Orientalisme adalah pemahaman akademis tentang masalah ketimuran. Orang yang mempelajari masalah ketimuran (termasuk keislaman) disebut orientalis, yakni ilmuwan Barat yang mendalami bahasa, sastra, agama, sejarah, budaya, dan ilmu dunia Timur.
Istilah orientalisme berasal dari bahasa Latin orientalis yang berarti “timur” atau “bersifat timur” dan isme yang berarti “paham”, “ajaran”, “cita-cita”, atau “sikap”. Secara analitis, orientalisme dibedakan atas: (1) keahlian mengenai wilayah Timur; (2) metodologi dalam mempelajari masalah ketimuran; dan (3) sikap ideologis terhadap masalah ketimuran, khususnya terhadap dunia Islam.
Minat orang Barat terhadap masalah ketimuran sudah berlangsung sejak Abad Pertengahan (antara abad ke-5 dan ke-15). Mereka telah melahirkan sejumlah karya menyangkut masalah dunia Timur. Dunia timur yang dimaksud adalah wilayah yang terbentang dari Timur Dekat sampai ke Timur Jauh dan negara di Afrika Utara.
Dalam rentang waktu antara Abad Pertengahan sampai abad ini, secara garis besar orientalisme dapat dibagi atas tiga periode, yaitu: (1) masa sebelum meletusnya Perang Salib, di saat umat Islam berada dalam zaman keemasannya (650–1250); (2) masa Perang Salib sampai Masa Pencerahan (munculnya Zaman Renaisans, abad ke-15) di Eropa; dan (3) munculnya Masa Pencerahan di Eropa sampai sekarang.
Masa sebelum Perang Salib. Di saat umat Islam berada dalam zaman keemasannya, negeri Islam, khususnya Baghdad dan Andalusia (Spanyol Islam), menjadi pusat peradaban dan ilmu pengetahuan. Bangsa Eropa yang menjadi penduduk asli Andalusia memakai bahasa Arab dan adat-istiadat Arab dalam kehidupan sehari-hari.
Mereka bersekolah di perguruan Arab. Di antara raja Spanyol yang nonmuslim (misalnya, Peter I [w. 1104], raja Aragon), ada yang hanya mengenal huruf Arab. Alfonso IV mencetak uang dengan memakai tulisan Arab. Keadaan di Sicilia juga sama. Raja Normandia, Roger I, menjadikan istananya tempat pertemuan para filsuf, dokter, dan ahli Islam lainnya dalam berbagai bidang ilmu pengetahuan.
Roger II bahkan lebih banyak dipengaruhi kebudayaan Islam. Pakaian kebesaran yang dipilihnya ialah pakaian Arab. Gerejanya dihiasi dengan ukiran dan tulisan Arab. Wanita Kristen Sicilia meniru wanita Islam dalam soal mode pakaian.
Peradaban Islam itu bukan hanya berpengaruh bagi bangsa Eropa yang berada di bawah kekuasaan Islam, tetapi juga bagi orang Eropa di luar daerah itu. Penuntut ilmu dari Perancis, Inggris, Jerman, dan Italia, datang belajar ke perguruan dan universitas di Andalusia dan Sicilia.
Di antaranya terdapat pemuka agama Kristen, misalnya Gerbert d’Aurillac yang belajar di Andalusia dan Adelard dari Bath (1107–1135) yang belajar di Andalusia dan Sicilia. Gerbert d’Aurillac kemudian menjadi Paus di Roma pada 999–1003 dengan nama Sylvester II.
Adapun Adelard, setelah kembal ke Inggris, diangkat menjadi guru Pangeran Henry yang kelak menjadi raja. Ia menjadi salah satu penerjemah buku Arab ke dalam bahasa Latin.
Dalam suasana inilah muncul orientalisme di kalangan Barat. Bahasa Arab mulai dipandang sebagai bahasa yang harus dipelajari khususnya dalam bidang ilmiah dan filsafat. Pelajaran bahasa Arab kemudian dimasukkan dalam kurikulum berbagai perguruan tinggi Eropa, seperti di Bologna (Italia) 1076, Chartres (Perancis) 1117, Oxford (Inggris) 1167, dan Paris 1170.
Muncullah penerjemah generasi pertama, yakni Constantinus Africanus (w. 1087) dan Gerard Cremonia (w. 1187). Dalam fase pertama ini, tujuan orientalisme ialah memindahkan ilmu pengetahuan dan filsafat dari dunia Islam ke Eropa. Ilmu pengetahuan tersebut diambil sebagaimana adanya.
Pada perkembangan berikutnya, perhatian orang Eropa terlihat meningkat. Pelajaran bahasa Arab semakin digiatkan di universitas. Di Italia pengajaran bahasa Arab diadakan di Roma (1303), Florencia (1321), Padua (1361), dan Gregoria (1553); di Perancis diadakan di Toulouse (1217), Montpellier (1221), dan Bordeaux (1441); dan di Inggris dilaksanakan di Cambridge (1209). Di bagian Eropa lainnya pelajaran bahasa Arab dimulai sesudah abad ke-15.
Dari Perang Salib sampai Masa Pencerahan di Eropa. Perang Salib antara Kristen Barat dan Islam Timur yang berlangsung 1096–1291 membawa kekalahan bagi golongan Kristen. Tidak lama setelah perang ini selesai, Kerajaan Usmani (Ottoman) mengadakan serangan ke Eropa. Adrianopel jatuh pada 1366, Constantinopel (Istanbul) jatuh pada 1453, dan bahkan Yerusalem dirampas umat Islam dan kemudian disusul wilayah Balkan.
Kekalahan dalam Perang Salib dan jatuhnya Constanti nopel merupakan pengalaman pahit Kristen Eropa, sehingga para raja Eropa bersumpah untuk mengusir kaum “kafir”. Maka muncullah semangat orang Eropa untuk mengkritik, mengecam, dan menyerang Islam dari berbagai kepentingan.
Sebagai bias dari kebencian ini, pengarang orientalis mulai menulis buku dengan gambaran yang salah terhadap Islam. Hal yang sebenarnya tidak terdapat dalam Islam, bahkan yang bertentangan mulai disiarkan di Eropa.
Dalam periode ini para orientalis menggambarkan Nabi Muhammad SAW sebagai orang yang terserang penyakit epilepsi, gila perempuan, penjahat, pendusta, dan sebagainya. Oleh karena itu agama yang dibawanya bukanlah agama yang benar. Yang benar adalah agama Kristen yang dibawa Yesus Kristus.
Dikatakan juga bahwa agama Islam mengajarkan trinitas. Dua dari unsur trinitas itu adalah Muhammad SAW dan Apollo (salah satu dewa Yunani). Disebutkan pula bahwa Nabi Muhammad SAW disembah dalam bentuk patung yang terbuat dari emas dan perak. Dikatakan juga Islam membolehkan poliandri. Selanjutnya disebut pula bahwa orang Islam diwajibkan membunuh orang Kristen sebanyak mungkin sebagai suatu jalan masuk surga.
Islam menurut mereka disiarkan dengan pedang, dalam arti pedang diletakkan di leher orang agar dia masuk Islam. Jadi kesalahpahaman tentang Islam yang ditimbulkan orientalis ketika itu lebih parah daripada kesalahpahaman tentang Kristen yang ditimbulkan tulisan orang Islam.
Dari Masa Pencerahan hingga Sekarang. Permusuhan antara Kristen dan Islam yang timbul akibat adanya tulisan negatif mulai mereda setelah memasuki Masa Pencerahan (Enlightenment) di Eropa, yang diwarnai oleh keinginan mencari kebenaran.
Pada masa ini kekuatan rasio mulai meningkat. Dalam sebuah tulisan yang diperlukan adalah sifat objektif, bukan mengada-ada. Mulailah muncul tulisan mengenai Islam yang mencoba bersifat positif, misalnya tulisan Voltaire (1684–1778) dan Thomas Carlyle (1896–1947).
Tidak semua tulisan mengenai Islam mengandung hal yang menjelek-jelekkan, akan tetapi telah mulai berisikan penghargaan terhadap Nabi SAW dan Al-Qur’an serta ajarannya. Jadi, mereka mengadakan studi mengenai Islam untuk mengetahui Islam yang sebenarnya.
Setelah Masa Pencerahan, datanglah Masa Kolonialisme. Orang Barat datang ke dunia Islam dengan tujuan untuk berdagang dan kemudian juga untuk menundukkan bangsa Timur. Untuk tujuan itu bangsa Timur perlu dipelajari lebih dekat, termasuk agama dan kultur mereka, karena dengan itu hubungan dagang menjadi lancar dan mereka lebih mudah ditundukkan.
Pada masa ini muncullah karya-karya yang mencoba memberikan gambaran yang sebenarnya tentang Islam. Misalnya, tentang agama dan adat-istiadat Indonesia, muncul tulisan para orientalis, seperti Marsden, Raffles, Wilken, Keyser, Snouck Hurgronje, dan Vollenhoven.
Bahkan sewaktu Napoleon I mengadakan ekspedisi ke Mesir 1798, ia membawa sejumlah orientalis untuk mempelajari adat-istiadat, ekonomi, dan pertanian Mesir. Di antara orientalis itu adalah Langles (ahli bahasa Arab), Villoteau (mempelajari musik Arab), dan Marcel (mempelajari sejarah Mesir).
Pada periode ini tulisan para orientalis ditujukan untuk mempelajari Islam seobjektif mungkin, agar dunia Islam diketahui dan dipahami lebih mendalam. Hal ini perlu karena orientalisme tidak bisa begitu saja terlepas dari kolonialisme, bahkan juga usaha kristenisasi.
Namun begitu, awal abad ke-20 juga ditandai dengan munculnya para orientalis yang berusaha menulis dunia Islam secara ilmiah dan objektif. Orientalisme dijadikan sebagai usaha pemahaman terhadap dunia Timur secara mendalam. Dalam tradisi ilmiah yang baru ini, bahasa Arab dan pengenalan teks klasik mendapat kedudukan utama. Di antaranya adalah Sir Hamilton A.R. Gibb, Louis Massignon, W.C. Smith, dan Fritjhof Schuon.
Sir Hamilton A.R. Gibb sangat menguasai bahasa Arab dan dapat berceramah dengan bahasa ini, sehingga ia diangkat menjadi anggota al-Majma‘ al-‘Ilm al-‘Arabi (Lembaga Ilmu Pengetahuan Arab) di Damascus dan al-Majma‘ al-Lugah al-‘Arabiyyah (Lembaga Bahasa Arab) di Cairo.
Ia memandang Islam sebagai agama yang dinamis dan Nabi Muhammad SAW sebagai tokoh yang berakhlak baik dan benar. Gibb menulis buku tentang Islam dalam berbagai aspeknya hingga mencapai lebih dari 20 buah, sehingga oleh orientalis lain ia dipandang sebagai “imam” mereka tentang Islam.
Sama seperti Gibb, Louis Massignon juga mahir berbahasa Arab dan menjadi anggota al-Majma‘ al-‘Ilm al-‘Arabi serta al-Majma‘ al-Lugawi. Ia pernah menjadi dosen filsafat Islam di Universitas Cairo. Ia mengatakan bahwa berkat adanya tasawuf, Islam menjadi agama internasional yang pengikutnya ada di seluruh dunia.
W.C. Smith mempunyai ilmu yang mendalam tentang Islam. Ia adalah pendiri Institut Pengkajian Islam di Universitas McGill di Montreal, Canada. Ia mengatakan bahwa Tuhan ingin menyampaikan risalah kepada manusia. Untuk itu Tuhan mengirim rasul dan satu di antara rasul itu ialah Nabi Muhammad SAW.
Fir tjhof S chuon menulis buku dengan judul Understanding Islam yang mendapat sambutan baik di dunia Islam. Sayid Husein an-Nasr (ahli ilmu sejarah dan filsafat), misalnya, menyebut buku Firtjhof Schuon tersebut sebagai buku terbaik tentang Islam sebagai agama dan tuntunan hidup.
Tidak semua pendapat yang dikemukakan para orientalis modern tentang Islam dapat diterima oleh rasa keagamaan umat Islam, meskipun secara rasional pendapat tersebut mungkin benar. Beberapa di antara mereka tidak luput dari kesalahan dalam memberikan interpretasi terhadap ajaran Islam, di samping banyak juga yang benar.
Kegiatan para orientalis meliputi hal-hal berikut.
(1) Mengadakan kongres secara teratur yang dimulai di Paris (1873) dan di kota lain di dunia secara bergantian. Kongres pada mulanya bernama Orientalist Congress, dan sejak 1870-an telah berganti nama menjadi International Congress on Asia and North Africa.
(2) Mendirikan lembaga kajian ketimuran, antara lain Ecole des Langues Orientalis Vivantes (1795) di Perancis, The School of Oriental and African Studies (1917) di Universitas London Inggris, Oosters Instituut (1917) di Universitas Leiden, dan Institut voor het Moderne Nabije Oosten (1956) di Universitas Amsterdam.
(3) Mendirikan organisasi ketimuran, misalnya Societe Asiatique (1822) di Paris, American Oriental Society (1842) di Amerika Serikat, Royal Asiatic Society di Inggris, dan Oosters Genootschap in Nederland (1929) di Leiden.
(4) Menerbitkan majalah, antara lain Journal Asiatique (1822) di Paris, Journal of the Royal Asiatic Society (1899) di London, Journal of the American Oriental Society (1849) di Amerika Serikat, Revue du Monde Musulman (1907) di Perancis, Der Islam Zeutschrift fur Geschichte und Kulturdes Islamischen (1910) di Jerman, The Muslim World (1917) di Amerika Serikat, dan Bulletin of the School of Oriental and African Studies (1917) di London. Keberadaan majalah ini sebagian besar masih terbit sampai sekarang.
Daftar Pustaka
Azra, Azyumardi. “Orientalisme dan Studi Islam di Asia Tenggara,” Islamika, No. 3:108–115, Januari–Maret 1994.
Binder, Leonard, ed. Area Studies: A Critical Reassessment in the Study of Middle East. New York: John Wiley and Sons, 1976.
Daniel, Norman. Islam and the West: The Making of an Image. Edinburgh: Edinburgh University Press, 1980.
Dawson, R.H. Reform in The Ottoman Empire 1856–1878. Princeton: t.p., 1963.
Djait, Hichem. Europe and Islam, terj. Peter Heinegg. Berkeley. Los Angeles, and London: University of California Press, 1985.
Edward S, Creasy. History of the Ottoman Turks. Beirut: Zeine, 1961.
Hourani, Albert. Islam in European Thought. Cambridge: Cambridge University Press, 1991.
Lewis, Bernard. Islam and the West. New York: Oxford University Press, 1993.
Nasution, Harun. Pembaharuan dalam Islam. Jakarta: Bulan Bintang, 1963.
Said, Edward W. Orientalism: Western Conceptions of the Orient. New York: Vintage Book, 1979.
–––––––. Covering Islam: How the Media and the Experts Determine How We See the Rest of the World. London and Henley: Routledge and Kegan Paul, 1981.
Southern, R.W. Western Views of Islam in the Middle Age. Cambridge and London: Harvard University Press, 1980.
Syahrin Harahap