Palembang, Kesultanan

Menurut cerita raja-raja Melayu, Kesultanan Palembang berdiri pada 575 H/1179 M, bersamaan dengan masa disintegrasi Sriwijaya. Karena kontrol Sriwijaya lemah, Palembang di muara Sungai Musi melepaskan diri. Majapahit di Jawa melebarkan kekuasaannya dengan menempatkan seorang adipati (Aria Damar) di Palembang.

Pada masa Kesultanan Demak, Palembang menjadi daerah yang secara politis cukup penting karena raja Demak yang pertama, Raden Fatah, pada masa kecilnya dididik Aria Damar. Sementara itu, Sultan Trenggono, raja yang menggantikan Raden Fatah, beristrikan seorang wanita Palembang yang masih keturunan Aria Damar sehingga ia dijuluki Ki Mas Palembang.

Perkawinan­ ini membuat posisi Palembang semakin­ penting­ di mata Demak, tidak hanya karena Palembang peng­hasil rempah-rempah yang mendatangkan­ banyak keuntungan­ ekonomis bagi Demak, tetapi juga karena Palem­bang dapat men­jadi sekutu utama di sebelah barat.

Pada periode Raden Fatah dan Sultan­ Trenggono, hubungan Demak dan Palembang menjadi sangat penting­. Tetapi hal itu tidak terjadi pada masa selanjutnya. Ketika terjadi perebutan­ kekuasaan sepeninggal­ Sultan Trenggono, yakni pada waktu salah seorang menantunya (Adiwijaya alias Joko Tingkir) memberontak dan memindahkan ibukota dari Demak ke Pajang, Palembang seakan memiliki peluang untuk melepaskan diri dari kekuasaan pusat.

Seorang pangeran dari Surabaya yang bernama Pangeran Sidang Lautan, dalam sumber lokal disebut Ki Gedeng Suro (1539–1572), dipercaya sebagai raja pertama Palembang­ yang kemudian menurunkan raja-raja Palembang. Sejak itu, Palembang merupakan kesultanan merdeka yang berperan penting dalam sejarah perkembangan Islam di Nusantara.

Masa kekuasaan Ki Gede Ing Suro Ilir atau Pangeran Kimas Dipati (1589–1594) sampai masa kekuasaan Seding Pura (1630–1639) merupakan masa penegakan kekuasaan. Di sebelah timur, kekuasaan Palembang bertemu dengan Belanda yang mencoba menguasai Banten. Akibatnya, perang dengan Belanda tak terhindarkan.

Pada masa pemerintahan Sedo Ing Kenayan, Belanda menyerang dan membakar kota (1659) yang mengakibatkan raja menyingkir­ ke Indralaya. Raden Tumenggung kemudian naik takhta dan bergelar Sultan Abdurrachman.

Melihat kekuasaan Palembang yang semakin besar, Belanda sering kali ikut campur dalam proses pencalon­an­ sultan baru. Ini misalnya terjadi pada masa perganti­an kekuasaan Sultan Mahmud Badaruddin (1804–1812) dengan Sultan Ahmad Najamud­din. Akan tetapi konsolidasi­ yang cukup rapi mengakibat­kan­ Belanda tidak mampu menembus jantung pertahanan kekuasaan di Palembang.

Masuknya Islam ke Palembang. Ada pendapat yang menyatakan bahwa­ Islam sudah masuk ke Palembang sejak abad ke-7. Pada saat itu Palembang­ berada di bawah kekuasaan Sriwijaya yang masih sangat kuat. Sejumlah pedagang muslim yang berasal dari Arab dan Gujarat singgah transit di Palembang sebelum melanjutkan perjalanan­ ke negeri di sebelah timur.

Teori lain menyatakan­ bahwa masuknya Islam ke Palembang bersamaan dengan ekspedisi Kesultanan Banten yang memperluas kekuasaannya­ di Pulau Sumatera. Dalam ekspedisi ini Sultan Maulana Muhammad (me­merintah 1580–1596) dari Banten tewas di ujung senjata pasukan Palembang yang tidak mau bertekuk lutut terhadap­ Banten.

Meskipun para ahli berbeda pendapat mengenai awal masuknya Islam ke Palembang, yang jelas perkembangan pesat baru terjadi pada abad ke-16. Pada saat itu masjid didirikan sebagai pusat penyebaran Islam. Pada masa pemerintahan Sultan Ahmad Najamuddin Adi Kesumo, putra Sultan Mahmud Badaruddin Jaya Wikrama, didirikan sebuah masjid dengan menara tambun persegi enam setinggi 70 kaki.

Sampai saat ini keberadaan bangunan bersejarah tersebut masih terjaga. Konon yang menentukan bentuk arsitektur masjid ini ialah Sultan Badaruddin sendiri. Pelaksanaan pembangunannya dilakukan secara kerja bakti oleh ribuan rakyat Kesultanan Palembang. Sejak Kesultanan Palembang dihapuskan oleh pemerintah kolonial Hindia Belanda pada 7 Oktober 1823, nama masjid ini ditetapkan menjadi Masjid Agung Palembang.

Tidak hanya masjid yang didirikan, pranata sosial keagamaan pun dibangun. Pada abad ke-17 didirikan pranata keagamaan seperti tergambar dalam Kontrak Palembang 20 Oktober 1642 yang menyebut adanya peja­bat tinggi agama. Di samping itu, juga dibuat Undang-Undang Simbur Cahaya yang mengatur tata hubungan sosial, keagamaan, hukum, dan politik.

Dalam undang-undang tersebut, Islam menjadi landasan moral dan hukum bagi segenap lapisan masyarakat. Bahkan Husni Rahim (penulis Sistem Otoritas dan Administrasi Islam, Studi tentang Pejabat Agama Masa Kesultanan dan Kononial di Palembang) menyebutkan bahwa Kesultanan Pelembang memiliki tata peradilan agama yang dapat diandalkan.

Pada masa kejayaannya, Kesultanan Palembang me­rupakan pusat peradaban dan kebudayaan Islam yang cukup penting di Nusantara. Beberapa ulama besar lahir di sana, antara lain yang sangat terkenal Syekh Muhammad Syihabuddin, Kemas Fakhruddin, dan Syekh Abdus Samad al-Palimbani (1704–1788).

Abdus Samad merupakan sufi dan pemimpin tarekat yang menjadi mata rantai cukup penting bagi perkembangan tarekat selanjutnya di Nusantara. Tetapi, pada saat yang sama ia juga menghimbau­ kaum muslimin berjihad melawan kolonialisme Belanda. Pada masanya, Palembang mulai melemah dan jatuh ke tangan kolonial Hindia Belanda.

Kebenciannya terhadap pemerintahan kolonial Hindia Belanda membuat ia mengarang sebuah kitab yang khusus membahas keharusan berjihad melawan penjajah. Kitab itu berjudul Nahihah al-Muslimin wa Tadzkirah al-Mu’minin fi Fadha’il al-Jihad fi Sabil Allah wa Karamah al-Mujahidin (Nasihat bagi Muslimin dan Peringatan bagi Mukminin mengenai Keutamaan Jihad di Jalan Allah). Kitab ini dipercaya memiliki pengaruh besar dalam pembangkitan perlawanan terhadap penjajah Belanda.

DAFTAR PUSTAKA

Abdullah, Ma’moen. “Masuk dan Berkembangnya Islam pada Zaman Kesultanan di Palembang,” Masuk dan Berkembangnya Islam di Sumatera Selatan, ed. O. Gadjahnata dan Sri-Edi Swasono. Jakarta: UI Press, 1986.
Abdullah, Taufik. Schools and Politics: The Kaum Muda Movement in West Sumatra (1927–1933). Ithaca: Cornell Modern Indonesian Project, 1971.
Azra, Azyumardi. Jaringan Ulama Timur Tengah dan Kepulauan Nusantara Abad XVII dan XVIII: Melacak Akar-Akar Pembaruan Pemikiran Islam di Indonesia. Bandung: Mizan, 1988.
Drakard, Jane. A Malay Frontier: Unity and Duality in a Sumatran Kingdom. Ithaca: Cornell University Southeast Asia Program, 1990.
Rahim, Husni. Sistem Otoritas dan Administrasi Islam: Studi tentang Pejabat Agama Masa Kesultanan dan Kolonial di Palembang. Jakarta: LOGOS, 1998.
Woelders, M.O. Het Sultanat Palembang. ‘s-Gravenhage: Martinus Nijhoff, 1975.

DIN WAHID