Muhammad Abduh Pabbaja adalah seorang ulama terkemuka dari Sulawesi, pembina organisasi Dar ad-Dakwah wa al-Irsyad (DDI), dan pendiri Pesantren al-Furqan di Parepare. Ia berasal dari keluarga terpandang dan taat beragama. Ayahnya, Pabbaja bin Ambo Padde, pernah menjadi ammatowa (kepala wilayah) di Allakuang, desa kelahirannya. Ibunya adalah H Lathifah binti Kalando, putri penghulu desa itu.
Muhammad Abduh Pabbaja adalah putra kelima dari sepuluh bersaudara. Sewaktu kecil ia dipanggil dengan nama Mamma dan setelah menjadi ulama besar ia lebih dikenal dengan nama Pabbaja. Sebagai ulama Bugis Makassar, ia populer dengan panggilan Gurutta Pabbaja, yaitu gelar penghormatan kepadanya sebagai ulama.
Pendidikan Pabbaja diawali dengan belajar membaca Al-Qur’an kepada ibunya sendiri. Setelah berumur 6 tahun ia belajar di Volksschool (Sekolah Desa), kemudian melanjutkannya ke Madrasah Makarim al-Akhlaq sampai tamat.
Setelah itu ia masuk Madrasah al-‘Arabiyah al-Islamiyah di Kabupaten Wajo, yang dipimpin KH Muhammad As‘ad. Di zaman penjajahan, madrasah ini dikenal sebagai yang paling banyak menghasilkan ulama besar. Hampir semua ulama ternama di Sulawesi Selatan adalah keluaran dari madrasah ini.
Di antara temannya di madrasah itu yang kemudian juga menjadi ulama besar adalah KH Abdurrahman Ambo Dalle, KH Yunus Maratan, KH Daud Ismail, KH Junaid Sulaiman, KH Abdullah Maratan, KH Ya’fie (ayah KH Ali Ya’fie, ahli fikih dan ketua Majelis Ulama Indonesia), dan KH Muhammad As‘ad. Syekh Ahmad al-Hafifi (ulama dari al-Azhar (Cairo), dan Syekh Sulaiman as-Su‘ud (ulama dari Mekah) didatangkan ke Wajo untuk mengajar di sana.
Di Madrasah al-‘Arabi yah al-Islamiyah, Pabbaja mempelajari berbagai ca bang ilmu Islam selama 7 tahun. Yang paling di senanginya adalah ilmu tafsir. Karena itulah Pabbaja kemudian dikenal se-bagai ulama ahli tafsir yang mampu berbahasa Arab dengan fasih dan lancar. Khusus mengenai tafsir, ia berpendapat bahwa penafsiran Al-Qur’an hendaknya disesuaikan dengan perkembangan ilmu pengetahuan modern tanpa meninggalkan prinsip yang harus digunakan dalam menafsirkan Al-Qur’an.
Kemudian, dalam menerjemahkan Al-Qur’an ia sangat tidak setuju apabila Al-Qur’an diartikan secara terpotong-potong. Ayat Al-Qur’an harus diartikan secara lengkap agar tidak terjadi kekeliruan terhadap maknanya.
Pabbaja memulai kariernya sebagai guru di Allakuang setelah menamatkan pelajarannya di Madrasah al-‘Arabiyah al-Islamiyah. Di samping itu, ia aktif berdakwah kepada masyarakat setempat. Pada tahun 1950 ia diangkat sebagai kepala wilayah di Allakuang untuk menggantikan ayahnya.
Pada waktu yang sama ia ditugaskan di Bagian Kemasjidan pada Kantor Urusan Agama Kabupaten Parepare. Karier Pab-baja meningkat dan pada 1959 ia diangkat menjadi kepala Kantor Urusan Agama Kabupaten Parepare. Jabatan ini dipe gangnya selama 7 tahun sampai tahun 1966.
Pada masa ini ia juga merangkap jabatan sebagai kadi Kabupaten Parepare. Sebagai pegawai pemerintah, Pabbaja dikenal sangat terampil dalam bidang administrasi. Walau aktif di bidang pemerintahan, Pabbaja tidak melepaskan tugasnya sebagai juru dakwah dan mubaligh.
Selanjutnya, pada 1967 ia diangkat menjadi dekan Fakultas Tarbiyah IAIN Alauddin cabang Parepare, dan posisi itu didudukinya sampai ia pensiun pada 1984. Walaupun telah pensiun, ia tetap mengajar di IAIN untuk mata kuliah ilmu tafsir dan bahasa Arab.
Di samping aktif dalam bidang pemerintahan, ia juga berkiprah dalam organisasi keagamaan. Ia pernah menjadi ketua umum organisasi Dar ad-Dakwah wa al-Irsyad (1955– 1962), organisasi sosial keagamaan terbesar di Sulawesi Selatan yang bergerak di bidang pendidikan dan dakwah.
Organisasi ini mempunyai cabang hampir di seluruh Sulawesi, bahkan sampai ke Kalimantan dan Sumatera. Ketika Partai Sarekat Islam Indonesia (PSII) berjaya, ia juga aktif di dalamnya, bahkan terpilih sebagai ketua PSII cabang Parepare.
Pada 1978 Pabbaja mendirikan Pesantren al-Furqan di Parepare. Dalam waktu singkat pesantrennya ini berkembang pesat. Pesantren ini mengelola pendidikan mulai dari tingkat taman kanak-kanak sampai tingkat aliyah (menengah atas).
Di samping menjabat ketua yayasan pesantren, ia juga aktif mengajar, terutama ilmu tafsir dan bahasa Arab. Kegiatan rutin yang dilakukannya di samping mengajar adalah memberikan pengajian di masjid sesudah salat magrib sampai masuk isya. Ia juga memberikan bimbingan khusus tentang masalah keagamaan kepada para guru pesantren sesudah salat subuh.
Pabbaja termasuk figur ulama yang berbakat menulis. Kar-ya tulisnya cukup banyak dan semuanya ditulis dalam bahasa Arab dan bahasa Bugis. Karyanya di bidang tafsir antara lain adalah Tafsir Surah al-Fatihah, Tafsir Surah an-Nas, Tafsir Surah al-Falaq, Tafsir Surah al-Ikhlas, Tafsir Surah al-Lahab, Tafsir Surah Muhammad, dan Tafsir Surah al-Ahqaf.
Di bidang akhlak, karyanya antara lain adalah al-Mau‘izah al-hasanah dalam dua jilid serta Atellonganna Anak Mula Umpekke dan Atellonganna Kallollo Mula Mpekke (Masa Pertumbuhan Gadis Remaja Putra dan Putri). Di bidang ibadah, ia menulis buku yang berjudul adz-Dzikr ‘inda al-‘Asyiyyi wa al-Ibkar.
Ia juga memiliki banyak kaset yang berisi rekaman dak-wahnya. Sejak tahun 70-an Pabbaja mempunyai kebiasaan merekam semua ceramah dan khotbah yang disampaikannya kepada masyarakat. Hasil rekaman itu kemudian diperbanyak oleh Yayasan al-Furqan.
Daftar Pustaka
Laporan Penelitian dan Penulisan Biografi K.H. Muhammad Abduh Pabbaja. Jakarta: Badan Penelitian dan Pengembangan Lektur Agama Departemen Agama RI, 1986/1987.
Mukhlis. Agama dan Realitas Sosial. Ujungpandang: PLPIIAS, 1985.
–––––––. Dinamika Bugis Makassar. Ujungpandang: PLPIIAS, 1978.
MUSDAH MULIA
__