Prawoto Mangkusasmito

(Magelang, 4 Januari 1910–Banyuwangi, 24 Juli 1970)

Prawoto adalah seorang politikus dan pemikir terkemuka. Ia merintis kariernya dari bawah sebagai anggota Partai Masyumi. Akhirnya ia menjadi ketua umum. Partainya dibubarkan Presiden Soekarno dan ia sendiri dipenjarakan. Setelah dibebaskan oleh Presiden Soeharto, ia tidak diizinkan lagi berpolitik.

Setelah menyelesaikan pendidikan formalnya di AMS-B (Algemene Middelbare School; setingkat SMU) Yogya­karta pada 1931, ia mengawali profesinya sebagai guru di MULO Neutral (Meer Uitgebreid Lager Onderwijs; setingkat SLTP) di Kebumen, Jawa Tengah, dari tahun 1932 sampai 1935. Prawoto menikah dengan Rabingah pada 20 Oktober 1932 dan dikaruniai empat orang anak.

Pada 1935, Prawoto pindah ke Jakarta dan kuliah di RHS (Rechts Hoge School; sekolah tinggi hukum) sambil mengajar di sekolah Muhammadiyah (1935–1942). Ketika Jepang masuk ke Indonesia (1942), keadaan berubah, termasuk kuliahnya. Ia tidak melanjutkan studi di perguruan­ tinggi, tapi bekerja sebagai pegawai kantor kadaster di Jakarta.

Setelah setahun Indonesia merdeka, Prawoto menjadi anggota Badan Pekerja Komite Nasional Indonesia Pusat (BP-KNIP), yaitu antara tahun 1946 sampai 1949. Pada masa Republik Indonesia Serikat (RIS), Prawoto menjadi ketua BP-KNIP. Jabatan sebagai wakil perdana menteri pernah diem-bannya pada masa Kabinet Wilopo (2 April 1952–31 Juli 1953).

Prawoto merintis kariernya di gelanggang politik dari tingkat paling bawah. Pada mulanya, ia menjadi anggota Masyumi sejak partai bergambar bulan bintang ini didirikan pada 1945. Kariernya terus melaju, dan ia konsisten di jalur politik.

Pada Muktamar Masyumi­ ke-7 di Surabaya (1954), ia terpilih menjadi sekretaris umum. Dua tahun kemudian, yakni pada 1956, dalam Muktamar Masyumi ke-8, ia terpilih menjadi ketua I. Kemudian pada Muktamar ke-9 (1959) yang berlang­ sung di Yogyakarta, Prawoto terpilih sebagai ketua umum Pusat Pimpinan Masyumi.

Di masa kepemimpinannya sebagai ketua umum Pimpinan­ Pusat Masyumi itulah, Prawoto menghadapi masa paling sulit, karena partai politik Islam yang diketuai Prawoto ini dibubarkan oleh Presiden Soekarno pada 17 Agustus 1960.

Ketika pembubaran diumumkan, pimpinan Masyumi diberi batas waktu sampai 30 hari untuk membubarkan diri. Apabila dalam batas waktu 30 x 24 jam tidak dinyatakan bubar oleh pimpinan partai, maka Masyumi dianggap sebagai partai terlarang.

Sebelum batas waktu berakhir, pada 13 September 1960, Prawoto sebagai ketua umum Masyumi mengumumkan pembubaran partai yang dipimpinnya. Dengan demikian, secara hukum Masyumi bukanlah partai terlarang.

Meskipun begitu, sebelum membubarkan diri, Prawoto sebagai pribadi dan ketua umum Partai Masyumi menggu­gat pemerintah ke Pengadilan Negeri Istimewa di Jakarta pada 9 September 1960 karena merasa tindakan pemerintah itu tidak benar dan tidak adil.

Tetapi ketua Pengadilan Negeri Istimewa di Jakarta, Moh. Rochjani Soe’oed, mene­tapkan bahwa Pengadilan Negeri Istimewa di Jakarta tidak berwenang untuk memeriksa perkara ini. Lalu Prawoto naik banding, tetapi putusan banding dari Pengadilan Tinggi Jakarta tak juga kunjung muncul sampai yang bersangkutan meninggal dunia.

Karena sikap politiknya itu, Prawoto pun menjadi sasaran rezim Soekarno yang sudah didominasi kroni Partai Komunis Indonesia (PKI), seperti D.N. Aidit. Sebagai konsekuensinya,­ pada 16 Januari 1962 Prawoto dijebloskan ke penjara oleh rezim Soekarno.

Prawoto dipenjarakan bersama Mohamad Roem, M. Yunan Nasution, KH M. Isa Anshari, M. Natsir, Syafruddin Prawiranegara, Burhanudin Harahap, HAMKA, Sutan Syahrir, Subadio Sastrosatomo, Anak Agung Gde Agung, dan Mochtar Lubis. Mereka adalah tokoh politik yang tidak sehaluan dengan Soekarno. Mereka baru dibebaskan ketika Soeharto memimpin rezim Orde Baru, yakni pada 17 Mei 1966.

Dengan dibebaskannya para tokoh Masyumi dan peran besar umat Islam dalam menumpas PKI, muncul harapan dan optimisme bahwa Masyumi akan mendapatkan hak hidupnya kembali. Tetapi, rupanya pemerintahan Orde Baru mempunyai pandangan lain yang menyebabkan Masyumi tak direhabilitasi.

Hal tersebut dengan jelas ditunjukkan dalam surat Jen-deral Soeharto selaku ketua Presidium Kabinet Ampera kepada Prawoto Mangkusasmito (ketua umum Masyumi ketika dibubarkan). Dalam surat tertanggal 6 Januari 1967 itu antara lain tertulis:

“Bekas partai politik Masyumi telah dibubarkan ber-dasarkan Keputusan Presiden No. 200 tahun 1960 tanggal 17 Agustus 1960 melalui prosedur yang ditetapkan dalam Penetapan Presiden No. 7 tahun 1959: karena ternyata bahwa pemimpin-pemimpin bekas partai politik Masyumi turut serta dalam pemberontakan PRRI/ Permesta atau juga telah jelas memberikan bantuan pada pemberontakan itu, sedangkan Masyumi pada waktu itu telah tidak mau dengan resmi menyalahkan perbuatan anggota-anggotanya itu; pada kesempatan ini, saya juga ingin secara berterus terang menjelaskan kepada Saudara, bahwa baik ABRI sebagai keseluruhan Angkatan maupun keluarga prajurit-prajurit, sungguh-sungguh telah memberikan banyak pengorbanan lahir dan batin untuk menumpas pemberontakan itu; dan justru demi menegakkan tata hukum dalam negara demokrasi­ ini; berdasarkan pokok-pokok pikiran dan hal-hal yang saya sebutkan di atas, saya harap Saudara dapat memahami pendirian Pemerintah pada umum­ nya, dan ABRI pada khususnya, terhadap bekas partai politik Masyumi.”

Alasan yuridis, ketatanegaraan, dan psikologis telah membawa ABRI pada satu pendirian, bahwa ABRI tidak dapat menerima rehabilitasi bekas partai politik Masyumi. Indonesianis dari Australia, Dr. Harold Crouch, menyatakan,

“Mereka yang ikut serta dalam upaya pemerintahan pusat untuk menumpas PRRI benar-benar merasa tidak senang dengan ‘pengkhianatan’ Masyumi yang bersimpati, atau setidaknya tidak menyalahkan pemberontakan yang mengorbankan 2.500 nyawa tentara itu.”

Tidak hanya nama Masyumi yang tidak direhabitasi, tetapi para tokohnya pun tidak boleh tampil di panggung politik. Surat Jenderal Soeharto membelenggu para tokoh Masyumi untuk tampil ke gelanggang politik, termasuk juga Prawoto. Tetapi, itu bukan berarti mereka berhenti menyumbangkan pikiran dan tenaganya untuk umat.

Para tokoh Masyumi, antara lain Prawoto dan M. Natsir, men­dirikan Dewan Dakwah Islamiyah Indonesia (DDII). Dewan­ dakwah ini adalah LSM yang bergerak di bidang syiar Islam, dengan mengirimkan para dai muda ke pelosok daerah untuk berdakwah di tengah masayarakat yang membutuhkan siraman rohani, sekaligus berkarya nyata.

Sampai akhir hayatnya, Prawoto sendiri tidak pernah jauh dari umatnya, terutama generasi muda dan kaum petani. Dari mereka inilah Prawoto mendengar berbagai masalah bangsa dan umat, lalu mendiskusikannya dengan mereka. Khusus kepada para kaum muda, Prawoto selalu berpesan agar mereka mempunyai pendirian dan bisa mengambil sikap, bukan hanya menunggu petunjuk dari para sesepuh.

Daftar Pustaka

Anwar, M. Syafi’i. Pemikiran dan Aksi Islam Indonesia. Jakarta: Paramadina, 1995.
Bajasut, S.U. Alam Fikiran dan Djedjak Perjuangan Prawoto Mangkusasmito. Surabaya: Documenta, 1972.
Effendy, Bachtiar. Islam dan Negara: Transformasi Pemikiran dan Praktik Politik Islam di Indonesia. Jakarta: Paramadina, 1998.
Noer, Deliar. Partai Islam di Pentas Nasional. Jakarta: Pustaka Utama Grafiti, 1987.
Pimpinan Masyumi Bagian Keuangan. Pedoman Perjuangan Masyumi. Jakarta: P.P. Masyumi, 1955.

HERRY MOHAMMAD

__