Nusyus

(Ar.: an-nusyuz)

(Arab: an-nusyūz)

Nusyus secara etimologis berasal dari kata nashaʿa, yang berarti “meninggi”, “membangkang”, atau “melampaui batas.” Dalam terminologi hukum Islam klasik, istilah ini digunakan untuk merujuk pada ketidakharmonisan dalam hubungan suami istri, yaitu salah satu pihak—terutama istri dalam pemahaman tradisional—melanggar norma atau kewajiban pernikahan. Dalam reintrepretasi modern, penafsiran terhadap ayat dan hadis nusyus dibuat seimbang dan adil terhadap gender.

 

Dalam literatur fikih klasik, nusyus umumnya dikaitkan dengan istri yang dianggap tidak taat kepada suaminya. Prilaku serupa yang dilakukan oleh laki-laki cenderung dianggap bukan pelanggaran berat, bahkan cukup diselesaikan dengan komunikasi. Hal itu menempatkan perempuan sebagai pihak yang dirugikan. Terkait nusyus yang dilakukan oleh pihak istri, Al-Quran menyebutkan hal ini dalam Surah an-Nisā’ ayat 34:

“Wanita-wanita yang kamu khawatiri nusyusnya, maka nasihatilah mereka, pisahkanlah mereka di tempat tidur mereka, dan pukullah mereka. Tetapi jika mereka menaatimu, maka janganlah kamu mencari-cari jalan untuk menyusahkan mereka.” (QS. an-Nisā’: 34)

Tafsiran tradisional terhadap ayat ini, seperti dijelaskan oleh Fakhruddin ar-Razi dalam Mafātīḥ al-Ghaib, menyusun tiga langkah penanganan nusyus istri: memberikan nasihat, memisahkan tempat tidur, dan memukul dengan ringan (yang tidak melukai). Muhammad bin Ali asy-Syaukani dalam Fath al-Qadīr juga mengafirmasi struktur ini sebagai bentuk penegakan hak suami atas istrinya.

Namun, penting dicatat bahwa pendekatan ini muncul dari kerangka sosial masyarakat Arab pra-modern yang sangat patriarkal. Konsep kepemimpinan suami (qawwamah) dalam rumah tangga sering dijadikan landasan untuk melegitimasi otoritas penuh laki-laki atas perempuan (QS. an-Nisā’: 34), dengan perempuan diposisikan sebagai pihak yang tunduk dalam struktur relasi.

Dalam pandangan masyarakat Arab waktu itu, relasi semacam ini dianggap normal dan sudah menghargai perempuan. Karena di masa jahiliyah atau sebelum era Islam, perempuan yang diduga nusyus akan mendapatkan perlakuan yang lebih keras, seperti dimaki-maki dengan bahasa yang sangat kasar, diusir dari rumah, bahkan dipukul dengan keras dan tidak manusiawi.

 

Ketimpangan dalam Penanganan Nusyus

Relasi yang dianggap timpang itu kemudian melahirkan hukum yang juga tidak adil terhadap gender. Quran dan hukum Islam yang lahir waktu itu sebenarnya terlihat berupaya untuk menggeser kebiadaban jahiliyah agar bergerak menjadi lebih menusiawi. Perempuan yang melakukan nusyus, meskipun belum benar-benar setara, diupayakan agar tidak terlalu dirugikan.

Meskipun demikian, dalam pandangan modern, ketimpangan yang diterima antara laki-laki dan perempuan dalam hal nusyus ini tidak bisa diterima lagi. Laki-laki yang melakukan nusyus cenderung terlihat superior, bahkan mendapatkan akibat yang lebih ringan. Hal itu sebagaimana disebut dalam QS. an-Nisā’: 128—Al-Quran justru menawarkan pendekatan kompromistis:

“Dan jika seorang wanita khawatir akan nusyus atau sikap tidak acuh dari suaminya, maka tidak mengapa bagi keduanya mengadakan perdamaian yang sebenar-benarnya; dan perdamaian itu lebih baik meskipun manusia pada dasarnya kikir.” (QS. an-Nisā’: 128)

Muhammad Ali as-Sayis menjelaskan bahwa bentuk nusyus dari suami bisa berupa sikap acuh, tidak memperhatikan istri, atau tidak lagi menjalankan tanggung jawab emosional dan material. Dalam banyak riwayat, seperti kisah Saudah binti Zam’ah yang khawatir diceraikan oleh Nabi Muhammad SAW, terlihat bagaimana perempuan harus bersedia mengorbankan haknya agar tetap dalam ikatan pernikahan (HR. at-Tirmidzi, Abu Dawud, dan Ahmad).

Kisah serupa muncul dalam riwayat Imam Syafi‘i dari Ibnu Musayyab, ketika istri Rafi’ bin Khudaij menyarankan suaminya untuk tetap menikah dengan perempuan lain tanpa memberikan hak nafkah dan giliran, demi tidak diceraikan.

Pendekatan hukum semacam ini lahir dari kondisi sosial yang belum menganggap perempuan setara dengan laki-laki. Meskipun saat itu hukum tersebut sudah dianggap progresif, tapi tidak sesuai lagi dengan kondisi sosial masyarakat modern saat ini. Pandangan hukum yang patriarkis semacam inilah yang membuat Islam dianggap terbelakang dan kaku.

 

Kritik dan Reinterpretasi Kontemporer

Ketimpangan antara penanganan nusyus istri dan suami menunjukkan bias gender yang kuat dalam penafsiran klasik. Dalam masyarakat Arab abad ke-7, otoritas keluarga sepenuhnya bersifat maskulin. Perempuan tidak memiliki ruang yang cukup dalam menentukan arah relasi rumah tangga. Dalam kelompok konservatif, pandangan ini masih dilanggengkan sampai saat ini, karena dianggap sebagai hukum yang wajib dijalankan. Di dalamnya termasuk membenarkan pemukulan terhadap istri yang nusyus, meskipun dengan niat tidak melukai.

Tokoh-tokoh seperti Amina Wadud, Fatima Mernissi, Khaled Abou El Fadl, dan Asma Barlas menolak pendekatan tekstual yang menjadikan perempuan sebagai pihak pasif yang harus tunduk dan rela mengalah. Dalam Qur’an and Woman (1999), Wadud menunjukkan bahwa kata daraba dalam QS. an-Nisā’: 34 tidak harus diartikan sebagai “memukul”, tetapi bisa berarti “meninggalkan” atau “berpisah sementara”, makna yang lebih sesuai dengan prinsip rahmah dan keadilan Islam.

Barlas dalam “Believing Women” in Islam (2002) menyatakan bahwa dominasi patriarki dalam tafsir bukan berasal dari teks Al-Quran itu sendiri, melainkan dari penafsiran bias yang mencerminkan struktur sosial zaman dahulu. Abou El Fadl dalam Speaking in God’s Name (2001) juga memperingatkan bahaya otoritarianisme dalam fikih yang menyalahgunakan “otoritas keagamaan” untuk membungkam perempuan.

Sementara itu, organisasi Islam progresif seperti Musawah, Majelis Ulama Maroko, dan The Fiqh Council of North America telah menyatakan bahwa kekerasan domestik, meskipun dalam bentuk simbolik, bertentangan dengan ajaran Islam. Dalam kerangka hak asasi manusia modern, bahkan tindakan “memukul tanpa melukai” (seperti yang dimaksud ayat itu) tetap merupakan pelanggaran terhadap prinsip kesetaraan dan keadilan.

 

Transformasi Konsep Nusyus

Dalam memahami nusyus ada satu konsep bernama qawwamah yang secara tradisional dipahami sebagai superioritas laki-laki dalam rumah tangga. Konsep tersebut saat ini juga telah dikaji ulang. Abdullahi Ahmed An-Na’im dalam Islam and the Secular State (2008) menyebut bahwa qawwamah bersifat kontekstual dan historis, dan pada masa kini harus direinterpretasi sebagai bentuk kemitraan yang setara, bukan dominasi sepihak.

Dalam pandangan kontemporer, sikap nusyus (baik dari suami maupun istri) seharusnya ditangani melalui prinsip mu‘āsyarah bil ma‘rūf (hidup bersama secara baik) dan bukan melalui pendekatan koersif atau pengorbanan sepihak. Ketika seorang istri diminta “mengalah” agar suami berubah, hal itu mencerminkan konstruksi hukum keluarga tradisional yang berat sebelah.

Pemikir seperti Syafiq Hasyim, dalam Understanding Women in Islam (2006), menegaskan pentingnya ijtihad baru yang merefleksikan realitas modern, yaitu perempuan berperan aktif secara sosial, ekonomi, dan politik. Maka, konflik dalam rumah tangga harus diselesaikan melalui musyawarah dan keadilan timbal balik, bukan semata didasarkan pada otoritas suami.

Syafiq bahkan dengan berani mengatakan, pandangan progresif ulama Indonesia terhadap perempuan, khususnya soal nusyus, itu akan ditolak oleh beberapa sarjana Timur Tengah. Hal itu terjadi karena mereka menganggap pihak mereka lebih berwenang dalam merumuskan hukum Islam.

Reinterpretasi terhadap hukum nusyus bukanlah bentuk dekonstruksi terhadap syariat, tetapi merupakan kelanjutan dari tradisi ijtihad yang hidup dalam sejarah Islam. Sebagaimana ditegaskan oleh Asghar Ali Engineer dalam Rights of Women in Islam (2004), banyak ketentuan hukum bersifat kontekstual dan terbuka untuk pembaruan.

Dalam kerangka maqāṣid as-syarī‘ah (tujuan utama syariat), nusyus perlu dipahami sebagai gejala ketidakseimbangan relasi yang harus ditangani melalui pendekatan restorative, yakni dengan memperbaiki komunikasi, merekonstruksi struktur kekuasaan, dan menjamin perlindungan hak-hak kedua belah pihak. Rumah tangga ideal dalam Islam dibangun atas dasar kasih sayang (rahmah), saling menolong (ta‘āwun), dan keadilan.

 

Nusyus Orang Tua terhadap Anak

Dalam perkembangan pemikiran Islam kontemporer, terjadi pergeseran penting dalam memahami konsep nusyus, yang semula dibatasi pada pembangkangan istri terhadap suami. Saat ini, seiring dengan perubahan peran dan tanggung jawab dalam keluarga, khususnya terkait pengasuhan dan pemberian nafkah kepada anak, muncul wacana baru: nusyus tidak hanya dilakukan oleh pasangan, tetapi juga dapat terjadi dalam relasi orang tua terhadap anak.

Di masa lalu, tanggung jawab nafkah dan pengasuhan umumnya dipikul oleh laki-laki, sedangkan perempuan diposisikan sebagai penerima dan pelaksana. Namun kini, ketika pengasuhan dan pemberian nafkah menjadi tanggung jawab bersama antara suami dan istri, maka pengabaian terhadap anak, baik secara materi maupun emosional, tidak lagi dilihat sebagai sekadar kelalaian, melainkan sebagai bentuk nusyus yang dilakukan oleh orang tua.

Wacana ini menunjukkan bahwa makna nusyus mulai melebar dari batasan tradisionalnya. Tidak lagi semata soal pembangkangan perempuan, tetapi sebagai segala bentuk pelanggaran terhadap relasi tanggung jawab dalam keluarga, termasuk ketika orang tua gagal memenuhi hak-hak dasar anaknya.

Dengan demikian, reinterpretasi ini tidak hanya memberi perlindungan lebih besar kepada anak, tetapi juga menantang cara pandang lama yang terlalu menyederhanakan relasi kuasa dalam keluarga. Islam yang berkeadilan justru mengajak semua pihak dalam keluarga, baik suami maupun istri, untuk bertanggung jawab secara seimbang dan saling menjaga hak satu sama lain. Siapapun yang mengabaikan tanggung jawab itu bisa disebut telah melakukan nusyus dalam pemahaman kontemporer.

 

Daftar Pustaka

Abou El Fadl, Khaled. Speaking in God’s Name: Islamic Law, Authority and Women. Oxford: Oneworld Publications, 2001.
An-Na’im, Abdullahi Ahmed. Islam and the Secular State: Negotiating the Future of Shari’a. Cambridge, MA: Harvard University Press, 2008.
ar-Razi, Fakhruddin. Mafatih al-Gaib. Beirut: Dar al-Fikr, 1990.
as-Sayis, Muhammad Ali. Tafsir Ayat al-Ahkam. Cairo: Dar al-Fikr al-‘Arabi, t.t.
asy-Syaukani, Muhammad bin Ali bin Muhammad. Fath al-Qadir. Beirut: Dar al-Fikr, t.t.
__________. Nail al-Authar. Cairo: Idarah at-Taba‘ah al-Muniriyah, t.t.
az-Zamakhsyari. al-Kasysyaf ‘an Haqa’iq at-Tanzil wa ‘Uyun al-Aqawil fi Wujuh at-Ta’wil. Beirut: Dar al-Fikr, 1977.
az-Zuhaili, Wahbah. al-Fiqh al-Islami wa Adillatuh. Beirut: Dar al-Fikr, 1989.
Barlas, Asma. “Believing Women” in Islam: Unreading Patriarchal Interpretations of the Qur’an. Austin: University of Texas Press, 2002.
Engineer, Asghar Ali. Rights of Women in Islam. New Delhi: Sterling Publishers, 2004.
Hasyim, Syafiq. Understanding Women in Islam: An Indonesian Perspective. Jakarta: ICIP (International Center for Islam and Pluralism), 2006.
Ibnu Nujaim. al-Asybah wa an-Naza’ir. Cairo: al-Babi al-Halabi, 1967.
Ibnu Qudamah. al-Mugni. Cairo: al-Manar, t.t.
Ibnu Rusyd. Bidayah al-Mujtahid wa Nihayah al-Muqtasid. Cairo: Syarikah Maktabah wa Matba‘ah Mustafa al-Babi al-Halabi wa Auladuh, 1401 H / 1981 M.
Ismail, Muhammad bin. Subul al-Salam. Cairo: Idarah at-Taba‘ah al-Muniriyah, t.t.
al-Jaziri, Abdurrahman. Kitab al-Fiqh ‘Ala al-Madzhib al-Arba‘ah. Beirut: Dar al-Fikr, 1986.
Kamali, Mohammad Hashim. Shari’ah Law: An Introduction. Oxford: Oneworld Publications, 2008.
Mernissi, Fatima. The Veil and the Male Elite: A Feminist Interpretation of Women’s Rights in Islam. Reading, MA: Addison-Wesley, 1991.
Musawah (Global Movement for Equality and Justice in the Muslim Family). Home Truths: A Global Report on Equality in the Muslim Family. Kuala Lumpur: Musawah Secretariat, 2009.
Nasaruddin Umar. Argumen Kesetaraan Gender Perspektif Al-Qur’an. Jakarta: Paramadina, 1999.
Quraishi, Asifa. “Interpreting the Qur’an and Women’s Human Rights: Challenges in the Muslim World.” In Human Rights in the Muslim World, edited by Mashood A. Baderin. London: Routledge, 2003.
Sabiq, Sayid. Fiqh as-Sunnah. Kuwait: Dar al-Bayan, 1967.
Sachedina, Abdulaziz. Islam and the Challenge of Human Rights. New York: Oxford University Press, 2009.
Syahrur, Muhammad. Al-Kitab wa al-Qur’an: Qira’ah Mu‘asirah (The Book and the Qur’an: A Contemporary Reading). Beirut: al-Ahali, 1990.
Wadud, Amina. Qur’an and Woman: Rereading the Sacred Text from a Woman’s Perspective. New York: Oxford University Press, 1999.