Pesantren adalah sebuah lembaga pendidikan Islam tertua yang berfungsi sebagai benteng pertahanan dan pusat dakwah serta pengembangan Islam Indonesia. Kata pesantren (santri) berasal dari bahasa Tamil yang berarti “guru mengaji”; menurut sumber lain, dari bahasa India shastri (akar kata: shastra) yang berarti “buku suci”, “buku agama”, atau “buku ilmu”. Lembaga pesantren disebut juga “surau” (Sumatera Barat), “dayah” (Aceh), dan “pondok” (Jawa dan daerah lain).
Dibandingkan dengan lembaga pendidikan lain, pesantren memiliki kekhususan. Para santri atau murid tinggal bersama kiai atau guru mereka dalam suatu kompleks tertentu. Mereka hidup mandiri dan dapat menumbuhkan ciri-ciri khas pesantren, seperti:
(1) hubungan yang akrab antara santri dan kiai,
(2) kepatuhan dan ketaatan santri kepada kiai,
(3) kehidupan mandiri dan sederhana para santri,
(4) semangat gotong royong dalam suasana penuh persaudaraan, dan
(5) kehidupan disiplin dan tirakat para santri.
Agar dapat melaksana kan tugas pendidikan dengan baik, biasanya sebuah pesantren memiliki sarana fisik yang minimal terdiri dari sarana dasar, yaitu masjid atau langgar sebagai pusat kegiatan, rumah tempat tinggal kiai dan keluarganya, pondok tempat tinggal para santri, dan ruangan belajar.
Sejarah dan Perkembangan Pesantren. Ada dua versi pendapat mengenai asal usul dan latar belakang berdirinya pesantren di Indonesia. Pendapat pertama menyebutkan bahwa pesantren berakar pada tradisi Islam sendiri, yaitu tradisi tasawuf. Pesantren mempunyai kaitan yang erat dengan tempat pendidikan yang khas bagi kaum sufi.
Pendapat ini berdasarkan fakta bahwa penyiaran Islam di Indonesia pada awalnya lebih banyak dilakukan para guru sufi yang melaksanakan amalan zikir dan wirid tertentu. Pemimpin tasawuf mewajibkan pengikutnya untuk melaksanakan suluk selama 40 hari dalam 1 tahun dengan cara tinggal bersama sesama murid atau santrinya dalam sebuah langgar atau padepokan untuk melakukan ibadah di bawah bimbingan kiai.
Untuk keperluan suluk ini, para kiai menyediakan ruangan khusus untuk penginapan dan tempat memasak yang terletak di kiri kanan langgar atau pedepokan. Di samping mengajar kan amalan tasawuf, para murid juga diajarkan kitab agama dalam berbagai cabang ilmu pengetahuan agama Islam.
Aktivitas yang dilakukan pengikut guru tasawuf dan muridnya dalam perkembangan selanjutnya, tumbuh dan berkembang menjadi lembaga “pesantren”. Jadi “pesantren” tumbuh dari padepokan pengajian yang relatif terbatas.
Pendapat kedua menyebutkan bahwa pesantren pada mulanya merupakan pengambilalihan dari sistem “pesantren” yang diadakan orang Hindu di Nusantara. Hal ini didasarkan pada fakta bahwa jauh sebelum datangnya Islam ke Indonesia, semacam pesantren sudah ada di negeri ini.
Lembaga ini pada masa itu dimaksudkan sebagai tempat mengajarkan agama Hindu dan tempat membina kader penyebar Hindu. Tradisi penghormatan murid kepada guru, yang pola hubungan antara keduanya tidak didasarkan pada hal yang bersifat materiil, juga sebagiannya bersumber dari tradisi Hindu.
Fakta lain yang menunjukkan bahwa pesantren bukan sepenuhnya berakar dari tradisi Islam adalah tidak ditemukannya lembaga pesantren di negara Islam lain, sementara lembaga semacam pesantren banyak ditemukan dalam masyarakat Hindu dan Buddha, seperti di India, Myanmar, dan Thailand.
Keberadaan dan perkembangan pesantren di Indonesia baru diketahui lebih jelas setelah abad ke-16. Karya Jawa klasik, seperti Serat Cabolek dan Serat Centhini, mengungkapkan bahwa sejak permu laan abad ke-16 di Indonesia telah dijumpai banyak pesantren besar, yang mengajarkan berbagai kitab Islam klasik di bidang fikih, teologi, dan tasawuf, serta menjadi pusat penyiaran Islam.
Berdasarkan data Departemen Agama 1984/1985, pesantren di Indonesia pada abad ke-16 berjumlah 613 buah, tetapi tidak diketahui tahun berapa pesantren itu didirikan. Demikian pula berdasarkan laporan pemerintah Hindia Belanda diketahui bahwa pada 1831 di Indonesia ada sejumlah 1.853 buah lembaga pendidikan Islam tradisional dengan jumlah murid 16.556 orang.
Namun laporan tersebut belum membuat pemisahan antara pengajian dan lembaga pesantren, lagi pula terbatas pada yang terdapat di Pulau Jawa. Baru setelah ada laporan penelitian Van den Berg (residen Belanda di Saparua; w. 1817) pada 1885 diketahui bahwa dari sejumlah 14.929 buah lembaga pendidikan Islam yang ada di Indonesia, sekitar 300 di antaranya merupakan lembaga pesantren.
Pada masa berikutnya, lembaga pesantren berkembang terus dalam segi jumlah, sistem, dan materi yang diajarkan. Bahkan pada 1910 beberapa pesantren, seperti Pesantren Denanyar, Jombang, mulai membuka pondok khusus untuk santri wanita.
Kemudian pada 1920-an pesantren di Jawa Timur, seperti Pesantren Tebuireng (Jombang) dan Pesant-ren Singosari (Malang), mulai mengajarkan pelajaran umum, antara lain bahasa Indonesia, bahasa Belanda, berhitung, ilmu bumi, dan sejarah.
Pesantren terkenal pada masa pemerintahan kolonial Hindia Belanda antara lain adalah Pesantren Tebuireng di Jombang, Pesantren Wonokoyo di Probolinggo, Pesantren Siwalan Panji di Sidoarjo, Pesantren Lirboyo di Kediri, Pesantren Termas di Pacitan, Pesantren Tegalsari di Jawa Timur, Pesantren Gontor di Ponorogo, Pesantren Jamsaren di Solo, Pesantren Manba’ul Ulum di Solo, Pesantren al-Munawwir di Yogyakarta, Pesantren al-Khairiyah di Banten, dan Pesantren Suryalaya di Tasikmalaya.
Adapun di luar Pulau Jawa, pesantren yang termasyhur antara lain adalah Pesantren Tengku Haji Hasan di Aceh, Pesantren Masrurah di Medan, Pesantren Tanjung Sungayang di Padang, Pesantren Nurul Iman di Jambi, Pesantren al-Qur’aniyyah di Palembang, Pesantren Syamsul Huda di Jembrana (Bali), Pesantren Nahdlatul Wathan di Lombok, Pesantren al-Khairat di Palu (Sulawesi Tengah), Pesantren As’adiyah di Wajo (Sulawesi Selatan), dan Pesantren Syekh Muhammad Arsyad al-Banjari di Matapawa (Kalimantan Selatan).
Pesatnya perkembangan pesantren sejak zaman Belanda antara lain disebabkan hal berikut.
(1) Para ulama dan kiai mempunyai kedudukan yang kukuh di lingkungan kerajaan dan keraton, yaitu sebagai penasihat raja atau sultan. Karena itu, pembinaan pondok pesantren mendapat perhatian besar dari para raja dan sultan. Bahkan beberapa pondok pesantren didirikan atas dukungan keraton, seperti Pesantren Tegalsari di Jawa Timur yang diprakarsai Susuhunan Paku Buwono II (raja Mataram; memerintah 1704–1719).
(2) Kebutuhan umat Islam akan sarana pendidikan yang mempunyai ciri khas keislaman juga semakin meningkat, sementara sekolah Belanda pada waktu itu hanya diperuntukkan bagi kalangan tertentu.
(3) Hubungan transportasi antara Indonesia dan Mekah semakin lancar sehingga memudahkan para pemuda Islam dari Indonesia menuntut ilmu ke Mekah. Sekembalinya ke tanah air, mereka biasanya langsung mendirikan pondok pesantren di daerah asalnya dengan menerapkan cara belajar seperti yang dijumpainya di Mekah.
Pada masa tersebut ada pesantren yang memiliki kekhususan tertentu, yang membuatnya berbeda dari pesantren lain, biasanya karena kekhususan disiplin ilmu yang diajarkan kiainya. Ada pesantren yang khususnya kuat dalam disiplin ilmu hadis, fikih, bahasa Arab, tafsir, tasawuf, dan sebagainya.
Perubahan penting lain terjadi dalam kehidupan pesantren, yakni ketika sistem madrasah dimasukkan. Hal ini merupakan sebagai imbangan terhadap pesatnya pertumbuhan sekolah yang memakai sistem pendidikan Barat.
Dengan sistem madrasah, pesantren mencapai banyak kemajuan yang terlihat dari bertambahnya jumlah pesantren. Pada 1940-an sudah terdapat beberapa pesantren yang ikut menyelenggarakan jenis madrasah klasikal yang dikembang kan oleh pemerintah.
Dengan masuknya sistem madrasah, jenjang pendidikan di pesantren juga ikut menyesuaikan diri dengan jenjang ibtidaiyah, tsanawiyah, dan aliyah. Di samping itu, pesantren juga mengalami perubahan kurikulum dengan ditambahkannya sejumlah pelajaran nonagama, walaupun peng ajaran kitab Islam klasik dengan metode sorogan (seorang santri secara individual belajar pada seorang kiai) dan wetonan (para santri secara berkelompok belajar pada seorang kiai) tetap diperthankan.
Lahirnya Madrasah Wajib Belajar (MWB) pada 1958/1959 juga ikut memberi pengaruh kepada pesantren. Madrasah Wajib Belajar mempunyai hak dan kewajiban yang sama dengan sekolah negeri.
Selanjutnya pada 1965, berdasarkan rumusan Seminar Pondok Pesantren di Yogyakarta disepakati perlunya me masukkan pendidikan dan pelajaran keterampilan pada pondok pesantren. Pelajaran keterampilan itu meliputi antara lain pertukangan, pertanian, dan peternakan.
Pada masa Orde Baru pembinaan pondok pesantren dilakukan pemerintah melalui proyek Pembangunan Lima Tahunan (Pelita). Sejak Pelita I dana pembinaan pesantren diperoleh dari berbagai instansi yang terkait, dari tingkat pemerintah pusat sampai ke pemerintah daerah.
Pada 1975 muncul gagasan baru dalam usaha pengembangan pesantren, yaitu mendirikan pondok pesantren model baru, baik oleh masyarakat maupun oleh pemerintah, dengan nama Pondok Karya Pembangunan (PKP), Pondok Modern, Islamic Centre, atau Pondok Pesantren Pembangunan. Akan tetapi, pondok pesantren baru ini mengalami kesulitan dalam pembinaannya karena tidak ada kiai karismatik yang dapat memberikan bimbingan dan teladan kepada santrinya.
Dalam perkembangan selanjutnya banyak pesantren yang mendirikan sekolah umum dengan kurikulum yang ditetapkan pemerintah. Bahkan madrasah yang dibina pesantren juga menyesuaikan diri dengan pola madrasah yang berdasarkan Surat Keputusan Bersama (SKB) Menteri Agama, Menteri Dalam Negeri, dan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan, No. 3, Tahun 1975, yang menetapkan mata pelajaran umum di madrasah sekurang-kurangnya 70% dari seluruh kurikulum.
Namun dengan alasan bahwa kurikulum yang ditetapkan pemerintah tidak sesuai dengan jiwa dan tujuan pesantren, banyak juga madrasah di pesantren yang menetapkan kurikulumnya sendiri, seperti Pondok Modern Gontor dan Pesantren Pabelan di Muntilan.
Di samping itu, banyak juga pesantren besar yang mendi-rikan perguruan tinggi. Ada yang hanya mendirikan fakultas agama yang berkiblat ke IAIN, dan ada juga yang mendirikan universitas dengan fakultas umum dan agama, seperti yang dilakukan Pesantren as-Syafi’iyah dan Pesantren at-Tahiriyah di Jakarta.
Penyelenggaraan pendidikan dan pengajaran di pesantren didasarkan atas ajaran Islam dengan tujuan ibadah untuk mendapatkan rida Allah SWT, sehingga ijazah tidak terlalu dipentingkan dan waktu belajarnya juga tidak dibatasi. Para santri dididik untuk menjadi mukmin sejati, yaitu manusia yang bertakwa kepada Allah SWT, berakhlak mulia, mempunyai integritas pribadi yang kukuh, mandiri, dan mempunyai kualitas intelektual.
Setelah kembali ke kampung halamannya, seorang santri diharapkan dapat menjadi panutan dalam masyarakat, menyebarluaskan citra nilai budaya pesantrennya dengan penuh keikhlasan, dan menyiarkan dakwah Islam.
Ada beberapa prinsip pendidikan yang diterapkan di pesantren, antara lain: (1) kebijaksanaan; (2) kebebasan yang terpimpin; (3) kemandirian; (4) kebersamaan; (5) hubungan guru, santri, orangtua, dan masyarakat; (6) ilmu yang diperoleh selain dengan ketajaman akal, juga sangat tergantung pada kesucian hati dan berkah kiai; (7) kemampuan mengatur diri sendiri; (8) kesederhanaan; (9) metode pengajaran yang khas; dan (10) ibadah.
Ciri Umum Pesantren. Pesantren memiliki lima elemen dasar yang merupakan satu kesatuan yang tidak terpisahkan dan berada pada satu kompleks tersendiri. Lima elemen itu adalah sebagai berikut.
(1) Pondok. Dalam tradisi pesantren, pondok merupakan asrama tempat para santri tinggal bersama dan belajar di bawah bimbingan kiai. Pada umumnya kompleks pesantren dikelilingi pagar sebagai pembatas yang memisahkannya dengan masyarakat umum di sekelilingnya. Tetapi ada pula pesantren yang tidak berbatas.
Bangunan pondok pada tiap pesantren berbeda-beda, baik kualitas maupun kelengkapannya. Ada pesantren yang didirikan atas biaya kiainya, kegotongroyongan para santri, sumbangan warga masyarakat, atau sumbangan pemerintah. Namun dalam tradisi pesantren ada kesamaan yang umum, yaitu kiai yang memimpin pesantren biasanya mempunyai kewenangan dan kekuasaan mutlak atas pembangunan dan pengelolaan pondok.
Setiap pesantren memiliki kemampuan yang berbeda-beda dalam membangun pondok yang sangat diperlukan para santrinya, karena kebanyakan mereka datang dari tempat jauh untuk menggali ilmu dari kiai dan menetap di sana dalam waktu yang lama.
Jika dalam sebuah pesantren terdapat santri laki-laki dan perempuan, pondok kediaman mereka dipisahkan. Ada pondok khusus bagi laki-laki dan ada pondok khusus bagi perempuan. Tempatnya dibuat berjauhan dan biasanya kedua kelompok ini dipisahkan oleh rumah keluarga kiai, masjid, atau oleh ruang belajar.
(2) Masjid. Dalam struktur pesantren, masjid merupakan unsur dasar yang harus dimiliki pesantren karena merupakan tempat utama yang ideal untuk mendidik dan melatih para santri, khususnya dalam mengerjakan tata cara ibadah, pengajaran kitab Islam klasik, dan kegiatan kemasyarakatan. Masjid pesantren biasanya dibangun dekat rumah kediaman kiai dan berada di tengah kompleks pesantren.
(3) Pengajaran kitab klasik. Dalam tradisi pesantren, pengajaran kitab Islam klasik lazimnya memakai metode berikut.
(a) Metode sorogan. Metode sorogan adalah bentuk belajar-mengajar dengan cara kiai hanya menghadapi seorang santri atau sekelompok kecil santri yang masih dalam tingkat dasar.
Tata caranya adalah seorang santri menyodorkan sebuah kitab di hadapan kiai, kemudian kiai membacakan beberapa bagian dari kitab itu, lalu murid mengulangi bacaannya di bawah tuntunan kiai sampai santri benar-benar dapat membacanya dengan baik. Santri yang telah menguasai materi pelajarannya akan ditambahkan materi baru, sedangkan yang belum harus mengulanginya lagi.
(b) Metode wetonan dan bandongan. Metode wetonan dan bandongan adalah metode mengajar dengan sistem ceramah. Kiai membaca kitab di hadapan kelompok santri tingkat lanjutan dalam jumlah besar pada waktu-waktu ter-tentu, seperti sesudah salat berjemaah subuh atau isya.
Di daerah Jawa Barat metode ini lebih dikenal dengan istilah bandongan. Dalam metode ini kiai biasanya membacakan, menerjemahkan, lalu menjelaskan kalimat yang sulit dari suatu kitab, dan para santri menyimak bacaan kiai sambil membuat catatan penjelasan di pinggiran kitabnya. Di daerah luar Jawa metode ini disebut halaqah (Ar.), yakni murid mengelilingi guru yang membahas kitab.
(c) Metode musyawarah. Metode musyawarah adalah sistem belajar dalam bentuk seminar untuk membahas setiap masalah yang berhubungan dengan pelajaran santri di tingkat tinggi. Metode ini menekankan keaktifan pada pihak santri, yaitu santri harus aktif mempelajari dan mengkaji sendiri buku yang telah ditentukan kiainya. Kiai hanya menyerahkan dan memberi bimbingan seperlunya.
Pada garis besarnya bidang ilmu dari kitab Islam klasik yang biasa diajarkan di pesantren adalah: (1) nahu (tata bahasa Arab) dan sharaf (sistem bentuk kata Arab); (2) fikih; (3) usul fikih; (4) hadis; (5) tafsir; (6) tauhid; (7) tasawuf; dan (8) cabang ilmu agama, seperti balaghah dan tarikh.
Pemilihan kitab yang diajarkan didasarkan pada tingkat santri. Untuk tingkat dasar diajarkan kitab yang susunan bahasanya sederhana. Pada tingkat menengah disajikan kitab yang agak rumit bahasanya. Pada tingkat tinggi atau tingkat takhassus (spesialisasi) diberikan kitab yang tebal dan rumit susunan bahasanya.
(4) Santri. Jumlah santri dalam sebuah pesantren biasanya dijadikan tolok ukur atas maju mundurnya suatu pesantren. Semakin banyak santrinya, pesantren dinilai semakin maju. Santri ada dua macam, yaitu santri mukim dan santri kalong.
Santri mukim adalah santri yang selama menuntut ilmu tinggal dalam pondok yang disediakan pesantren. Adapun santri kalong adalah santri yang tinggal di luar kompleks pesantren, baik di rumah sendiri maupun di rumah penduduk di sekitar lokasi pesantren.
Para santri yang belajar dalam satu pondok biasanya memiliki rasa solidaritas dan kekeluargaan yang kuat, baik antara sesama santri maupun antara santri dan kiai mereka. Situasi sosial yang berkembang di antara para santri menumbuhkan sistem sosial tersendiri.
Dalam pesantren para santri belajar hidup bermasyarakat, berorganisasi, serta memimpin dan dipimpin. Mereka juga dituntut untuk dapat menaati kiai dan meneladani kehidupannya dalam segala hal, di samping harus bersedia menjalankan tugas apa pun yang diberikan oleh kiai.
(5) Kiai. Secara kebahasaan, kiai antara lain berarti “orang yang dipandang alim (pandai) di bidang agama Islam” atau “orang yang memiliki ilmu gaib”. Dalam masyarakat Jawa kiai sebagai orang yang dianggap menguasai ilmu agama Islam biasanya mengelola dan mengasuh pondok pesantren.
Kiai merupakan pilar utama sebuah pesantren, dan kepemimp-inannya atas pesantren sangat menentukan, sehingga hidup matinya pesantren banyak ditentukan oleh faktor kiainya.
Peranan Pesantren. Dalam perjalanan sejarah Indonesia, pesantren telah memainkan peranan yang besar dalam usaha memperkuat iman, meningkatkan ketakwaan, membina akhlak mulia, mengembangkan swadaya masyarakat Indonesia, dan ikut mencerdaskan kehidupan bangsa melalui pendidikan informal dan formal yang diselenggarakannya.
Secara informal lembaga pesantren di Indonesia telah berfungsi sebagai lingkungan komunitas yang membentuk watak dan kepribadian santri. Pesantren juga telah melaksanakan pendidikan keterampilan melalui kursus untuk membekali dan membantu kemandirian para santri dalam kehidupan masa depannya sebagai muslim yang juga dai dan pembina masyarakatnya.
Secara keseluruhan, pesantren selalu dijadikan contoh dan panutan oleh masyarakat dalam segala hal yang dilakukan atau dianjurkan untuk dilaksanakan masyarakat. Keberadaan pesantren di Indonesia telah berperan menjadi potensi yang sangat besar dalam pengembangan masyarakat, terutama masyarakat muslim lapisan menengah ke bawah. Sebagai contoh, berikut ini diuraikan dua pesantren secara tersendiri, terutama tentang sarana dasar dan garis besar kegiatannya.
Pondok Pesantren al-Munawwir, Krapyak. Lembaga pendidikan Islam ini didirikan oleh KH Munawwir pada 1911 di kampung Krapyak Kulon, Kabupaten Bantul, 1,2 km sebelah selatan Kotamadya Yogyakarta. Sebelum mendirikan pondok ini, KH Munawwir pernah belajar di Mekah selama 21 tahun.
Sekembalinya dari Mekah, ia tinggal di kampung Kauman untuk mengajarkan ilmu agama Islam di rumahnya. Karena banyak santri yang ingin belajar dan rumahnya tidak dapat menampung mereka lagi, maka ia pindah ke kampung Krapyak Kulon, lalu mendirikan pondok.
Pondok Pesantren al-Munawwir, selama berada di bawah pimpinan KH Munawwir, mengkhususkan kegiatan pendi dikannya pada pengajian kitab suci Al-Qur’an, baik dengan cara pengajian bi an-nazr (melihat/menyimak Al-Qur’an) maupun bi al-gaib (menghafal seluruh isi Al-Qur’an), dan dilanjutkan dengan pengajian Qira’ah Sab‘ah (Tujuh Bacaan Al-Qur’an). Sebagai kelengkapan pelajaran Al-Qur’an, di ajarkan pula kitab tafsir, fikih, dan sebagainya dengan cara halaqah (duduk melingkar).
Setelah KH Munawwir meninggal dunia pada 1942, pimpinan pondok ini dipegang oleh para penerusnya, yaitu KH Abdul Qadir dan KH Abdullah Afandi (putra), kemudian pada 1968 oleh KH Ali Maksum (menantu). Di bawah kepemimpinan para penerus tersebut, pondok ini mengalami perkembangan.
Beberapa lembaga pendidikan baru kemudian didirikan, yaitu: taman kanak-kanak, madrasah ibtidaiyah, tsanawiyah, aliyah, banat (untuk wanita), dan madrasah hufaz. Sistem pengajian pondok juga berubah dari halaqah menjadi klasikal. Di samping itu, pembangunan fisik pada masa ini juga mulai berkembang dengan dibangunnya beberapa ruang kelas dan kamar para santri.
Para santri Krapyak ini, di samping mengikuti kegiatan belajar di lembaga pendidikan yang ada dalam pesantren, juga wajib mengikuti pengajian sorogan dan mengikuti bimbingan serta latihan keterampilan lain yang berhubungan erat dengan kehidupan di masyarakat.
Pondok Pesantren al-Munawwir juga mengadakan kegiatan yang bersifat umum bagi masyarakat sekitarnya, antara lain pengajian khusus kaum wanita, khusus kaum pria, dan pengajian umum di tempat tertentu secara bergantian di kampung wilayah Kabupaten Bantul.
Pesantren Modern IMMIM. Lembaga pendidikan Islam ini adalah sebuah pesantren pendidikan Al-Qur’an yang berada di bawah naungan Ikatan Masjid Mushala Indonesia Muttahi-dah (IMMIM) di desa Tamalanrea, Kotamadya Makassar (dulu: Ujungpandang), Sulawesi Selatan. Berdirinya pesantren ini diresmikan pada tanggal 1 Muharam 1395/14 Januari 1975 oleh walikota Makassar.
Pesantren ini adalah salah satu perwujudan amal usaha organisasi kemasyarakatan IMMIM (1964) yang bertujuan mencerdaskan kehidupan bangsa. Oleh IMMIM, pesantren ini dimaksudkan sebagai wahana pendidikan calon ulama intelektual yang memiliki keterampi-lan sehingga mampu berdiri sendiri dalam masyarakat.
Calon ulama itu diharapkan menjadi pemimpin yang bertakwa dan cakap, memiliki akhlaq al-karimah (budi pekerti luhur) yang patut dijadikan uswatun hasanah (panutan keteladanan), memiliki sikap bersatu dalam akidah serta toleransi dalam furuk, dan berdiri dari dan untuk semua golongan.
Pada awal berdirinya, Pesantren Modern IMMIM hanya memiliki kampus seluas 2 ha dengan lokal, aula, dan asrama darurat untuk 50 santri dan 13 guru. Lima belas tahun kemudian (1990) pesantren ini telah dapat melengkapi semua keperluan ruangan dan fasilitas pendukungnya untuk menampung sekitar 700 santri dan 82 guru.
Pesantren ini menyelenggarakan pengajaran untuk jen-jang menengah pertama dan menengah atas yang memiliki dua status (SMP-SMA dan tsanawiyah-aliyah), yang diintegrasikan dalam satu kurikulum. Pesantren memberi peluang kepada santri kelas III untuk mengikuti ujian SMP negeri dan tsanawiyah negeri pada tahun ajaran yang sama, dan bagi santri kelas VI untuk mengikuti ujian SMA negeri dan aliyah negeri pada tahun ajaran yang sama juga.
Pengelolaan pesantren terjalin dalam suatu garis ko mando. Garis komando itu terdiri dari unsur pimpinan, yaitu ketua umum DPP IMMIM dan direktur pesantren; unsur pembantu pimpinan, yaitu kepala SMP-SMA, kepala madrasah tsanawiyah, madrasah aliyah, dan kepala bidang; serta unsur pelaksana, yaitu guru, pembina kampus, dan tenaga administrasi/karyawan.
Pesantren Urban. Pesantren dalam segi kualitas dan kuantitas mengalami peningkatan yang cukup berarti bagi perkembangan lembaga pendidikan Islam di Indonesia. Secara fisik, pesantren juga mengalami kemajuan yang cukup signifikan dan fenomenal. Dalam tiga dasawarsa terakhir, perkembangan pesantren sangat luar biasa pesat dan menakjubkan, baik di pedesaan maupun perkotaan.
Berkat peningkatan kemajuan ekonomi umat Islam, dari periode 1970-an hingga 1990-an, pesentren telah memiliki gedung dan fasilitas fisik lainnya yang cukup megah dan mentereng. Pesantren semacam ini tidak sulit ditemukan, baik di pedesaan maupun di perkotaan.
Data yang ada menunjukkan pesatnya pertumbuhan dan perkembangan jumlah pesantren. Data Departemen Agama RI (Depag), misalnya, menyebutkan pada 1977 jumlah pesantren 4.195 buah dengan jumlah santri 677.384 orang. Jumlah tersebut mengalami peningkatan pada 1981; pesantren berjumlah 5.661 dengan 938.397 orang santri. Pada 1985 jumlah pesantren ini mengalami kenaikan lagi menjadi 6.239 buah dengan 1.084.801 orang santri.
Sementara pada 1997 Depag mencatat 9.388 buah pesantren dengan 1.770.768 orang santri. Dengan demikian, dalam dua dasawarsa ter-akhir (1977–1997), kenaikan jumlah pesantren mencapai 224% dan kenaikan jumlah santri mencapai 261%. Angka ini jelas menunjukkan besarnya perkembangan dan daya serap lembaga pendidikan ini dalam proses pencerdasan bangsa.
Pesantren juga melakukan ekspansi. Ekspansi pesantren juga bisa dilihat dari pertumbuhan pesantren yang pada mulanya rural based institution menjadi pula lembaga pendidikan urban. Hal ini bisa dilihat dari kemunculan sejumlah pesantren kota, misalnya, di Jakarta, Bandung, Yogyakarta, Malang, Semarang, atau suburban Jakarta seperti di Parung, Bogor atau Cilangkap.
Pesantren urban di Jakarta tercatat, antara lain, Pesantren Darunnajah, Pesantren Darul Rahman, Pesantren ash-Shiddiqiyah. Pesantren urban juga terdapat di Sulawesi, Kalimantan, Bali, dan beberapa kota di luar Jawa. Di Medan, misalnya, tercatat Pesantren Nurul Hakim, al-Kautsar, dan Pesantren Darul Arafah.
Dan, di Pekanbaru terdapat Pesantren Darul Hikmah. Atau, di Pasar Usang sebuah wilayah suburban kota Padang, Sumatera Barat, berdiri Pesantren Modern Prof. Dr. HAMKA. Artinya, pesantren sebagai lembaga pendidikan urban tidak identik dengan kelembagaan pendidikan Islam khas Jawa, tapi juga diadopsi oleh wilayah lain di luar Jawa.
Ekspansi pesantren dalam bentuk pengadopsian aspek tertentu sistem pesantren juga terjadi pada lembaga pendidikan umum. Pengadopsian sistem pengasramaan murid SMU “unggulan”, misalnya, telah berkembang sejak 1990-an yang dikenal dengan istilah “Islamic Boarding School; misalnya, Sekolah Madania di Parung, Bogor dan Sekolah Insan Cendikia di Tangerang, dan lain sebagainya. Dengan pengadopsian seperti ini, lembaga pendidikan Islam menjadi semakin menarik kalangan muslim menengah ke atas.
Pada sisi lain, untuk merespons perkembangan yang terjadi di luar pesantren, semakin banyak pesantren yang mendirikan madrasah di dalam komplek pesantren. Dalam perkembangan selanjutnya, tidak jarang ditemukan pesantren yang memiliki lebih banyak murid madrasah ketimbang santri yang betul-betul tafaqquh fi ad-din.
Ternyata, pesantren tidak hanya berekspresi dengan madrasahnya. Beberapa pesantren untuk merespons perkembangan pendidikan di luar dirinya, bahkan mendirikan lembaga pendidikan umum di bawah sistem Departemen Pendidikan Nasional bukan sistem pendidikan di bawah naungan Departemen Agama. Pesantren tidak hanya mendirikan madrasah, tapi juga sekolah umum.
Perintis eksperimen ini, misalnya, adalah Pesantren Darul Ulum Rejoso, Peterongan, Jombang, yang mendirikan Universitas Darul Ulum, yang terdaftar pada Depdikbud (kini Depdiknas), pada September 1965. Kini, jumlah sekolah umum di pesantren cukup banyak.
Selain itu, ada sejumlah pesantren yang bertahan dengan sistem pendidikan yang dibuatnya sendiri, dan tidak mengikuti sistem pendidikan di bawah naungan Departemen Agama dan Departemen Pendidikan Nasional. Misalnya Kulliyyah al-Mu‘allimin al-Islamiyyah (KMI) Pondok Modern Darussalam Gontor Ponorogo dan Tarbiyyah al-Mu‘allimin al-Islamiyyah (TMI) Pondok al-Amien Prenduan, Sumenep, Madura semuanya di Jawa Timur.
Kedua pesantren ini menggunakan sistem pendidikan mu‘allimin. Hingga akhir 1990-an, ijazah kedua pesantren ini tidak mendapat pengakuan persamaan (mu‘adalah) dari pemerintah. Tetapi, ijazah pesantren ini diakui di beberapa perguruan tinggi di luar negeri. Antara lain, dari Jami‘ah Islamiyyah Madinah al-Munawwarah, Madinah; Jami‘ah Malik ‘Abd al-‘Aziz (Jami‘ah Umm al-Qurra’), Mekkah; International Islamic University Pakistan; Jami‘ah az-Zaytouna Tunisia; dan Jami‘ah al-Azhar, Mesir.
Pada 29 Juni 2000, pemerintah Indonesia melalui Departemen Pendidikan Nasional memberi pengakuan resmi terhadap sistem pendidikan yang dikembangkan pada Kulliyyah al-Mu‘allimin al-Islamiyyah (KMI) Pondok Modern Darussalam Gontor Ponorogo dan Tarbiyyah al-Mu‘allimin al-Islamiyyah (TMI) Pondok al-Amien Prenduan, Sumenep, Madura yang jenjang pendidikannya setingkat atau setara dengan tamatan Sekolah Lanjutan Tingkat Pertama (SLTP) dan sekaligus Sekolah Menengah Umum (SMU). Tamatan kedua pesantren ini dapat mengikuti ujian masuk pada perguruan tinggi negeri di bawah naungan Departemen Pendidikan Nasional.
Pengakuan resmi pemerintah Indonesia terhadap sistem pendidikan (mu’allimin) kedua pesantren tersebut tertulis dalam Keputusan Menteri Pendidikan Nasional dengan Nomor 106/O/2000, yang ditandatangani Dr. Yahya A. Muhaimin di hadapan para pejabat tinggi jajaran Depdiknas di Sawangan, Bogor, Jawa Barat.
Dengan pengakuan resmi tersebut, maka sistem pendidikan mu’allimin yang telah lama dikembangkan di kedua pesantren itu sudah menjadi bagian sistem pendidikan nasional, dan semakin memperkaya sistem pendidikan di Indonesia.
Daftar Pustaka
Azra, Azyumardi. Paradigma Baru Pendidikan Nasional: Rekonstruksi dan Demokratisasi. Jakarta: Penerbit Kompas, 2002.
–––––––. Pendidikan Islam: Tradisi dan Modernisasi Menuju Milenium Baru. Jakarta: Logos Wacana Ilmu, 1999.
van Bruinessen, Martin. Kitab Kuning: Pesantren dan Tarekat. Bandung: Mizan, 1995.
Dhofier, Zamakhsyari. Tradisi Pesantren; Studi tentang Pandangan Hidup Kyai. Jakarta: LP3ES, 1994.
Hiroko Horikoshi. Kyai dan Perubahan Sosial. Jakarta: P3M, 1987.
Rahardjo, M. Dawam, ed. Pergulatan Dunia Pesantren. Jakarta: P3M, 1985.
–––––––, ed. Pesantren dan Pembaharuan. Jakarta: LP3ES, 1974.
Steenbrink, Karel A. Dari Pesantren Hingga Madrasah dan Sekolah Perkembangan Modern Dalam Pendidikan Islam di Indonesia. Belanda: Nejmegen, 1974.
ALWAN KHOIRI dan IDRIS THAHA
__