Oksidentalisme

Oksidentalisme merupakan sebuah cara pandang tentang sesuatu (the other) dari kacamata ketimuran. Kelahirannya dipicu oleh dominasi kajian Barat (eurocentrism) terhadap Islam dan adanya ketimpangan akibat westernisasi yang berpengaruh luas tidak hanya pada budaya dan konsepsi tentang alam, tapi juga mengancam kemerdekaan peradaban manusia.

Oksidentalisme berdiri secara diametral dengan orientalisme. Apabila orientalisme melihat (mengkaji) Timur dari kacamata Barat, maka oksidentalisme bertujuan menguraikan inferioritas hubungan Timur dengan Barat, menumbangkan superioritas Barat dengan menjadikannya objek kajian, dan melenyapkan kompleks inferioritas yang dialami Timur dengan menjadikannya subjek pengkaji.

Secara historis terdapat perbedaan antara orientalisme dan oksidentalisme. Orientalisme muncul di tengah ekspansi imperialisme Eropa pada abad ke-17, sementara oksidentalisme muncul pada masa kemunduran pascagerakan kemerdekaan Arab pada akhir abad ke-20.

Orientalisme muncul dengan membawa revolusi paradigma riset ilmiah atau aliran politik yang menjadi kecenderungan utama abad ke-19, terutama positivisme, historisisme, rasialisme, dan nasionalisme; sementara oksidentalisme lahir sebagai metode linguistik, yakni metode analisis eksperimentasi subsistem dan pembebasan tanah air.

Orientalisme telah mengubah bentuknya dan dilanjutkan dengan ilmu sosial, terutama antropologi peradaban dan sosiologi kebudayaan; sementara oksidentalisme yang muncul belakangan belum mengebangkan bentuk apa pun. Orientalisme tidak mengambil posisi netral, tetapi banyak didominasi struktur kesadaran Eropa; sementara oksidentalisme berposisi netral, karena tidak memburu kekuasaan dan hak kontrol.

Pada dasarnya oksidentalisme bukanlah wacana baru, sebab hubungan Timur dan Barat bukan produk yang baru berkembang. Lahirnya peradaban Timur yang diwakili tradisi Islam atau peradaban lain yang lebih tua merupakan awal berlangsungnya relasi Timur dan Barat. Akar oksidentalisme dapat dilacak dengan mengetahui relasi peradaban Timur dan Yunani pada masa lalu.

Yunani merupakan bagian dari Barat apabila ditinjau dari segi letak geografis, sejarah, maupun peradaban. Yunani dan Romawi merupakan sumber kesadaran Eropa; sedangkan peradaban Timur diwakili oleh tradisi Islam kuno yang memiliki akar peradaban lain yang lebih tua, yaitu peradaban Timur kuno di Mesir, Kanaan, Suriah, Babilonia, Persia, India, dan Cina.

Hubungan timbal balik antardua peradaban ini dapat dikatakan sebagai sumber kesadaran Eropa (Yunani dan Romawi), yang di dalamnya terkandung nilai Timur. Dengan demikian, sumber Timur dapat disebut sebagai bagian dari oksidentalisme.

Tetapi, oksidentalisme saat itu tidak dimulai dari akarnya. Baru setelah terjadi kebangkitan peradaban Timur yang tumbuh sejak penerjemahan buku Yunani, oksidentalisme lahir secara substansial.

Dari proses tersebut kemudian terjadi dialektika antara tradisi Islam sebagai peradaban Timur yang menjadi subjek pengkaji dan Barat sebagai objek kajian. Hal ini terjadi melalui beberapa fase.

Pertama, fase transferensi. Dalam fase ini, “kata” mendapat prioritas sebagai perwujudan keinginan (kepentingan) untuk memberikan perhatian pada bahasa buku asli, yakni bahasa Yunani.

Kedua, fase tranferensi makna. Dalam fase ini, prioritas diberikan kepada “makna” atau “arti” sebagai manifestasi untuk memberikan perhatian pada bahasa terjemahan, yaitu bahasa Arab.

Ketiga, fase anotasi. Dalam fase ini, tema atau substansi mendapat prioritas. Pengungkapan tema secara langsung dengan sedikit memasukkan redaksi orang lain dan memperhatikan struktur serta mengungkapkan tema dilakukan pada fase ini. Anotasi pertama dilakukan dengan mengutip kata yang bersifat partikular, lalu melanjutkannya dengan membangun pandangan baru atasnya.

Anotasi kedua dilakukan dengan memasukkan konsep yang dikutip secara maknawi, lalu melanjutkannya dengan membuat konsep inovasi baru yang lebih sempurna, komprehensif, dan umum. Anotasi ketiga dilakukan dengan memberikan wacana yang dikutip secara substansial, kemudian mem­buang serta menganalisis substansi temanya, lalu menjadikannya konsep yang setara.

Keempat, fase peringkasan. Pada fase ini dilakukan pengkajian suatu tema dengan terfokus pada inti tema tanpa melakukan perdebatan dan pembuktian. Yang dikerjakan adalah meminimalisasi penyampaian tema tanpa melakukan penambahan atau pengurangan yang dapat mengakibatkan teks menjadi substansi dan kata berubah menjadi tema.

Kelima, fase mengarang dalam lingkup kebudayaan pendatang. Dalam fase ini penyempurnaan dilakukan sehingga kata, makna, dan tema dalam kebudayaan dari luar dapat dihindari.

Keenam, fase mengarang dalam lingkup tema kebudayaan pendatang di samping tema tradisi Timur. Di sinilah potret Timur menemukan kesempurnaannya, dan kebudayaan dari luar menjadi entitas yang terpisah.

Ketujuh, fase melakukan kritik terhadap kebudayaan pendatang dan menjelaskan lokalitas serta keterkaitannya dengan lingkungan. Kerja yang dilakukan adalah mengembalikan kebudayaan pendatang ke batas alaminya dan meletakkan makna kesejarahannya sebagai realitas khas yang tidak mungkin diwariskan kepada seluruh peradaban umat manusia yang plural.

Kedelapan, fase menolak total kebudayaan pendatang karena tidak diperlukan lagi. Untuk selanjutnya, yang dilakukan adalah kembali pada peradaban Timur yang masih mentah tanpa ada keinginan untuk meninggalkannya atau merasionalkannya, dan melakukan interaksi dengan kebudayaan lain.

Jika oksidentalisme telah dibangun dan menjadi arus utama pemikiran peradaban Timur, serta mempunyai andil dalam membentuk peradaban Timur sendiri, maka oksidentalisme akan memperoleh hasil yang menjadi target kajiannya.

Oksidentalisme akan menjadi pembendungan atas kesadaran Eropa dari awal sampai akhir, sejak kelahiran hingga pembentukannya. Kesadaran Eropa tidak lagi menjadi pihak yang berkuasa. Oksidentalisme akan menjadi sarana untuk mempelajari kesadaran Eropa dalam kapasitasnya sebagai sejarah, bukan sebagai kesadaran yang berada di luar sejarah.

Oksidentalisme akan mengembalikan Barat ke batas alamiahnya, mengakhiri perang kebudayaan, menghentikan ekspansi tanpa batas, dan mengembalikan filsafat Eropa ke lingkungannya, sehingga partikularitas Barat akan terlihat.

Pada tataran konseptual, oksidentalisme berusaha memahami Eropa secara holistis, menyangkut sejarah kelahiran dan perkembangannya, serta meletakkan Eropa dalam batas geografis dan demografisnya. Oksidentalisme akan menghapus kebudayaan kosmopolit; menemukan bangsa dengan ciri khasnya di seluruh dunia.

Oksidentalisme menawarkan kesadaran bahwa setiap bangsa memiliki tipe peradaban dan kesadaran tersendiri. Hal itu membuka jalan bagi terciptanya inovasi bangsa non-Eropa dan membebaskannya dari pengaruh Eropa yang menghalangi nuraninya, sehingga bangsa non-Eropa dapat berpikir dengan akal dan kerangka lokalnya sendiri.

Di samping itu, oksidentalisme berusaha menghapuskan rasa rendah diri yang terjadi pada bangsa non-Eropa ketika berhadapan dengan bangsa Eropa, dan memacu mereka menuju tahap inovator setelah sebelumnya hanya berperan sebagai konsumen kebudayaan dan peradaban.

Pada tahap ini dilakukan penulisan ulang sejarah agar semaksimal mungkin dapat mewujudkan persamaan bagi seluruh bangsa di dunia yang sebelumnya menjadi korban perampasan kebudayaan yang dilakukan bangsa Eropa.

Oksidentalisme menjadi tonggak dimulainya filsafat sejarah baru dari Timur, serta ditemukannya siklus peradaban dan hukum evolusi yang lebih komprehensif dan universal dibanding dengan yang ada di lingkungan Eropa.

Secara epistemologis, oksidentalisme berusaha mengakhiri orientalisme, mentransformasi status Timur dari sekadar monumen yang dikaji menjadi manusia yang mengkaji. Lebih dari itu, kajian Timur juga menciptakan oksidentalisme sebagai ilmu pengetahuan yang akurat serta membentuk peneliti yang mempelajari peradabannya dari kacamata sendiri dan mengkaji peradaban lain secara lebih netral, tidak seperti yang dilakukan Barat terhadap peradaban lain.

Pada tahap ini pula dimulai generasi pemikir baru yang dapat disebut filsuf pascagenerasi pelopor di era kebangkitan. Dengan oksidentalisme, manusia akan mengalami era baru yang menampilkan rasialisme sebagai penyakit yang harus dimusnahkan, yang selama ini terpendam dan menjadi borok napas peradaban yang diembuskan bersama kesadaran Eropa.

Oksidentalisme, sebagaimana digagas Hassan Hanafi (pemikir pembaruan Islam dari Mesir) bertujuan mengakhiri mitos Barat sebagai representasi seluruh umat manusia serta sebagai pusat kekuatan dan penentu modernitas, menghapus eurosentrisme, dan menjelaskan bagaimana kesadaran Eropa mengambil posisi tertinggi sampai pada tahap hegemoni di sepanjang sejarah.

Selain itu, oksidentalisme juga mengembalikan kebudayaan Barat ke batas alamiahnya setelah selama kejayaan imperialisme menyebar keluar melalui penguasaan teknologi media informasi, pusat penelitian ilmiah, dan media penakluk lainnya.

Daftar Pustaka

Binder, Leonard, ed. Area Studies: A Critical Reassessment­ in the Study of Middle East. New York: John Wiley and Sons, 1976.
Daniel, Norman. Islam and the West: The Making of an Image. Edinburgh: Edinburgh University Press, 1980.
Hanafi,  Hassan. Min al-Istisyraq ila al-Istigrab. Paris: t.p., 1977.
–––––––. Oksidentalisme, Sikap Kita terhadap Tradisi Barat. Jakarta: Paramadina, 2001.
Said, Edward W. Culture and Imperialism. Vancouver: Vintage Books, 1994.
–––––––. Orientalism: Western Conceptions of the Orient. New York: Vintage Book, 1979.
–––––––. Covering Islam: How the Media and the Experts Determine How We See the Rest of the World. London and Henley: Routledge and Kegan Paul, 1981.

A Bakir Ihsan