Nusyus berarti perubahan sikap suami atau istri terhadap pasangannya. Nusyus suami terhadap istriadalah perubahan sikap suami dari yang lembut dan penuh kasih menjadi kasar; atau ramah dan bermuka manis menjadi tak acuh serta bermuka masam. Meninggalkan kewajiban sebagai istri dan bersikap seperti di atas merupakan bentuk nusyus pihak istri.
Nusyus muncul karena ada suatu persoalan yang terjadi dalam rumahtangga suami istri tersebut. Mungkin salah satu di antara mereka merasa tidak puas dengan sikap dan tingkah laku yang lain, sehingga ganjalan ini menimbulkan perubahan sikap salah seorang di antara keduanya.
Jika sikap nusyus ini muncul dari pihak istri, Allah SWT telah memberikan jalan keluar yang baik dalam firman-Nya yang berarti: “…Wanita-wanita yang kamu khawatiri nusyusnya mereka, maka nasihatilah mereka, dan pisahkanlah diri dari tempat tidur mereka, dan pukullah mereka. Kemudian jika mereka telah menaatimu, maka janganlah kamu mencari-cari jalan untuk menyusahkannya…” (QS.4:34).
Jadi, dalam menghadapi sikap istri yang nusyus tersebut, ada tiga langkah yang dianjurkan Allah SWT bagi setiap suami, yaitu:
(1) memberi nasihat bagi mereka semaksimal mungkin, dengan mengingatkan kewajiban yang harus dipenuhi seorang istri;
(2) jika setelah dinasihati istri tidak berubah sikapnya, Allah SWT mengizinkan untuk memukul mereka sekadar memberi peringatan, yang sifatnya tidak melukai; dan
(3) kalau sikap istri belum berubah maka dicoba menginsafkannya dengan memisahkan tempat tidurnya. Apabila pada langkah awal telah terjadi perubahan, sang suami tidak dibenarkan untuk sewenang-wenang dengan melakukan sesuatu yang menyusahkan atau menyakiti istri.
Lanjutan ayat ini menyatakan bahwa jika perselisihan antara suami istri tidak dapat diselesaikan berdua, diperlukan juru penengah yang diminta dari pihak keluarga suami dan pihak keluarga istri, yang dikenal dengan istilah hakam (juru damai).
Selanjutnya, jika nusyus ini muncul dari suami, Allah SWT juga sangat menganjurkan agar kedua belah pihak berdamai. Nusyus yang diperlihatkan oleh suami terhadap istrinya ini diibaratkan oleh Muhammad Ali as-Sayis, seorang sahabat, sebagai sikap acuh tak acuh saja terhadap istrinya dan tidak mengajaknya berunding lagi dalam persoalan rumahtangga.
Ini bisa disebabkan oleh perubahan fisik dan mental seorang istri, yang kurang memperhatikan kerapian dan kecantikannya lagi, sehingga gairah suaminya sudah hilang pada dirinya. Dalam beberapa riwayat diceritakan tentang apa yang terjadi antara Nabi Muhammad SAW dan istrinya, Saudah binti Zam’ah.
Saudah melihat sikap Nabi SAW berubah terhadap dirinya. Saudah adalah istri Nabi SAW yang sudah cukup berumur dan tidak secantik istri Nabi SAW lainnya. Dalam riwayat tersebut diceritakan bahwa ia khawatir sekali diceraikan Nabi SAW, lalu ia mengatakan, “Jangan engkau talak saya, biarlah hari-hari saya untuk Aisyah saja” (HR. at-Tirmizi, Abu Dawud, dan Imam Ahmad dari Aisyah binti Abu Bakar as-Siddiq).
Kemudian dalam sebuah cerita lainnya yang diriwayatkan Imam Syafi‘i dari Ibnu Musayyab dikatakan bahwa anak perempuan Muhammad bin Musailimah menikah dengan Rafi’ bin Khudaij, namun ada sesuatu yang tidak disenangi Rafi’ terhadap istrinya ini, sehingga ia ingin menceraikannya.
Lalu istrinya berkata, “Jangan ceraikan saya. Silakan kawin dengan perempuan lain, engkau tak usah memberi nafkah dan pembagian hari pada saya.” Lalu turunlah surah an-Nisa’ (4) ayat 128 yang berarti:
“Dan jika seorang wanita khawatir akan nusyus atau sikap tidak acuh dari suaminya, maka tidak mengapa bagi keduanya mengadakan perdamaian yang sebenar-benarnya dan perdamaian itu lebih baik (bagi mereka) walaupun manusia itu pada tabiatnya kikir.
Dan jika kamu menggauli istrimu dengan baik dan memelihara dirimu (dari nusyus dan sikap tak acuh), maka sesungguhnya Allah adalah Maha Mengetahui apa yang kamu kerjakan.”
Berdamai secara benar oleh mufasir (juru tafsir) diartikan sebagai kesediaan istri untuk melepaskan beberapa haknya yang diterimanya secara penuh, asal suaminya mau berbaik kembali, sehingga sikap nusyus suami tidak terjadi lagi.
Kelihatannya ada perbedaan cara penyelesaian yang diberikan Al-Qur’an terhadap nusyus yang dilakukan oleh suami dan istri. Jika nusyus itu muncul dari pihak istri, mereka bisa dinasihati, dipukul (dengan pukulan yang tak melukai), dan bahkan diuji dengan pemisahan tempat tidur.
Jika nusyus itu muncul dari pihak suami, ada kecenderungan penyelesaiannya dengan toleransi istri dalam melepaskan beberapa hak yang semestinya diterimanya.
Dalam menyelesaikan perbedaan ini, para mufasir melihat bahwa sebenarnya kemaslahatan rumahtangga secara umum lebih ditentukan oleh suami. Oleh karena itu prioritas lebih ditekankan pada suami.
Memang kadang-kadang ada suami yang lemah, sehingga istrinya lebih pandai dalam mengatur rumahtangga. Karena suami lebih bertanggung jawab dalam ketentraman dan kesejahteraan rumahtangga, dan memang suamilah yang menjadi pemimpin rumah tangga (QS.4:34),
nusyus yang muncul dari suami dianggap sebagai suatu keterpaksaan. Artinya, sikap nusyus yang muncul dari pihak suami sudah merupakan puncak dari keadaan istri yang dianggapnya tidak dapat membahagiakan rumahtangga itu lagi.