Secara kebahasaan ta‘addud az-zaujat berarti “berbilangnya istri”. Kata “poligami” berasal dari bahasa Yunani (poly:banyak; gamein atau gamos: kawin atau perkawinan). Jadi, poligami berarti “perkawinan yang banyak” atau “perkawin an dengan lebih dari satu orang”, baik pria maupun wanita.
Poligami bisa dibagi atas poliandri (seorang perempuan dengan lebih dari seorang laki-laki) dan poligini (seorang laki-laki dengan lebih dari seorang perempuan).
Poligami atau poligini sejak dulu telah dilakukan secara luas tanpa pembatasan jumlah perempuan yang boleh diperistri seorang laki-laki. Seorang laki-laki boleh mengawini setiap wanita yang dikehendakinya.
Ini dilakukan baik oleh kalangan Hindu, bangsa Persia, bangsa Arab Jahiliah, bangsa Romawi, maupun bangsa yang mendiami berbagai daerah Eropa dan Asia Barat (misalnya, bangsa Thracia dan bangsa Lidia). Sebagai salah satu sistem perkawinan, poligami membawa nasib yang menyedihkan bagi kaum wanita. Derajat wanita dianggap jauh lebih rendah dari derajat pria.
Pada abad ke-7, agama Islam datang dengan Muhammad SAW sebagai nabi dan penganjurnya. Kedatangan Islam meniupkan angin baru bagi dunia perempuan, yang antara lain ajarannya juga mengandung perbaikan terhadap masalah poligami.
Islam mengatur soal perkawinan dan poligami dengan bijaksana demi kebaikan kaum wanita, keturunan, keadaan masyarakat, dan kemampuan laki-laki. Islam membatasi poligini dengan sebanyak-banyaknya empat orang istri jika dijalankan dalam keadaan darurat dengan syarat yang berat.
Syarat itu adalah harus adil terhadap para istri dan mampu memikul nafkah mereka. Hal ini didasarkan pada firman Allah SWT dalam surah an-Nisa’ (4) ayat 3 yang berarti:
“…maka kawinilah wanita-wanita (lain) yang kamu senangi: dua, tiga atau empat. Kemudian jika kamu takut tidak akan dapat berlaku adil maka (kawinilah) seorang saja….”
Mengenai keadilan yang dituntut dalam poligini itu, ulama fikih berpendapat bahwa yang dimaksud adil terhadap para istri itu adalah adil dalam hal memberikan nafkah hidup mereka, yang selain berupa makan dan minum, meliputi juga pakaian dan rumah tempat tinggal.
Selanjutnya ulama fikih berpendapat bahwa adil yang menjadi syarat mutlak dalam poligini atau ta‘addud az-zaujat itu selain mengenai hal di atas, meliputi juga adil dalam hal pembagian waktu dalam menggilir para istri itu.
Ketentuan waktu giliran itu sedikitnya tidak boleh kurang dari semalam dan sebanyak-banyaknya tak boleh lebih dari 3 malam. Selain itu, apabila suami itu menempati sebuah rumah yang terpisah dari para istrinya, cara pertemuannya juga harus diatur dengan seadil-adilnya.
Dengan adil dan tidak boleh membeda-bedakan, para istri bisa dipanggil ke rumah suami atau suami sendiri yang datang ke tempat mereka. Demikian pula apabila suami hendak bepergian hanya dengan salah seorang istrinya. Agar keadilan tetap terjaga, ia harus memilih istrinya itu dengan cara mengundi.
DAFTAR PUSTAKA
Fyzee, Asaf A.A. Outlines of Muhammad Law. London: Oxford University Press, 1964.
Ibnu Rusyd. Bidayah al-Mujtahid wa Nihayah al-Muqtaœid. Cairo: Syarikah Mak-tabah wa Matba‘ah Mustafa al-Babi al-Halabi wa Auladuh, 1401 H/1981 M.
al-Jaziri, Abdurrahman. al-Fiqh ‘Ali al-Madzahib al-Arba‘ah. Beirut: Dar al-Fikr, 1972.
al-Kahlani, Muhammad bin Ismail. Subul as-Salam. Cairo: Syirkah Maktabah Mustafa al-Babi al-Halabi, 1950.
Sabiq, Sayid. Fiqh as-Sunnah. Beirut: Dar al-Kitab al-Arabi, 1977.
asy-Syafi‘i, Abi Abdillah Muhammad bin Idris. al-Umm. Beirut: Dar al-Fikr, 1973.
asy-Syaukani, Muhammad bin Ali bin Muhammad. Nail al-Authar. Cairo: Dar al-Fikr, 1983.
ABUDDIN NATA
Tambahan Redaksi
Poligami
Poligami adalah praktik pernikahan di mana seseorang memiliki lebih dari satu pasangan secara bersamaan. Istilah ini berasal dari bahasa Yunani poly (banyak) dan gamos (pernikahan). Dalam bahasa Arab, poligami dikenal sebagai ta‘addud al-zawjāt (banyaknya istri). Secara umum, poligami terbagi menjadi dua bentuk utama: poligini (satu pria dengan beberapa istri) dan poliandri (satu wanita dengan beberapa suami). Dalam tradisi keagamaan besar, khususnya Islam, bentuk poligini yang paling umum dibahas dan dipraktikkan.
Poligami dalam Islam adalah aturan yang dibuat pada masa lalu untuk mengatur kehidupan sosial pada waktu itu. Aturan ini menekankan pentingnya keadilan jika seseorang ingin memiliki lebih dari satu istri. Meskipun diperbolehkan dengan batasan tertentu, poligami sering dibatasi atau dikritik di zaman sekarang demi menjaga kesetaraan dan kesejahteraan keluarga.
Asal-Usul dan Perkembangan Historis
Poligami telah menjadi praktik umum di berbagai peradaban kuno sebelum munculnya Islam, termasuk di India, Persia, Romawi, dan masyarakat Arab pra-Islam (Jahiliyah). Dalam banyak masyarakat tersebut, poligami sering melambangkan kekuasaan dan status sosial, khususnya di kalangan raja, bangsawan, dan pemimpin masyarakat, tanpa adanya batasan jumlah pasangan. Posisi perempuan dalam konteks ini cenderung subordinat, dianggap sebagai pelengkap rumah tangga tanpa hak yang setara.
Kedatangan Islam membawa regulasi ketat terhadap praktik poligami. Al-Qur’an membatasi jumlah istri maksimal empat, sebagaimana disebutkan dalam Surah An-Nisa ayat 3:
“Dan jika kamu khawatir tidak akan dapat berlaku adil terhadap anak-anak yatim(-piatu), maka kawinilah wanita-wanita (lain) yang berkenan kepadamu: dua, tiga atau empat. Tetapi jika kamu khawatir tidak akan dapat berlaku adil, maka (kawinilah) seorang saja…”
(QS. An-Nisa: 3)
Ayat An-Nisa: 3 turun dalam konteks pasca-Perang Uhud (625 M), ketika banyak sahabat gugur, meninggalkan janda dan anak yatim. Poligami dipandang sebagai solusi sosial untuk memberikan perlindungan ekonomi dan sosial bagi perempuan yang rentan, bukan semata-mata untuk memenuhi nafsu. Tafsir Ibnu Katsir menegaskan bahwa ayat ini bertujuan melindungi hak anak yatim dan perempuan dari eksploitasi.
Batasan ini menekankan syarat keadilan dalam nafkah, perlakuan emosional, dan tanggung jawab suami terhadap setiap istri. Namun, Al-Qur’an juga menyatakan kesulitan untuk mencapai keadilan sempurna dalam Surah An-Nisa ayat 129:
“Dan kamu sekali-kali tidak akan dapat berlaku adil di antara istri-istrimu, walaupun kamu sangat ingin berbuat demikian…”
(QS. An-Nisa: 129)
Ayat ini sering ditafsirkan oleh para ulama sebagai indikasi bahwa monogami lebih ideal dibandingkan poligami. Hadis Nabi Muhammad SAW juga memperingatkan risiko ketidakadilan, seperti dalam sabdanya:
“Barang siapa memiliki dua istri, lalu ia condong kepada salah satunya, maka pada hari kiamat ia akan datang dengan tubuhnya miring sebelah.”
(HR. Abu Dawud, An-Nasa’i, Ibnu Majah)
Dengan demikian, Islam tidak menciptakan poligami, tetapi memberikan aturan yang ketat supaya tidak ada ketidakadilan dalam melakukannya. Dalam hukum Islam, poligami diperbolehkan, asal suami bisa berlaku adil kepada semua istri, baik dalam hal materi maupun perasaan.
Sebagian umat Muslim memilih berpoligami karena ingin mengikuti sunnah Nabi Muhammad SAW, yang memang pernah memiliki lebih dari satu istri. Dalam pandangan ini, poligami bukan hanya sekadar masalah pribadi, melainkan juga merupakan bentuk upaya meneladani Rasulullah SAW. Namun demikian, pelaksanaan poligami harus selalu didasarkan pada kemampuan suami untuk berlaku adil, bertanggung jawab, dan menjaga hak-hak setiap istri secara baik agar prinsip keadilan yang diajarkan Islam benar-benar terwujud.
Pandangan Ulama Klasik dan Kontemporer
Sebagian ulama klasik memiliki pandangan beragam mengenai poligami. Mazhab Hanafi memandang poligami sebagai mubah secara prinsip, selama syarat keadilan terpenuhi. Sebaliknya, mazhab Syafi‘i dan Hanbali cenderung membatasinya, dengan penekanan pada risiko ketidakadilan yang tinggi, sehingga tidak dianjurkan kecuali dalam keadaan darurat.
Di kalangan ulama kontemporer, pandangan serupa muncul. Syekh Wahbah al-Zuhayli berpendapat bahwa monogami adalah bentuk ideal rumah tangga Muslim, sementara poligami merupakan rukhsah (keringanan) untuk situasi khusus, seperti perlindungan sosial. Pemikir modern seperti Amina Wadud mengkritik poligami sebagai warisan patriarki yang kurang relevan di era kontemporer, menganjurkan reinterpretasi kontekstual Al-Qur’an. Prof. Quraish Shihab menegaskan poligami sebagai opsi darurat dengan syarat ketat, sedangkan Musdah Mulia dan Nurcholish Madjid menekankan nilai kemanusiaan dan kesetaraan gender dalam tafsir ulang ayat-ayat terkait.
Regulasi Poligami di Berbagai Negara, Termasuk Indonesia
Di era modern, regulasi poligami bervariasi antarnegara Muslim. Turki melarangnya sejak 1926 melalui adopsi hukum perdata Swiss. Tunisia melarangnya pada 1958 dengan sanksi pidana. Maroko memperketatnya melalui Mudawwanah al-Usrah (2004), yang mensyaratkan persetujuan istri dan persetujuan pengadilan. Negara-negara Teluk seperti Arab Saudi masih membolehkannya berdasarkan syariat tanpa batasan ketat. Di negara-negara Barat, poligami umumnya dilarang secara hukum sipil.
Di Indonesia, poligami diatur dalam Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan dan Kompilasi Hukum Islam (KHI). Praktik ini diperbolehkan dengan syarat ketat: izin pengadilan agama, persetujuan istri pertama (kecuali dalam kasus khusus), bukti alasan sah (seperti infertilitas istri pertama atau kebutuhan sosial), serta kemampuan berlaku adil secara materiil dan immateriil. Regulasi ini bertujuan mencegah penyalahgunaan dan melindungi hak perempuan.
Dampak Sosial Poligami
Poligami memiliki dampak sosial yang beragam. Secara positif, ia dapat memberikan perlindungan bagi perempuan rentan, seperti janda perang atau yatim piatu, sebagaimana konteks historisnya. Namun, dampak negatif sering kali mencakup konflik emosional, kecemburuan antaristri, beban psikologis pada anak-anak, dan stigma sosial.
Penelitian seperti yang dilakukan Mansur Faqih (1996) menunjukkan bahwa anak-anak dari keluarga poligami cenderung mengalami kesulitan emosional lebih tinggi dibandingkan keluarga monogami. Banyak kasus berujung pada perselisihan hukum atau perceraian ketika keadilan tidak terpenuhi, mengonfirmasi peringatan Al-Qur’an tentang kesulitan tersebut. Studi di Malaysia juga mengungkap bahwa poligami menjadi salah satu penyebab utama perceraian.
Daftar Pustaka
-
Al-Qur’an al-Karim (terjemahan dan tafsir standar, seperti Kementerian Agama RI).
-
al-Zuḥaylī, Wahbah ibn Muṣṭafā. (1985). Al-Fiqh al-Islāmī wa Adillatuhu (Vol. 7). Damaskus: Dār al-Fikr.
-
Barlas, Asma. (2002). “Believing Women” in Islam: Unreading Patriarchal Interpretations of the Qur’an. Austin: University of Texas Press.
-
Faqih, Mansour. (1996). Analisis Gender dan Transformasi Sosial. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
-
Ibnu Katsir. (t.th.). Tafsir al-Qur’an al-‘Azhim. Beirut: Dar al-Kutub al-‘Ilmiyyah.
-
Mulia, Siti Musdah. (2007). Islam Menggugat Poligami. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama.
-
Quraish Shihab, Muhammad. (1996). Wawasan al-Qur’an: Tafsir Maudhu’i atas Pelbagai Persoalan Umat. Bandung: Mizan.
-
Wadud, Amina. (1999). Qur’an and Woman: Rereading the Sacred Text from a Woman’s Perspective (2nd ed.). New York: Oxford University Press.

