Partai politik sebagai pilar demokrasi merupakan media efektif artikulasi dan agregasi kepentingan rakyat dalam ikut menentukan kebijakan negara. Demokrasi sebagai prinsip legitimasi kedaulatan publik meletakkan partai politik sebagai alat yang sah bagi proses pergantian pemimpin dan pelembagaan kebijakan publik.
Pada awalnya partai politik merupakan langkah radikal di tengah hegemoni sistem sentralistik dan aristokratik. Negara modern di Barat, yang kini menganut sistem politik demokrasi, pada awalnya merupakan negara sentralistik dan aristokratik yang meletakkan seluruh keputusan di tangan elite politik atau raja.
Banyak definisi yang diberikan para ahli tentang partai politik. Sigmund Neumann, seorang pelopor studi partai politik, mendefinisikan partai politik sebagai “organisasi yang melaksanakan aktivitas politik yang bertujuan untuk mendominasi kekuasaan pemerintah serta menarik dukungan masyarakat atas dasar persaingan dengan kelompok lain yang memiliki pandangan atau ideologi berbeda”.
Definisi lain dinyatakan Carl Joachim Friedrich (pakar ilmu politik dari Amerika Serikat) bahwa partai politik adalah “sebuah organ-isasi yang dibentuk dengan tujuan merebut atau memper-tahankan kekuasaan pimpinan partainya di pemerintahan”. Kedua definisi tersebut memperlihatkan adanya kesamaan dalam memahami partai politik, yaitu merebut atau mempertahankan kekuasaan sebagai tujuan utamanya.
Partai politik merupakan media perebutan kekuasaan. Inilah yang membedakan partai politik dari kelompok kepentingan (interest group) atau kelompok penekan (pressure group).
Orientasi kekuasaan yang ada pada partai politik merupakan ciri khas terpenting yang membedakannya dari organisasi atau kelompok lain. Di samping itu, secara keorganisasian, partai politik lebih ketat dan kuat daripada kelompok atau organisasi lain.
Secara historis, partai politik yang terorganisasi muncul pada akhir abad ke-18 di Eropa Barat. Kemunculan partai politik didorong keinginan kelompok di luar lingkungan kekuasaan politik untuk bersaing memperebutkan kekuasaan dan mengendalikan kebijakan pemerintah.
Munculnya partai politik biasanya dipelopori kelas menengah dan kelas buruh yang mendesak kelas atas dan kaum aristokrat agar mereka dapat berpartisipasi dalam pengambilan kebijakan. Pada titik ini partai politik menjadi media penghubung antara pemerintah dan masyarakat.
Dalam perkembangan selanjutnya, sistem politik sangat menentukan pola hubungan antara negara dan masyarakat, dan di luar parlemen muncullah partai politik. Partai ini biasanya bersandar pada suatu pandangan hidup atau ideologi tertentu, seperti sosialisme dan Kristen, dan kemudian juga Islam.
Biasanya disiplin di dalam partai seperti ini lebih kuat karena sistem kepemimpinannya lebih sentralistik. Di samping itu, ada partai politik yang didirikan dalam rangka pergerakan nasional untuk menyaingi politik anggota dewan yang dibentuk kaum kolonial. Partai politik seperti ini biasanya tidak terlibat dalam parlemen, tetapi menjadi kekuatan di luar dewan dan secara tidak langsung merupakan bentuk protes dari kalangan pribumi terhadap kaum penjajah.
Mereka tidak mau masuk ke dalam dewan yang dibentuk kaum kolonial karena menganggapnya tidak mampu mewujudkan tujuan esensial partai politik, yaitu mengendalikan kekuasaan.
Partai politik terkait erat dengan masyarakat sebagai konstituennya. Partai politik bisa dibentuk oleh siapa saja dan kelompok mana pun. Kesamaan kepentingan dan aspirasi pada akhirnya bisa mengkristal menjadi partai politik. Kelompok kepentingan lebih berorientasi pada upaya mempengaruhi kebijakan, sedangkan partai politik pada kekuasaan atau pergantian kepemimpinan.
Pada hakikatnya pembentukan partai politik bisa dilakukan siapa saja, namun dalam prosesnya sering kali berbenturan dengan kebijakan khusus yang dikeluarkan negara. Dengan demikian, tidak semua orang dalam sebuah negara bisa mendirikan partai politik.
Di negara otoriter, partai politik sepenuhnya ditentukan penguasa. Partai politik dibentuk hanya sebagai alat untuk mempertahankan status quo. Di negara demokratis, partai politik bisa dijadikan media untuk melihat tingkat partisipasi masyarakat dalam kancah politik. Tingkat aktivitas yang terkait dengan partai politik menunjukkan tingkat partisipasi politik masyarakat.
Partai politik merupakan saluran paling efektif di antara saluran-saluran politik lain, misalnya kelompok kepentingan atau kelompok penekan, karena partai politik secara langsung terlibat dalam proses-proses politik. Adapun kelompok kepentingan dan kelompok penekan lebih berfungsi sebagai penghimpun kepentingan masyarakat yang lebih spesifik.
Tugasnya terbatas pada penampilan isu penting dalam masyarakat tanpa didasari hasrat untuk menduduki jabatan publik pemerintahan. Adapun partai politik bisa mengartikulasi dan mengagregasi kepentingan masyarakat secara umum, baik menyangkut masalah ekonomi, budaya, politik, maupun hukum.
Banyak fungsi yang diemban partai politik, antara lain sebagai wadah
(1) sosialisasi politik: partai politik merupakan salah satu media yang bertanggung jawab untuk menumbuhkan sikap, orientasi, dan kesadaran politik masyarakat;
(2) partisipasi politik: partai politik berfungsi sebagai sarana mobilisasi warga negara ke dalam kegiatan politik;
(3) rekrutmen politik: partai politik merupakan sarana rekrutmen dengan cara mengajak orang yang berkualitas untuk aktif sebagai anggota partai;
(4) komunikasi politik: partai politik mengkomunikasikan informasi dan gagasan politiknya kepada masyarakat;
(5) artikulasi dan agregasi politik: partai politik menampung dan mengelola berbagai tuntutan masyarakat (interest aggregation) menjadi kebijakan pemerintah; dan
(6) pengatur konflik: partai politik mengelola berbagai kepentin-gan dan meminimalisasi kemungkinan konflik.
Keenam fungsi tersebut dalam praktiknya tidak sepenuhnya dapat berjalan, tergantung pada sistem dan situasi politik yang berlangsung di suatu negara. Tidak jarang fungsi tersebut justru memunculkan persoalan baru karena ketidakmampuan partai politik itu sendiri mengaplikasikan fungsinya secara proporsional.
Partai politik dapat diklasifikasi melalui berbagai sudut pandang. Dari sudut keanggotaan, partai politik bisa diklasifikasi ke dalam dua macam, yaitu partai kader dan partai massa. Partai kader biasanya lebih mementingkan sistem organisasi dan mekanisme kerja anggota secara ketat. Doktrin dan ideologi partai merupakan taruhan paling penting dalam perjalanan partai. Seleksi keanggotaannya pun dilakukan dengan sangat selektif.
Adapun partai massa lebih mengutamakan jumlah konstituen. Kuantitas anggota menjadi target utama partai massa ini. Masing-masing partai baik yang berorientasi pada kader (kualitas) maupun massa (kuantitas) memiliki kelebihan dan kelemahannya masing-masing.
Potensi konflik pada partai kader sangat kecil karena ada seleksi dan indoktrinasi yang ketat, sebaliknya pada partai massa konflik sangat terbuka karena di dalamnya terkandung beragam anggota dan kepentingan. Secara kuantitas konstituen, partai massa lebih unggul daripada partai kader.
Menurut jenisnya partai politik bisa dibagi menjadi dua, yaitu sistem satu partai dan sistem satu partai dominan. Contoh sistem satu partai adalah
(1) partai komunis yang menindas oposisi;
(2) partai konservatif atau fasis yang mengekang gerakan liberal dan radikal, tetapi mengizinkan kelompok bisnis, agama, dan pemilik tanah yang konservatif untuk ikut berpengaruh; dan
(3) partai bangsa baru merdeka dengan maksud mencegah disintegrasi. Adapun contoh sistem satu partai dominan adalah yang pernah terjadi di Mexico (Partai Institusional Revolusioner), India (Partai Kongres), dan di Indonesia (Golkar pada masa Orde Baru).
Di samping sistem satu partai, juga dikenal sistem banyak partai (multipartai). Sistem multipartai ini bisa dibedakan ke dalam dua jenis, yaitu sistem dua partai (seperti di Inggris dan Amerika Serikat) dan sistem banyak partai (seperti di Belanda, Perancis, Malaysia dan Indonesia).
Keberadaan sistem kepartaian tersebut berdasarkan pada konsensus pada masing-masing negara. Konsensus tersebut sangat dipengaruhi oleh perjalanan sejarah dan sosial-budaya masyarakatnya.
Masalah jumlah partai tidak terkait dengan stabilitas politik dan keamanan suatu negara. Pada kenyataannya ada negara yang memiliki banyak partai, tetapi tingkat stabilitasnya tetap terjamin. Sebaliknya ada negara yang memiliki sedikit partai, tetapi tingkat stabilitas pemerintahannya lemah.
Menurut tujuannya partai politik bisa dibedakan atas tiga bagian:
(1) partai perwakilan kelompok,
(2) partai pembinaan bangsa, dan
(3) partai mobilisasi atau integrasi.
Ketiga tujuan ini tergantung pada kepentingan dan sistem kenegaraan yang ada. Di negara rezim otoriter tujuan partai cenderung pada mobilisasi bagi kepentingan status quo. Di negara yang baru merdeka partai politik biasanya lebih diarahkan pada pembinaan kesatuan bangsa.
Adapun di negara modern dengan tingkat diferensiasi sosial yang ketat, partai politik lebih berorientasi pada kepentingan kelompok, seperti buruh, petani, dan agama.
Sebagai bagian pilar demokrasi, keberadaan partai politik menjadi tuntutan yang tidak terelakkan bagi negara modern. Partai politik sebagai sebuah produk proses modernisasi merupakan fenomena baru dalam dunia Islam. Berdasarkan definisi partai politik seperti tersebut di atas, maka di dalam ajaran Islam tidak terkandung nilai yang mengarah ke hal tersebut.
Namun partai politik sebagai bagian pilar demokrasi yang mengharuskan adanya yang dipilih (pemimpin) dan pemilih (masyarakat) bukanlah hal baru dalam Islam. Paling tidak ada beberapa term dalam khazanah Islam yang mengarah pada nilai tersebut, seperti kata ijma‘ (konsensus), ikhtiyar (pemilihan), dan syura (musyawarah), walaupun tidak terperinci dalam hal proses pelaksanaannya. Juga terdapat istilah Qur’ani, hizb, yang sekarang digunakan untuk mengacu kepada istilah partai (party).
Seiring dengan perkembangan adopsi konsep nasio nalisme dan nation state di dunia muslim, semakin banyak negara muslim mengadopsi sistem kepartaian dengan corak ideologi yang beragam. Partai politik sebagai media penyaluran aspirasi masyarakat hadir di berbagai negara muslim yang bercorak republik seperti Turki, Mesir, Aljazair, Pakistan, Iran, dan Indonesia.
Ini menjadi salah satu bukti kuat bahwa aspek yang terkait dengan demokrasi, seperti keberadaan partai politik, juga dapat diterapkan sesuai dengan perspektif Islam. Namun demikian, sulit dipungkiri bahwa demokrasi dengan segala corak dan ideologinya tidak sepenuhnya diterima semua umat Islam.
Sebagian umat Islam menganggap bahwa sistem kepartaian hanya menimbulkan ahibiyyah (fanatisme kepartaian), yang pada gilirannya membuat umat Islam terpecah belah.
Daftar Pustaka
Eickelman, Dale F. dan James Piscatori. Ekspresi Politik Muslim. Bandung: Mizan, 1998.
Ma’arif, Ahmad Syafi‘i. Islam dan Masalah Kenegaraan. Jakarta: LP3ES, 1985.
Smith, Donald Eugene. Agama dan Modernisasi Politik: Suatu Kajian Analitis. Jakarta: Rajawali Pers, 1985.
A. BAKIR IHSAN
__