Istilah “Persia” muncul ketika bangsa Arya (ras Indo-Eropa) menetap setelah menyerbu Iran sekitar 2000 SM. Mereka berasal dari oase di timur dan utara Laut Kaspia. Pada 549 SM Cyrus Agung mendirikan Kekaisaran Persia. Pada 641 M, Persia jatuh ke tangan Islam. Setelah itu, muncul dinasti kecil seperti Samaniyah, Ghaznawiyah, dan Seljuk.
Pada awalnya Persia adalah sebuah tempat di wilayah barat daya negara modern Iran yang mengitari Teluk Persia dan mencakup daerah pusat kekuasaan terakhir Kekaisaran Persia, Persepolis, dan Pasar Godea. Persia yang kemudian disebut Iran oleh penduduknya terdiri atas dataran tinggi yang membentang dari tanah rendah Mesopotamia (sekarang Irak) ke arah timur sampai ke dataran di lembah Sungai Indus (Pakistan).
Nama “Persia” berasal dari Yunani. Orang Yunani menamakan seluruh wilayah propinsi tersebut Parsa, yang dalam dialek Ionia (Yunani) disebut Persis. Wilayah ini pada awalnya merupakan tempat tinggal Dinasti Akhamenida.
Dalam era modern di bawah kepemimpinan Reza Khan (pendiri Di nasti Pahlevi), nama Iran secara resmi diadopsi sebagai bagian dari kebijakan untuk mengagungkan tradisi Akhamenida atau Arya tersebut.
Periode pra-Islam. Berabad-abad sebelum Islam lahir, Persia telah dikuasai tiga dinasti kerajaan dengan daerah taklukan yang cukup luas. Dinasti besar tersebut adalah sebagai berikut:
(1) Dinasti Akhamenida (Kerajaan Persia Lama). Cyrus II (549–529 SM), putra raja Elam (Cambyses I), mendirikan dinasti ini setelah menaklukkan Kerajaan Media yang dipimpin kakeknya (Astyages). Nama Akhamenida diambil dari nama buyut Cyrus II.
Di bawah kekuasaan Dinasti Akhamenida, Kerajaan Persia Lama memiliki kekuasaan yang sangat luas, antara lain meliputi wilayah Mesir, Suriah, Mesopotamia, Macedonia, Yunani, dan Bactria (Tukharistan; kini Afghanistan).
Raja Cyrus II digambarkan sebagai seorang yang sangat berani, toleran, dan baik hati. Karenanya, ia sangat disenangi rakyatnya dan bangsa yang ditaklukkannya. Atas jasa dan sikapnya, ia diberi gelar Cyrus Agung. Dalam suatu pertempuran dengan kaum Massajiin pada 529 SM, Cyrus Agung terbunuh dan dimakamkan di Pasar Godea di daerah kelahirannya, Paristan.
Sepeninggal Cyrus Agung dinasti dipegang anaknya (Cambyses II), dan secara berurutan dikuasai Darius I (521–485 SM), Xerxes (485–465 SM; putra Darius I), kemudian pada akhirnya Darius III sebagai raja terakhir setelah terlebih dahulu ada tujuh orang raja yang memerintah.
Dinasti Akhamenida runtuh akibat serangan yang dilancarkan pada 331 SM oleh Iskandar Zulkarnain atau Alexander Agung (356–323 SM; raja Macedonia dari Yunani) sebagai balasan dari serangan Persia terhadap Yunani pada masa sebelum Iskandar berkuasa.
Melalui serangan ini Iskandar dapat leluasa menjalankan misinya untuk menyebarkan filsafat hellenisme ke seluruh penjuru dunia waktu itu. Di antara para penerus Cyrus Agung, raja yang cukup dikenal dan dinilai berhasil membangun kekuasaan dinasti adalah Raja Darius I.
(2) Dinasti Arsacid (Kerajaan Parthia). Runtuhnya Kerajaan Persia diiringi dengan melemahnya kekuatan kerajaan di sekitar Persia akibat politik pecah belah yang dilakukan Alexander Agung. Daerah di Persia pasca-Darius III dipegang para penguasa lokal yang disebut dengan Muluk at-Tawa’if ‘raja kelompok atau golongan’ karena wilayah kekuasaan mereka berbasis pada kesukuan.
Di antara kerajaan tersebut adalah Armenia, Media, Babilonia, Paristan, Bactria, dan Parthia. Keseluruhan kerajaan lokal tersebut berada dalam kekuasaan Yunani yang dipegang Seleucus Nikator setelah mangkatnya Alexander Agung.
Oleh Seleucus wilayah kerajaan tersebut diserahkan kepada raja Syam (Suriah) atau kaum Suluqiyah sebagai kepanjangan tangannya. Selama berada dalam kekuasaan raja Suriah tersebut sering terjadi pemberontakan yang dilakukan oleh kerajaan di wilayah Persia.
Kerajaan Parthia di bawah pimpinan Arsaces berhasil memberontak dan keluar dari kekuasaan Yunani bahkan berhasil menghimpun kekuatan dengan menyatukan beberapa kerajaan di sekitarn-ya. Langkah itu membuat Parthia menjadi sebuah kerajaan besar dan dari waktu ke waktu menguasai banyak wilayah kekuasaan di dataran Persia dan sekitarnya.
Raja dari Dinasti Arsacid yang paling terkenal setelah Arsaces adalah Mithridates I. Di bawah pemerintahannya wilayah kekuasaan kerajaan mengalami perluasan cukup signifikan bahkan seluruh Muluk at-Tawa’if di Semenanjung Persia takluk kepadanya.
Mithridates I juga dikenal sebagai seorang raja yang pertama kali membuat konstitusi untuk membatasi kekuasaannya dan membentuk lembaga permusyawaratan sebagai badan musyawarah pengambilan keputusan.
Dinasti Arsacid berhasil menguasai wilayah Persia dalam waktu yang relatif panjang, yaitu sekitar 476 tahun. Dinasti ini runtuh saat masa kepemimpinan Raja Artabanus V pada tahun 226 yang dibunuh oleh pasukan Raja Ardashir dari Kerajaan Persia (Dinasti Sasaniyah).
(3) Dinasti Sasaniyah (Kerajaan Persia). Setelah mengalahkan Artabanus V, Ardashir segera menobatkan dirinya sebagai raja penguasa wilayah kekuasaan yang dahulunya berada di bawah kekuasaan Dinasti Arsacid. Muluk at-Tawa’if yang memang sudah ditaklukkannya sebelum mengalahkan Artabanus V pada masa pemberontakan dahulu semakin digenggam dalam kekuasaannya.
Obsesinya untuk mengembalikan kekuasaan raja Akhamenida (nenek moyang Ardashir) semakin mendorongnya untuk terus melakukan ekspansi kekuasaan di seluruh dataran Persia.
Setelah Ardashir mangkat, kerajaan dipimpin putranya, Shapur II. Pada masa kemudian dinasti dipimpin ke turunannya sampai digantikan oleh Kisra Anushirwan. Setelah era kekuasaan Kisra seluruh raja Dinasti Sasaniyah memakai Kisra di depan nama mereka. Raja terakhir yang memakai nama ini adalah Yazdajird III, raja yang mengakhiri simbol kekuasaan Dinasti Sasaniyah.
Kerajaan ini runtuh setelah ditaklukkan pasukan Islam yang dipimpin Sa‘d bin Abi Waqqas (sahabat) pada masa kepemimpinan Khalifah Umar bin Khattab. Yazdajird III wafat dalam kesendiriannya di pelarian pada masa Khalifah Usman bin Affan.
Periode Kedatangan Islam. Ketika melakukan invasi ke Persia, Khalifah Umar hingga Usman tidak melakukan berbagai perubahan berarti kecuali pada aspek keagamaan dan kebudayaan. Pada masa sebelum Islam kebudayaan Persia banyak mengadopsi budaya hellenisme (Yunani), sedangkan pada masa Islam budaya tersebut diabsorpsi dengan menambahkan nilai keislaman di dalamnya.
Kebudayaan Yunani sama sekali tidak dibuang bahkan diasimilasikan dengan kebudayaan Islam. Di negeri inilah budaya hellenisme Islam berkembang dengan pesat, misalnya dalam ilmu filsafat, dan dampaknya dapat disaksikan sampai sekarang di negara Iran modern.
Ketika era al-Khulafa’ ar-Rasyidun berakhir, secara berturut-turut wilayah Persia dikuasai Daulah Umayah dengan ibukota Damascus (661–750) dan Daulah Abbasiyah dengan ibukota Baghdad (749–1258). Kedua dinasti tersebut menempatkan anggota garnisun dari kalangan suku Arab untuk mengontrol area Persia. Beberapa jabatan strategis kekuasaan di wilayah Persia juga diberikan kepada suku Arab.
Politik arabisasi dilancarkan penguasa Daulah Umayah sebagai upaya memperkukuh hegemoni politik daulah ini terhadap rakyat Persia yang jauh dari pusat kekuasaan. Daulah Abbasiyah tidak lagi memberlakukan politik arabisasi, tetapi dengan memindahkan pusat kekuasaan dari Damascus ke Baghdad.
Akibat tindakan politik tersebut terjadi pergolakan dalam pemerintahan. Kontrol terhadap propinsi taklukan semakin melemah karena terjadi konflik dalam pemerintahan Umayah maupun Abbasiyah itu sendiri; kebijakan politik keduanya juga kurang persuasif.
Pembangkangan terbuka Persia terhadap Daulah Abbasiyah adalah pendirian “quasidinasti” independen, misalnya Dinasti Samaniyah (819–1005) yang menguasai wilayah utara Persia dan Asia Tengah dengan menggunakan “atas nama Abbasiyah”. Pemerintahan Samaniyah dikenal karena berhasil membawa Persia menuju kemakmuran dan kedamaian, yang ditandai dengan per-tumbuhan dunia artistik.
Sejarah kekuasaan di Persia pada periode selanjutnya dipegang Dinasti Seljuk (1038–1194). Kaum Turkoman, sebutan lain Dinasti Seljuk, menguasai Persia atas motivasi untuk menumpas sisa-sisa kaum Ghaznawiyah yang melari kan diri ke Persia. Pada saat bersamaan pengaruh kekuasaan Umayah di Persia mulai melemah. Ketika itulah Dinasti Seljuk menancapkan pengaruh kekuasaannya di Persia.
Nama Dinasti Seljuk diambil dari nama pemimpin pertamanya yang bernama Seljuk bin Duqaq (pemimpin kabilah Guzz dari Turkistan) yang berhasil menyatukan solidaritas lintas kesukuan untuk berperang melawan kerajaan Ghaznawiyah.
Ghaznawiyah berhasil digulingkan kaum Seljuk pada masa kepemimpinan Tugril Beq (memerintah 1038–1063) yang membunuh putra mahkota raja Ghaznawiyah (Sultan Mahmud Ghaznawi) yang bernama Mas‘ud Ghaznawi dalam suatu peperangan di kota Sarakhs.
Penggulingan kerajaan Ghaznawiyah menjadikan kaum Seljuk merdeka sekaligus memproklamasikan diri sebagai kerajaan tersendiri yang kemudian diakui oleh khalifah Abbasiyah.
Seiring dengan runtuhnya imperium Islam di Seme nanjung Arabia dan sekitarnya akibat invasi tentara Mongol pada abad ke-13, Dinasti Seljuk pun jatuh ke tangan Mongol. Persia dikuasai Mongol selama kurang lebih 3 abad. Selanjut-nya Persia diperintah Dinasti Safawi (1501–1732).
Dinasti ini pertama kali dipimpin oleh Isma‘il Safawi, seorang pemimpin yang memegang dua kekuasaan sekaligus: agama dan politik. Dengan mengklaim diri sebagai keturunan Nabi Muhammad SAW, para penguasa Safawi menetapkan Syiah sebagai aliran resmi negara.
Sejak inilah pengaruh ajaran Syiah menjadi luas dan mengakar di wilayah Persia bahkan hingga kini. Cerita kekaisaran di Persia diakhiri oleh suku Qajar yang memer-intah pada 1797–1924 setelah Safawi dilumpuhkan negeri Afghanistan.
DAFTAR PUSTAKA
Browno, E.G. The Persian Revolution of 1906–1909. London: Cambridge Uni-versity Press, 1910.
Iliffe, J.H. “Persia and the Ancient World,” The Legacy of Persia, ed. A.J. Arberry. Oxford: Oxford University Press, 1953.
Morgan, David. Medieval Persia, 1047–1797. London: Longman, 1988.
Shuster, W. Morgan. The Strangling of Persia. London: Adelphi Terrace, 1912.
Syalabi, A. Sejarah dan Kebudayaan Islam, terj. Jakarta: al-Husna Zikra, 2000.
Yahya, Mukhtar. Perpindahan-Perpindahan Kekuasaan di Timur Tengah sebelum Lahir Agama Islam. Jakarta: Bulan Bintang, 1985.
DIN WAHID
__