maka tidak wajib kafarat baginya);
(12) dilakukan dengan memasukkan ujung kemaluan;
(13) berlangsung dengan sempurna, baik pada qubul atau dubur maupun pada mayat atau binatang; dan
(14) wathi’ atau yang melakukan persetubuhan (bagi yang disetubuhi tidak diwajibkan kafarat). Adapun menurut kalangan Mazhab Hanbali, hal yang mewajibkan kada dan kafarat itu hanya satu, yaitu bersetubuh pada siang hari bulan Ramadan tanpa uzur (dengan sengaja).
Ulama sepakat bahwa hukum mengkada puasa itu wajib bagi seseorang yang berbuka puasa satu kali atau lebih dalam bulan Ramadan. Orang yang dikenakan hukuman tersebut adalah orang yang meninggalkan puasa karena uzur, seperti sakit, bepergian, haid, dan semacamnya, atau yang berbuka puasa tanpa uzur, seperti tidak berniat pada malam harinya dengan sengaja atau lupa. Kewajiban mengkada puasa itu telah diterangkan oleh Allah SWT dalam surah al-Baqarah (2) ayat 184 yang berarti:
“Maka jika di antara kamu ada yang sakit atau dalam perjalanan (lalu ia berbuka), maka (wajiblah baginya berpuasa) sebanyak hari yang ditinggalkan itu pada hari-hari yang lain….”
Mengenai kewajiban mengkada puasa bagi wanita haid, Aisyah RA menceritakan: “Ketika kami dalam keadaan haid di masa Rasulullah SAW kami diperintahkan untuk mengkada puasa.” Mengkada puasa dapat dilakukan setelah bulan Ramadan sampai datangnya bulan Ramadan berikutnya.
Disunahkan bagi seseorang untuk mempercepat mengkada puasanya. Dengan demikian semakin cepat pula ia terlepas tanggungan dan kewajiban mengkada. Kebanyakan ulama sepakat bahwa mengkada puasa yang ditinggalkan beberapa hari tidak disyaratkan untuk dilakukan berturut-turut. Meng kada puasa hanya disunahkan jika dapat dilakukan secara berturut-turut.
Orang yang diwajibkan untuk melakukan kafarat adalah orang yang telah merusakkan/membatalkan puasa Ramadan dengan sengaja dan merusak kehormatan puasa tanpa adanya kebolehan bagi mereka untuk berbuka. Oleh karena itu, orang yang tidak diwajibkan kafarat adalah orang yang berbuka sewaktu mengkada puasa Ramadan, lupa, dipaksa, haid dan nifas, gila, pingsan, sakit, musafir, wanita hamil, dan orang murtad.
Kafarat adalah wajib secara hukum. Hal ini didasarkan pada hadis yang diriwayatkan Jemaah dari Abu Hurairah. Dalam hadis tersebut diceritakan bahwa pernah datang seorang laki-laki kepada Rasulullah SAW dan berkata, “Saya telah celaka wahai Rasulullah.” Nabi SAW bertanya, “Apa yang mencelakakanmu?” Ia menjawab, “Saya telah menggauli istri saya di siang hari Ramadan.” Nabi SAW bertanya, “Apakah engkau mendapatkan seorang budak wanita yang akan dimerdekakan?” Ia menjawab, “Tidak.” Nabi SAW bertanya lagi, “Apakah engkau dapat berpuasa selama dua bulan ber-turut-turut?” Ia menjawab, “Tidak.” Nabi SAW bertanya lagi, “Apakah engkau mempunyai sesuatu untuk diberi makan kepada enam puluh orang miskin?” Ia menjawab, “Tidak.” Kemudian laki-laki itu duduk, lalu Nabi SAW membawa sebuah keranjang yang di dalamnya terdapat tamar (buah kurma). Nabi SAW berkata, “Sedekahkanlah ini.”
Dari hadis di atas dapat disimpulkan bahwa berkafarat wajib bagi orang yang bersetubuh dengan istrinya di siang hari. Dari hadis ini pula ulama sepakat bahwa kafarat itu wajib. Akan tetapi, mereka berbeda pendapat dalam hal urutan pelaksanaan ketiga kafarat di atas.
Kebanyakan ulama sepakat bahwa jenis kafarat itu harus dilakukan secara berurutan, mulai dari memerdekakan budak sampai memberi makan enam puluh orang miskin. Jika kafarat pertama tidak dapat dilakukan, maka kafarat kedua yang dilakukan, demikian seterusnya. Ulama Mazhab Maliki mengatakan, boleh memilih salah satu dari ketiga kafarat dan yang paling afdal (utama) adalah memberi makan enam puluh orang miskin.
Pelaksanaan kafarat harus disesuaikan dengan jumlah pelanggaran yang dilakukan oleh yang bersangkutan. Ulama sepakat bahwa apabila pelanggaran itu dilakukan dalam se hari, kafaratnya hanya satu kali. Akan tetapi, apabila pelanggarannya dilakukan dalam 2 hari atau lebih maka kafaratnya harus dua kali atau lebih.
Orang yang tidak berpuasa juga diwajibkan membayar fidyah. Hal ini didasarkan pada firman Allah SWT dalam surah al-Baqarah (2) ayat 184 yang berarti: “Dan wajib bagi orang-orang yang berat menjalankannya (jika mereka tidak berpuasa) membayar fidyah, (yaitu) memberi makan seorang miskin.”
Fidyah diwajibkan atas beberapa kelompok saja.
(1) Orang yang telah berusia lanjut, sehingga tidak dapat melaksanakan puasa. Apabila melaksanakan puasa, mereka dikhawatirkan akan mengalami kesulitan berat. Mereka diberi keringanan untuk berbuka dan sebagai gantinya mereka harus membayar fidyah dengan memberi makan seorang miskin setiap hari.
(2) Orang sakit yang kesembuhannya tidak dapat diharapkan lagi.
(3) Wanita hamil dan wanita menyusui. Selain membayar fidyah, mereka juga diwajibkan mengkada.
(4) Menurut az-Zuhaili, kebanyakan ulama berpendapat bahwa orang yang menunda-nunda mengkada puasanya sampai datang bulan Ramadan berikutnya diwajibkan membayar fidyah dan mengkada sejumlah puasa yang ditinggalkannya.
Hal ini disamakan dengan orang yang berbuka puasa dengan sengaja. Namun demikian, ulama berbeda pendapat mengenai pengulangan fidyah. Ulama Mazhab Hanafi dan Hanbali mengatakan, tidak perlu mengulang fidyah karena adanya pengulangan tahun.
Adapun ulama Mazhab Syafi‘i berpendapat, fidyah itu berulang karena berulangnya tahun. Beda halnya dengan ulama Mazhab Hanafi yang mengatakan bahwa tidak ada fidyah karena menunda sampai pada Ramadan berikutnya. Hal ini didasarkan pada surah al-Baqarah (2) ayat 184.
Hal yang Tidak Membatalkan Puasa. Menurut Mazhab Hanafi, ada empat belas hal yang tidak membatalkan puasa, yaitu:
(1) makan, minum atau bersetubuh karena lupa;
(2) kel-uarnya mani karena memandang atau merenungkan sesuatu yang merangsang; (3) bercelak;
(4) berbekam;
(5) bersugi;
(6) berkumur-kumur dan memasukkan air ke dalam lubang hidung, bukan untuk wudu;
(7) mandi atau berenang;
(8) mengumpat dan berniat berbuka, tetapi tidak berbuka;
(9) masuknya asap atau semacamnya ke dalam kerongkongan;
(10) mencabut gigi sepanjang tidak menelan sedikit pun da rah atau obat;
(11) memasukkan air, minyak, obat semprot ke dalam lubang zakar dan masuknya air ke dalam telinga karena berendam;
(12) menelan dahak atau ingus;
(13) muntah karena dipaksa; dan
(14) memakan sisa makanan yang terdapat di celah gigi.
Yang tidak membatalkan puasa, menurut Mazhab Maliki, adalah:
(1) muntah dengan tidak disengaja,
(2) memasukkan sesuatu ke dalam lubang zakar,
(3) meminyaki bagian dalam tubuh dengan obat,
(4) mencabut yang dimakan, diminum, atau yang berasal dari faraj pada saat terbit fajar,
(5) keluarnya mani karena memandang atau merenungkan sesuatu yang merangsang,
(6) menelan liur,
(7) berkumur-kumur karena haus, dan
(8) berbekam.
Mazhab Syafi‘i menyimpulkan bahwa yang tidak mem batalkan puasa itu adalah
: (1) masuknya segala sesuatu ke dalam badan karena lupa, tidak tahu, dipaksa;
(2) masuknya sesuatu yang tidak dapat dikeluarkan, seperti dahak, dan sesuatu yang terdapat di antara gigi;
(3) masuknya sesuatu yang tidak dapat dihindarkan, seperti debu di jalan;
(4) mengeluarkan darah, membekam, bercelak, mencium, peluk-memeluk, keluarnya mani karena merenung dan memandang sesuatu yang merangsang, mencoba rasa makanan, bersikat gigi, dan mengunyah.
Menurut Mazhab Hanbali, yang tidak membatalkan puasa adalah sebagai berikut:
(1) yang sukar dihindari, seperti menelan liur dan debu jalanan;
(2) berkumur-kumur dan memasukkan air ke dalam hidung, baik dalam keadaan bersuci atau tidak;
(3) memamah atau mengunyah sesuatu;
(4) mencium atau mengecup tanpa keluar mani;
(5) keluarnya mazi karena memandang sesuatu yang merangsang;
(6) keluar darah;
(7) masuknya sesuatu ke dalam kerongkongan tanpa disengaja;
(8) melakukan hal yang membatalkan puasa, tetapi pada saat itu ia meyakini bahwa fajar belum terbit, padahal fajar sudah terbit;
(9) muntah dengan tidak sengaja;
(10) bersikat gigi setiap hari; dan
(11) wanita memasukkan jarinya sendiri ke dalam kemaluannya.
Daftar pustaka
Abu Jayb, Sa‘di. al-Qamus al-FiqhÓi. Damascus: Dar al-Fikr, 1988.
Ibnu Ismail, Muhammad. Subul al-Salam. Cairo: Idarat al-Thaba’at al-Muniriyat, t.t.
Ibnu Rusyd. Bidayah al-Mujtahid wa Nihayah al-Muqtasid. Cairo: Syarikah Maktabah wa Matba‘ah Mustafa al-Babi al-Halabi wa Auladuh, 1401 H/1981 M.
al-Jaziri, Abdurrahman. al-Fiqh ‘Ala al-Madzahib al-Arba‘ah. Beirut: Dar al-Fikr, 1972.
al-Kahlani, Muhammad bin Ismail. Subul as-Salam. Singapura: Sulaiman Mar’i, 1960.
Rifai, Moh. Ilmu Fiqih Islam Lengkap. Semarang: Toha Putra, t.t.
Sabiq, Sayid. Fiqh as-Sunnah. Beirut: Dar al-Fikr, 1986.
ash-Shiddieqy, M. Hasbi. Pedoman Puasa. Jakarta: Bulan Bintang, 1981.
Tabbarah, Afif Abdul Latif. Ruh ad-Din al-Islami. Beirut: Dar al-‘Ilm li al-Malayiyin, t.t.
az-Zuhaili, Wahbah. al‑Fiqh al‑Islami wa Adillatuh. Beirut: Dar al‑Fikr, 1989.
A. THIB RAYA
__