Pabbaja, Muhammad Abduh

(Allakuang, Sidenreng-Rappang, Sulawesi Selatan, 1928).

Muhammad Abduh Pabbaja adalah seorang ulama­ terkemuka dari Sulawesi, pembina organisasi Dar ad-Dakwah wa al-Irsyad (DDI), dan pendiri Pesantren al-Furqan di Parepare. Ia berasal dari keluarga terpan­dang dan taat beragama. Ayahnya, Pabbaja bin Ambo Padde, pernah menjadi ammatowa (kepala wilayah)­ di Allakuang, desa kelahirannya. Ibunya adalah H Lathifah binti Kalando, putri penghulu desa itu.

Muhammad Abduh Pabbaja adalah putra kelima dari sepuluh bersaudara. Sewaktu kecil ia dipanggil dengan nama Mamma dan setelah menjadi­ ulama besar ia lebih dikenal dengan nama Pabbaja. Sebagai­ ulama Bugis Makassar, ia populer dengan panggilan Gurutta Pabbaja, yaitu gelar penghormatan kepadanya sebagai ulama.

Pendidikan Pabbaja diawali dengan belajar mem­baca Al-Qur’an kepada ibunya sendiri. Setelah­ berumur 6 tahun ia belajar di Volksschool (Sekolah­ Desa), kemudian melanjutkannya ke Madrasah Makarim al-Akhlaq sampai tamat.

Setelah itu ia masuk Madrasah al-‘Arabiyah al-Islamiyah di Kabupaten Wajo, yang dipimpin­ KH Muhammad As‘ad. Di zaman penjajah­an,­ madrasah ini dikenal sebagai yang paling banyak­ menghasilkan­ ulama besar. Hampir semua­ ulama ternama di Sulawesi­ Selatan adalah keluaran dari madrasah ini.

Di antara temannya di madrasah itu yang kemudian juga menjadi ulama besar adalah KH Abdurrahman Ambo Dalle, KH Yunus Maratan, KH Daud Ismail, KH Junaid Sulaiman, KH Abdullah Maratan, KH Ya’fie (ayah KH Ali Ya’fie, ahli fikih dan ketua Majelis Ulama Indonesia), dan KH Muhammad As‘ad. Syekh Ahmad al-Hafifi (ulama dari al-Azhar (Cairo), dan Syekh Sulaiman as-Su‘ud (ulama dari Mekah) didatangkan­ ke Wajo untuk mengajar di sana.

Di Madrasah al-‘Arabi­ yah al-Islamiyah, Pabbaja mempelajari­ berbagai ca­ bang ilmu Islam selama 7 tahun. Yang paling di­ senanginya adalah ilmu tafsir. Karena itulah Pab­baja kemudian dikenal se-bagai ulama ahli tafsir yang mampu berbahasa Arab de­ngan fasih dan lancar. Khusus mengenai tafsir, ia berpendapat bahwa penafsiran Al-Qur’an hendak­nya disesuaikan dengan perkembangan ilmu pe­ngetahuan­ modern tanpa meninggalkan prinsip yang harus digunakan dalam menafsirkan Al-Qur’an.

Ke­mudian, dalam menerjemahkan­ Al-Qur’an ia sangat tidak setuju apabila Al-Qur’an diartikan secara­ terpotong-potong. Ayat Al-Qur’an harus diartikan­ secara lengkap agar tidak terjadi kekeliruan terhadap maknanya.

Pabbaja memulai kariernya sebagai guru di Allakuang setelah menamatkan pelajarannya di Madrasah­ al-‘Arabiyah al-Islamiyah. Di samping itu, ia aktif berdakwah­ kepada masyara­kat­ setem­pat­. Pada­ tahun 1950 ia di­angkat sebagai kepala­ wilayah­ di Allakuang untuk meng­ganti­kan­ ayahnya.

Pada waktu yang sama ia ditugaskan­ di Bagi­an­ Kemasjidan­ pada Kantor Urusan Agama Kabupaten­ Parepare­. Karier Pab-baja mening­kat­ dan pada 1959 ia di­angkat menjadi kepala Kantor­ Urusan Agama Kabupaten­ Parepare­. Jabatan ini dipe­­ gangnya­ selama 7 tahun sampai tahun 1966.

Pada masa ini ia juga merangkap jabatan sebagai kadi Kabupaten Parepare. Sebagai pegawai pemerintah, Pabbaja dikenal sangat terampil dalam bidang administrasi. Walau aktif di bidang pemerintahan, Pabbaja tidak melepaskan­ tugasnya sebagai juru dakwah dan mubaligh.

Selanjutnya, pada 1967 ia diangkat menjadi­ dekan Fakultas Tarbiyah IAIN Alauddin cabang­ Parepare, dan posisi itu didudukinya sampai ia pensiun pada 1984. Walaupun telah pensiun,­ ia tetap mengajar di IAIN untuk mata kuliah ilmu tafsir dan bahasa Arab.

Di samping aktif dalam bidang pemerintahan, ia juga berkiprah dalam organisasi keagamaan. Ia pernah­ menjadi ketua umum organisasi Dar ad-Dakwah wa al-Irsyad (1955– 1962), organisasi sosial keagamaan terbesar di Sulawesi Selatan yang bergerak­ di bidang pendidikan dan dakwah.

Organi­­sasi ini mempunyai cabang hampir di seluruh Sulawesi, bahkan sampai ke Kalimantan dan Sumatera. Ketika Partai Sarekat Islam Indonesia (PSII) berjaya,­ ia juga aktif di dalamnya, bahkan terpilih sebagai­ ketua PSII cabang Parepare.

Pada 1978 Pabbaja mendirikan Pesantren al-Furqan di Parepare. Dalam waktu singkat pesantrennya­ ini berkembang­ pesat. Pesantren ini mengelola­ pendidikan mulai dari tingkat taman kanak­-kanak sampai tingkat aliyah (menengah atas).

Di samping menjabat ketua yayasan pesantren, ia juga aktif mengajar, terutama ilmu tafsir dan bahasa Arab. Kegiatan rutin yang dilakukannya di samping mengajar adalah memberikan pengajian di masjid sesudah salat magrib sampai masuk isya. Ia juga memberikan bimbingan khusus tentang masalah­ keagamaan kepada para guru pesantren sesudah­ salat subuh.

Pabbaja termasuk figur ulama yang berbakat menulis. Kar-ya tulisnya cukup banyak dan semua­nya ditulis dalam bahasa Arab dan bahasa Bugis. Karyanya di bidang tafsir antara lain adalah Tafsir Surah al-Fatihah, Tafsir Surah an-Nas, Tafsir Surah al-Falaq, Tafsir Surah al-Ikhlas, Tafsir Surah al-La­hab, Tafsir Surah Muhammad, dan Tafsir Surah al-Ahqaf.

Di bidang akhlak, karyanya antara lain adalah al-Mau‘izah al-hasanah dalam dua jilid serta Atel­longanna Anak Mula Umpekke dan Atellonganna Kallollo Mula Mpekke (Masa Pertumbuhan Gadis Remaja Putra dan Putri). Di bidang ibadah, ia menulis buku yang berjudul adz-Dzikr ‘inda al-‘Asyiyyi wa al-Ibkar.

Ia juga memiliki banyak kaset yang berisi rekaman­ dak-wahnya. Sejak tahun 70-an Pabbaja mempunyai­ kebiasaan­ merekam semua ceramah dan khotbah yang disampaikannya kepada masyarakat. Hasil rekaman itu kemudian diperbanyak oleh Yayasan al-Furqan.

Daftar Pustaka

Laporan Penelitian dan Penulisan Biografi K.H. Muhammad Abduh Pabbaja. Jakarta: Badan Penelitian dan Pengembangan Lektur Agama Departemen Agama RI, 1986/1987.
Mukhlis. Agama dan Realitas Sosial. Ujungpandang: PLPIIAS, 1985.
–––––––. Dinamika Bugis Makassar. Ujungpandang: PLPIIAS, 1978.

MUSDAH MULIA

__