Perang Paderi adalah perlawanan rakyat Minangkabau terhadap Belanda yang berkobar pada awal abad ke-19. Pada awalnya perang ini merupakan gerakan pembaruan kehidupan keagamaan, tetapi kemudian berubah menjadi perang perlawanan rakyat Minangkabau di bawah pimpinan para ulama terhadap intervensi Belanda.
Menurut sebagian sejarawan, kata “paderi” menunjuk kepada sejumlah ulama yang pernah belajar agama ke Pedir (Pidie), Aceh, dan karena mereka membentuk suatu kekuatan, gerakan mereka dinamakan “Gerakan Paderi”. Pendapat lain mengatakan bahwa kata itu berasal dari kata Portugis padre (bapak), panggilan yang biasanya diucapkan orang kepada kaum ulama.
Munculnya golongan Paderi di Minangkabau diawali oleh tiga ulama Minangkabau yang kembali dari Mekah (1802), yaitu Haji Miskin dari Pandai Sikat, Luhak Agam, Haji Abdurrahman dari Piobang, Luhak Lima Puluh Kota, dan Haji Muhammad Arif dari Sumanik, Luhak Tanah Datar.
Mereka membawa paham Wahabi, yang ketika itu sedang berpengaruh di Mekah. Mereka berhasil mempengaruhi seorang ulama berpengaruh, Tuanku Nan Renceh, dan seorang pen-ghulu adat dari Lembah Alahan Panjang, Datuk Bandaharo, dan muridnya, Peto Syarif, yang kemudian dikenal dengan gelar Tuanku Imam Bonjol.
Para tokoh ulama muda di Luhak Agam yang dipimpin Haji Miskin ini dikenal masyarakat sebagai Harimau Nan Salapan. Mereka adalah Tuanku Nan Renceh dari Kamang, Tuanku di Kubu Sanang, Tuanku di Koto Ambalu, Tuanku di Ladang Lawas, Tuanku di Padang Luar, Tuanku di Galung, Tuanku di Aur, dan Tuanku Haji Miskin.
Mereka melancarkan pembersihan terhadap perbuatan yang menurut paham mereka bertentangan dengan ajaran Islam. Salat wajib lima waktu harus dikerjakan; wanita wajib bercadar; pria tidak boleh memakai sutra; dan segala bentuk perjudian, minum minuman keras, mengisap madat bahkan merokok dan makan sirih dilarang. Paham Wahabi disiarkan secara keras seperti halnya gerakan tersebut di Semenanjung Arabia.
Bentrokan bersenjata dengan para penghulu adat timbul. Pusat kerajaan Minangkabau, Pagaruyung, jatuh ke tangan Paderi (1809) dan beberapa orang keluarga raja dibunuh. Gerakan meluas ke Tapanuli Selatan (1816) dan memperkenalkan Islam dengan keras di daerah ini.
Pada tahun 1818 Letnan Gubernur di Bengkulu, Sir Thomas Stanford Raffles, mengunjungi D. Singkarak. Atas permintaan Tuanku Suruaso (putra raja Minangkabau, Alam Muning Syah) dan beberapa penghulu adat, pasukannya ditinggalkan di Simawang (1818).
Pasukan ditarik mundur karena pemerintah tidak menyetujui politik Raffles. Setelah Padang kembali ke tangan Belanda (1819), Tuanku Suruaso dan empat belas penghulu adat membuka perundingan dengan Belanda (10 Februari 1820).
Perundingan berakhir dengan perjanjian yang berisi penyerahan seluruh Kerajaan Minangkabau dan keamanannya kepada Belanda dengan syarat Belanda harus mengusir dan melenyapkan kaum Paderi. Dengan dalih membela kaum adat, Belanda memerangi kaum Paderi (1821) dan pecahlah Perang Paderi.
Peperangan itu dapat dibagi atas tiga periode: (1) periode 1821–1831, golongan Paderi berhadapan dengan Belanda yang bekerjasama dengan sebagian kaum adat yang berpihak kepada Belanda; (2) periode 1833–1834, golongan yang berpihak kepada Belanda bersatu dengan golongan Paderi dan berbalik melawan Belanda; (3) periode 1834–1837, Perang Bonjol, yang merupakan pertahanan terakhir kaum Paderi.
Perang periode pertama antara Belanda dan kaum Paderi dimulai 28 April 1821 tatkala Belanda menyerang kaum Paderi di Sulit Air (kini masuk Kabupaten Solok) melalui benteng peninggalan Inggris di Simawang (kini di Kabupaten Tanah Datar).
Perang ini berlangsung tanpa pemberitahuan lebih dahulu dari pihak Belanda yang dikepalai oleh Du Puy. Sejak saat itu bersatulah kaum Paderi di seluruh Minangkabau, baik di Agam, Lima Puluh Kota, Tanah Datar, maupun di Alahan Panjang.
Melihat kaum adat berperang di pihak Belanda, walaupun ada juga yang berpihak pada kaum Paderi, rakyat terpecah-belah dan bahkan ada ulama yang menyerah kepada Belanda, seperti Tuanku Dilako di Sulit Air dan Tuanku Imam Haji di Tanjung Balit (Tanah Datar).
Pada peperangan periode ini kedua belah pihak silih berganti menang. Karena kaum Paderi tetap tegar dalam perjuangan dan semangat mereka, Belanda mengubah taktik dengan tawaran berdamai. Perjanjian damai pertama kali terjadi pada 22 Januari 1824, dikenal dengan Perjanjian Masang, yang ditandatangani oleh Tuanku Imam Bonjol di pihak Paderi dan Letnan Kolonel Raff di pihak Belanda.
Isinya mengakhiri permusuhan kedua belah pihak dengan mengakui daerah kekuasaan masing-masing dan kebebasan berdagang di daerah masing-masing. Namun, kelicikan Belanda tetap tercermin dalam perjanjian ini. Dalam perjanjian tersebut tercantum bahwa kaum Paderi akan membantu Belanda melawan Paderi lainnya yang mengganggu Belanda. Ini berarti, kalau hal itu terjadi, akan terjadi perang saudara antarsesama Paderi.
Perjanjian tersebut akhirnya dilanggar sendiri oleh Belanda dengan melakukan serangan baru kepada kaum Paderi. Namun kekuatan kaum Paderi sulit mereka kalahkan, sehingga untuk kedua kalinya mereka mengajukan perjanjian damai pada 29 Oktober 1825 di Ujung Karang.
Perjanjian ditandatangani pada 15 November 1825 di Padang. Jika Perjanjian Masang dilakukan oleh pihak Belanda dengan kaum Paderi dari belahan utara (Minangkabau), perjanjian kedua diadakan antara Belanda dengan kaum Paderi dari Agam, Lima Puluh Kota dan Tanah Datar. Penandatanganan perjanjian kedua ini dilakukan oleh Tuanku Keramat dari pihak Paderi dan Kolonel De Stuers dari pihak Belanda.
Perjanjian itu antara lain berisi: Belanda akan mengakui kekuasaan Tuanku Keramat di Lintau dan Telewas (kini keduanya termasuk Kabupaten Tanah Datar), Lima Puluh Kota, dan Agam; kedua belah pihak akan melindungi orang yang kembali dari pengungsian, serta melindungi orang yang dalam perjalanan dan perdagangan.
Setelah perjanjian ini kegiatan perang tidak banyak dilakukan. Tetapi setelah Perang Diponegoro berakhir (1825–1830), Belanda kembali melakukan penyerbuan. Pada penyerbuan ini, Bukit Muara Palam (Kabupaten Tanah Datar) dapat mereka rebut pada Agustus 1831.
Kapau sebagai benteng Paderi di Agam mereka rebut pada April 1832, dan sebelumnya daerah pantai yang menjadi tempat suplai senjata Paderi dari Singapura mereka rebut pada Desember 1831. Kemudian Lintau jatuh ke tangan Belanda pada Agustus 1832, dan pada tahun yang sama juga Kamang dan Bansa (keduanya kini di Kabu-paten Agam) jatuh.
Selanjutnya Bonjol (Pasaman) sebagai pertahanan Paderi direbut Belanda pada 21 September 1832. Rao (kini di Kabupaten Pasaman) dan Sundatar (Kabupaten Agam) direbut pada Oktober 1832, dan pada tahun yang sama juga Lima Puluh Kota mereka kuasai. Dengan demikian, praktis seluruh Minangkabau, kecuali Kubung XIII, Solok, dikuasai Belanda.
Melihat kekalahan yang diderita golongan Paderi dan rakyat Minangkabau, dan kelakuan serdadu Belanda yang menodai adat dan agama, seperti menjadikan masjid sebagai asrama serdadu, pada 1833–1834 terjadilah konsolidasi total kaum Paderi dan persatuan antara kaum Paderi dan kaum Adat yang tadinya memihak Belanda. Semangat jihad kaum Paderi muncul kembali.
Pada 1833 di kaki Gunung Tandikat dilakukanlah musyawarah antara kaum Paderi dan kaum adat untuk menyusun langkah dalam rangka melakukan serangan serentak seluruh Minangkabau terhadap Belanda. Permusyawaratan berhasil menyetujui serangan itu akan serentak dilakukan di seluruh Minangkabau pada tanggal 11 Januari 1833.
Namun sebelum tanggal tersebut, rahasia bocor dan diketahui Belanda, sehingga serangan serentak tak dapat dilakukan. Akan tetapi, atas kegigihan kaum Paderi dan kaum Adat, satu demi satu daerah yang diduduki Belanda dapat direbut. Mula-mula direbutlah Bonjol, Simawang, Tarantang, Tunggang, dan Lubuk Ambalau di Pasaman.
Kemudian pada Juni 1833, Buo, Tambangan, dan Guguk Sigantang di Tanah Datar dapat pula direbut. Sementara di sekitar Kamang, Agam, pada Juli 1833 terjadi peperangan sengit di bawah pimpinan Tuanku Mensiangan, yang akhirnya tertangkap dan dihukum gantung Belanda pada 29 Juli 1833.
Pada 25 Oktober 1833 pemerintah Belanda mengumumkan apa yang dikenal dengan “Plakat Panjang”. Isinya pada dasarnya adalah janji Belanda untuk tidak melakukan hal yang tidak sesuai dengan keinginan rakyat. Lebih penting lagi, Belanda menyatakan bahwa rakyat Minangkabau tetap diperintah oleh para penghulu adat mereka dan tidak diharuskan membayar belasting atau pajak.
Namun, karena usaha Belanda menjaga perdamaian dan memajukan perdagangan memerlukan biaya, rakyat dianjurkan menanam kopi dan menjualnya kepada kompeni. Plakat Panjang merupakan janji resmi atas nama Raja Belanda pada waktu itu.
Plakat Panjang secara langsung atau tidak berpengaruh juga terhadap kondisi psikologis golongan Paderi di Bonjol. Serangan Belanda bertambah gencar sehingga seluruh jalur menuju ke Bonjol mereka blokade. Tuanku Imam Bonjol dengan segala kekuatan dan bantuan Paderi daerah lain sebenarnya masih tetap bertahan.
Akan tetapi, karena Tuanku Nan Tinggi, yang tahu betul kekuatan dan kelemahan Paderi Bonjol, menyerah, akhirnya Benteng Bonjol jatuh ke tangan Belanda 16 Agustus 1837.
Jatuhnya Bonjol menyebabkan pusat perjuangan Paderi dipindahkan ke Daludalu (kini masuk Kabupaten Kampar, Riau, dekat perbatasan dengan Sumatera Barat) di bawah komando Tuanku Tambusai. Tetapi Daludalu pun dapat direbut Belanda pada tanggal 28 Desember 1838. Kemudian Gerakan Paderi di Kubung XIII, Solok, dapat pula ditaklukkan Belanda pada bulan April 1838.
Akhirnya, pada 28 Oktober 1837 Tuanku Imam Bonjol yang tak tahan melihat penderitaan keluarganya bersedia berdamai dengan syarat ia tidak akan diasingkan dari tanah Minangkabau. Ia menemui komandan Belanda di Palupuh (di utara Bukittinggi). Dengan upacara kehormatan ia dibawa ke Padang.
Di sana kapal telah menantinya. Ia diasingkan ke Sukabumi (Jawa Barat) dan kemudian dibawa ke Manado (Sulawesi Utara). Ia wafat 12 Zulhijjah 1238 (1864) dan di-makamkan di Lutak, Manado.
Gerakan Paderi semula berhadapan dengan kaum Adat, tetapi kaum Paderi dan kaum Adat berhasil dipadukan dengan Piagam Muara Palam yang terkenal melahirkan pepatah “Adat basandi syarak, syarak basandi Kitabullah” dan “syarak mengata, adat memakai”. Maka sebuah ideologi-adat telah dirumuskan.
Agama Islam dijadikan sebagai landasan hakiki alam Minangkabau, sedangkan adat secara teoretis dijadikan penyalur akan terwujudnya landasan filosofi dalam kenyataan sosial dan kehidupan masyarakat.
Daftar Pustaka
Amran, Rusli. Sumatra Barat Hingga Plakat Panjang. Jakarta: Sinar Harapan, 1981.
Dobbin, Christine. Islamic Revivalism in Changing Peasant Economy: Central Sumatra 1784–1847. London: Curzon Press, 1983.
Graves, Elizabeth, E. The Minangkabau Respons to Ducth Colonial Rule in the Ninateenth Century. Ithaca: Cornell University, 1981.
HAMKA. Islam dan Adat Minangkabau. Jakarta: Panjimas, 1985.
Hollander, J.J., ed. Verhaal van den Aanvang der Paderi-Onlusten op Sumatra, Dari Hikayat Syekh Jalaluddin (Naskah Fakih Shaghir Alamiyah Tuanku Sami Syekh Jalaluddin Ahmad Koto Tuo Jua Adanya). Leiden: E.J. Brill, 1857.
Navis, A.A. Alam Terkembang Jadi Guru. Jakarta: Grafiti Press, 1984.
Radjab, Muhammad. Perang Paderi. Jakarta: Mutiara Sumber Widya, 1964.
Syamsuddin, Helius. Perang Paderi. Jakarta: Mutiara Sumber Widya, 1984.
Nasrun Haroen