Pemberontakan Banten disebabkan oleh sejumlah faktor: tradisi perlawanan Banten terhadap Belanda; kaum bangsawan tersingkir dari panggung politik; kehidupan beragama dipersulit; adanya pemimpin revolusioner; dan adanya mobilisasi lewat tarekat.
Pemberontakan Banten merupakan peristiwa penting dalam sejarah Banten di pengujung abad ke-19 akibat penetrasi dan kebijakan pemerintah kolonial Belanda. Peristiwa ini juga disebut pemberontakan petani Banten yang berawal di Cilegon pada hari Minggu, 8 Juli 1888.
Ketika itu ratusan kiai dan santri mengadakan arak-arakan dan berkumpul di rumah H Tubagus Kusen, penghulu Cilegon. Dalam bukunya, The Peasants’ Revolt of Banten in 1888, Sartono Kartodirdjo (sejarawan) menjelaskan peristiwa ini berlangsung dalam tempo 5 hari (8–13 Juli).
Tetapi, akarnya dapat dirunut ke belakang dalam perkembangan sosial historis yang terjadi sebelumnya. Kebijakan pemerintah kolonial Belanda yang mengharuskan petani membayar pajak dan mengontrol politik masyarakat pedesaan merupakan faktor pemicu terjadinya aksi sosial.
Di beberapa daerah, kebijakan kolonial Belanda ini menimbulkan ketidakpuasan sosial yang sering kali berujung pada sebuah pemberontakan. Pada abad ke-19, terutama sejak paruh kedua, pemberontakan para petani merupakan peristiwa umum yang terjadi di desa-desa Jawa dan Sumatera.
Faktor lain yang turut mendorong meletusnya peristiwa ini ialah longgarnya atau rusaknya tatanan tradisional sebagai akibat dari penetrasi budaya, Belanda. Masyarakat Anyer di ujung barat Banten, tempat awal pemberontakan ini, masih berpegang teguh pada tatanan dan sistem kehidupan religius-tradisional.
Di daerah ini para tokoh agama dan guru tarekat memainkan peran penting dalam kehidupan masyarakat. Akibat penetrasi Belanda, posisi mereka sebagai kelompok elite terancam. Menjelang meletusnya pemberon-takan, para tokoh agama berperan penting dalam merancang seluruh proses peristiwa tersebut.
Karena melibatkan peran para elite agama, pemberontakan ini tidak semata-mata sebagai peristiwa sosial, politik, dan ekonomi, namun juga keagamaan.
Meskipun pemberontakan ini terjadi dalam waktu singkat, dampak yang ditimbulkannya cukup besar sehingga menarik perhatian pemerintah pusat kolonial Belanda di Batavia. Karena itu, peristiwa ini terekam dengan baik dalam arsip kolonial.
Besarnya peran para haji dalam pemberontakan itu menunjukkan bahwa peristiwa ini sarat dengan pengaruh unsur agama. Ciri paling umum gerakan keagamaan pada abad ke-19 adalah adanya unsur milenarian, ide eskatologis Islam dalam kepercayaan akan datangnya Imam Mahdi.
Dalam konteks ini ide perang sabil dan jihad menjadi motivasi penting bagi pengikut Tarekat Kadiriyah untuk terlibat dalam peristiwa tersebut. Masyarakat umumnya percaya bahwa mereka melakukan perang suci melawan pemerintah Be-landa yang kafir. Perang suci ini bertujuan untuk mendirikan kembali kesultanan Islam Banten.
Pemimpin pemberontakan ini antara lain adalah Haji Abdul Karim, pemimpin Tarekat Kadiriyah di Banten. Ia berhubungan baik dengan Haji R.A. Prawiranegara, pensiunan patih dari Serang. Ceramah keagamaannya yang sangat tajam mengkritik pemerintah Belanda memiliki pengaruh kuat di tengah masyarakat.
Pada umumnya masyarakat percaya bahwa Haji Abdul Karim adalah seorang waliyullah yang memiliki kekeramatan dan berkah. Karena penghormatan masyarakat kepadanya sangat besar, pada perkembangan selanjutnya ia digelari Kiai Agung.
Di antara muridnya yang terlibat langsung dalam pemberontakan adalah Haji Sangadeli dari Kaloran, Haji Aswani dari Bendung Lampuyang, Haji Abu Bakar dari Pontang, Haji Tubagus Ismail dari Gulacir, dan Haji Marjuki dari Tanara.
Haji Tubagus Ismail menjadi pimpinan pergerakan setelah kepergian Haji Abdul Karim ke Mekah pada awal 1876. Ia diangkat sebagai khalifah Tarekat Kadiriyah menggantikan Syekh Ahmad Chatib Sambas yang berkedudukan di Mekah. Seperti terlihat pada namanya, Tubagus Ismail merupakan keturunan bangsawan Banten.
Meskipun secara formal ia tidak memiliki kekuasaan apa pun, Tubagus Ismail memiliki pengaruh yang sangat besar di kalangan masyarakat. Bersama dengan Haji Marjuki, seorang tokoh Banten yang baru pulang dari Mekah dan membawa pesan khusus dari Haji Abdul Karim, Tubagus Ismail berkeliling Banten, Tangerang, dan Betawi.
Mereka berbicara mengenai pentingnya berjuang melawan penguasa kafir. Usaha ini mereka lakukan menjelang meletusnya pemberontakan pada 1888.
Pada detik-detik menjelang terjadinya pemberontakan, muncul seorang pemimpin yang selanjutnya sangat ber pengaruh dalam seluruh proses peristiwa tersebut. Ia adalah Haji Wasid. Namanya sangat melekat dengan peristiwa pemberontakan karena ia memimpin peristiwa tersebut dari awal sampai akhir.
Bahkan ia sendiri menentukan tanggal melakukan perlawanan tersebut. Haji Wasid adalah pengikut Tarekat Kadiriyah. Di samping itu, ia juga merupakan guru silat yang terkenal. Menjelang pemberontakan, masyarakat Banten yang tergabung dalam gerakan Haji Wasid berlatih silat setiap saat sebagai persiapan terakhir sebelum melan-carkan pemberontakan.
Menurut rencana, pemberontakan akan dilangsungkan pada 9 Juli 1888. Pemberontakan pertama terjadi di Cilegon, tempat Haji Wasid tinggal. Begitu Cilegon bergerak, kelompok Serang langsung beraksi. Demikian pula dengan kelompok lainnya, semua harus melaksanakan tugas yang telah ditetapkan.
Dalam aksinya, para pemberontak melancarkan sasaran pada sejumlah tokoh yang merupakan representasi penjajah kafir, antara lain para wedana, asisten wedana, jaksa, residen, asisten residen, dan jajarannya. Dalam peristiwa tersebut 17 orang meninggal, antara lain Johan Hendrik Hubert Gubbels (asisten residen Anyer) dan Raden Cakraningrat (wedana Cil-egon).
Haji Wasid dan Haji Tubagus Ismail, pemimpin utama pemberontakan, termasuk di antara 30 pemberontak yang dilaporkan tewas di daerah Sumur. Mayatnya kemudian dibawa ke Cilegon untuk diperlihatkan kepada masyarakat. Sementara itu beberapa pemimpin pemberontak menyingkir ke daerah Banten Selatan.
Menyikapi pemberontakan ini, para elite Belanda dan ningrat melangsungkan sebuah pertemuan penting di Labuan, Banten. Dalam pertemuan itu hadir asisten residen Caringin, Van der Meulen; patih Pandegelang, Raden Surawinangun; jaksa Caringin, Tubagus Anglingkusuma; Kapten Veenhuyzen; Letnan Visser; dan Sersan Wedel. Mereka menghasilkan sebuah kesepakatan untuk menumpas pemberontakan secepatnya.
Peristiwa Cilegon merembet ke tempat lain di Banten. Setelah kejadian tersebut, masyarakat Banten terus memberikan perlawanan terhadap pasukan pemerintah Belanda, meski tidak dalam skala besar.
DAFTAR PUSTAKA
Ageyasakere, Susan. “Social and Economics Effectsof Increasing European Pen-etration in the Nineteenth and Twentieth Centuries,” Studies in Indonesian History. Victoria: Pitman, 1976.
Boland, B. J., dan I. Farjon. Islam in Indonesia: A Bibliographical Survey. Holland: Koninklijk Instituut voor Taal, Land en Volkenkunde, 1983.
Kartodirdjo, Sartono. The Peasants’ Revolt of Banten in 1888. ‘s-Gravenhage: Martinus Nijhoff, 1966.
–––––––. Protest Movement in Rural Java: A Study of Agrarian Unrest in the Nineteenth and Early Twentieth Century. Singapura: Oxford University Press, 1973.
Steenbrink, Karel A. Beberapa Aspek tentang Islam di Indonesia Abad ke-19. Jakarta: Bulan Bintang, 1984.
William, Michael Charles. Communism, Religion, and Revolt in Banten. Ohio:Ohio University Center for International Studies, 1990.
Din Wahid
__