Cendekiawan muslim Indonesia ini, yang akrab dipanggil dengan nama “Cak Nur”, dikenal dengan gagasannya tentang pembaruan pemikiran Islam. Ia lahir dari kalangan keluarga pesantren. Ayahnya, Haji Abdul Madjid, adalah seorang guru Madrasah Wathaniyah di Jombang, Jawa Timur.
Nurcholish Madjid memperoleh pendidikan awalnya dari sekolah rakyat (pagi) dan madrasah ibtidaiyah (sore) di daerah kelahirannya. Kemudian ia melanjutkan ke Pesantren Darul Ulum Rejoso, Jombang, selama 2 tahun.
Salah satu gurunya adalah KH Hasyim Asy’ari. Kemudian ia meneruskan pendidikan ke Kulliyatul Mu‘allimin al-Islamiyyah (KMI) di Pesantren Darussalam, Pondok Modern Gontor, Ponorogo, Jawa Timur, sampai tamat 1960.
Ia mengajar selama setahun lebih di pesantren itu. Pendidikan tinggi diperolehnya dari Fakultas Adab (Sastra Arab dan Kebudayaan Islam), Jurusan Bahasa dan Sastra Arab, IAIN (kini UIN) Syarif Hidayatullah, Jakarta, sampai menyandang gelar sarjana (1968).
Sejak Maret 1978, ia menperoleh kesempatan mengikuti studi lanjutan (tugas belajar) di Universitas Chicago, Amerika Serikat. Di sana ia dibimbing Fazlur Rahman (pemikir muslim dari Pakistan; 1919–1988), dan meraih gelar doktor dalam bidang kalam dan filsafat dengan predikat cumlaude (Maret 1984). Disertasinya berbicara mengenai pemahaman Ibnu Taimiyah tentang hubungan akal dengan wahyu.
Selama menjadi mahasiswa IAIN, Nurcholish aktif dalam organisasi kemahasiswaan Himpunan Mahasiswa Islam (HMI). Ia pernah menjadi ketua umum Pengurus Besar HMI untuk dua periode, 1966–1969 dan 1969–1971.
Karena dianggap sebagai tokoh HMI yang konsisten dalam memperjuangkan ide kebangsaan, khususnya menempatkan Islam dalam pluralisme Indonesia, maka dalam acara Dies Natalis ke-52 HMI pada bulan Februari 1999 Cak Nur dianugerahi HMI Award.
Selain dalam HMI, Nurcholish juga pernah memegang jabatan penting dalam organisasi mahasiswa lain, antara lain presiden ke-1 Persatuan Mahasiswa Islam Asia Tenggara (Pemiat), 1967–1969; dan asisten sekretaris jenderal IIFSO (International Islamic Federation of Students Organizations/Federasi Organisasi Mahasiswa Islam Internasional), 1969–1971.
Nurcholish pernah menjadi dosen di IAIN (sejak 1972), lalu menjadi dosen pascasarjana di kampus yang sama (sejak 1985). Pada 1998 ia dikukuhkan sebagai guru besar IAIN Syarif Hidayatullah, Jakarta.
Di luar negeri ia juga sempat menjadi guru besar tamu di Institute of Islamic Studies, McGill University, Montreal, Canada (1991–1992). Cak Nur juga pernah menjadi pemimpin umum majalah Mimbar, Jakarta (1971–1974).
Bersama teman-temannya, ia mendirikan dan memimpin LSIK (Lembaga Studi Ilmu-Ilmu Kemasyarakatan, 1972–1976) dan LKIS (Lembaga Kebajikan Islam Samanhudi, 1974–1977).
Sebelum dan setelah pulang dari Amerika Serikat, ia bekerja di LIPI sebagai anggota staf peneliti (sejak 1978). Pada 1999 ia diangkat sebagai ahli peneliti utama (APU) LIPI, Jakarta.
Nurcholish bersama beberapa pemikir muslim modernis pada 1986 mendirikan Yayasan Wakaf Paramadina, yang aktif dalam kajian keislaman. Sejak didirikan hingga sekarang, yayasan tersebut diketuai oleh Cak Nur. Bagi Cak Nur, Paramadina merupakan media untuk membangun suatu tatanan “masyarakat madani” yang mengacu ke masyarakat Madinah yang dibangun oleh Nabi SAW.
Pada 1996 Yayasan Paramadina, yang semula hanya merupakan lembaga dakwah atau kelompok pengajian, kemudian juga berkembang di bidang pendidikan dengan didirikannya Universitas Paramadina pada 1998. Nurcholish diangkat sebagai rektornya sejak 10 Januari 1998.
Sejak 1990-an, Nurcholish menduduki jabatan penting, antara lain anggota Dewan Penasihat Ikatan Cendekiawan Muslim se-Indonesia (ICMI), anggota Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM), anggota MPR RI, anggota Dewan Penasihat Komite Independen Pemantau Pemilu (KIPP), dan anggota Tim 11 yang menyeleksi partai yang berhak ikut Pemilu 1999.
Nurcholish terkenal dengan gagasannya tentang pembaruan pemikiran Islam. Menurutnya, Islam harus dilibatkan dalam pergulatan modernistik yang didasarkan atas kekayaan khazanah pemikiran keislaman tradisional yang mapan, sekaligus diletakkan dalam konteks keindonesiaan.
Nurcholish Madjid pertama kali menyampaikan ide pembaruannya secara formal pada 2 Januari 1970 di Jakarta dalam acara halalbihalal di depan keluarga HMI, GPI (Gerakan Pemuda Islam), PII (Pelajar Islam Indonesia), dan Persami (Persatuan Sarjana Muslim Indonesia), dengan judul “Keharusan Pembaruan Pemikiran Islam dan Masalah Integrasi Umat”.
Bahasannya mencakup “Islam Yes, Partai Islam No”; Kuantitas versus Kualitas; Liberalisasi Pandangan terhadap “Ajaran Islam” Sekarang (Sekularisasi, Kebebasan Berpikir, Idea of Progress, dan Sikap Terbuka); dan Perlunya Kelompok Pembaruan “Liberal”.
Makalah tersebut kemudian dilengkapi wawancara dengan harian Kompas (1 April 1970), yang bahasannya mencakup: Beragama secara Konvensional, Sekularisasi dan Sekularisme, dan Beberapa “Asuhan” dari Agama (Al-Qur’an).
Pada 5 Februari 1970 ia menyampaikan pidato pada acara HUT ke-3 HMI di Jakarta, dengan judul “Menuju Pembaruan Pemikiran dalam Islam”. Nurcholish Madjid juga pernah memberi kuliah di Pusat Kesenian Jakarta, 30 Oktober 1972, dengan judul “Menyegarkan Paham Keagamaan di Kalangan Umat Islam Indonesia”, yang dimuat dalam Pos Bangsa, Tribun, dan Panji Masyarakat.
Gagasannya tersebut mengundang pro dan kontra, sehingga pada 1970-an ia disebut sebagai tokoh kontroversial. Ada pula yang menyebutnya “Natsir Muda”, sebutan yang dihubungkan dengan nama salah seorang tokoh Partai Masyumi yang berpandangan modern, Mohammad Natsir.
Pada 21 Oktober 1992 Nurcholish Madjid memberi ceramah umum yang berjudul “Beberapa Renungan tentang Kehidupan Keagamaan di Indonesia untuk Generasi Mendatang”.
Ceramah ini merupakan refleksi dan sekaligus peringatan perjalanan pemikiran pembaruan yang dikemukakan Nurcholish 20 tahun sebelumnya (30 Oktober 1972) di tempat yang sama. Selain aktif berbicara di negeri sendiri, ia juga sering menjadi pembicara di forum-forum yang bertaraf internasional.
Nurcholish adalah penulis yang produktif. Tulisannya tersebar mulai dari artikel, makalah, hingga buku. Banyak artikel dan makalahnya diterbitkan oleh berbagai surat kabar dan majalah, seperti Tempo, Panji Masyarakat, Kompas, dan Pelita.
Ia memberi kata pengantar dalam beberapa buku atau artikel berbahasa Inggris pada berbagai buku suntingan, antara lain: “The Issue of Modernization among Muslims in Indonesia: A Participant’s Point of View” dalam buku yang disunting oleh Gloria Davies, What is Modern Indonesia Culture? (Athens, Ohio: University of Ohio Southeast Asia Studies, 1979); “Islam in Indonesia: Challenges and Opportunities” dalam buku yang disunting oleh Cyriac K. Pullapilly, Islam in the Contemporary World (Notre Dame, Indiana: Crossroads Books, 1980).
Nurcholish Madjid menuangkan gagasan dan pemikiran pembaruan Islam melalui buku, media massa, dan forum ilmiah. Pemikirannya memunculkan pandangan kontroversi di tengah-tengah masyarakat.
Menurut Nurcholish, silang pendapat dan perbedaan pandangan diciptakan Allah SWT sebagai rahmat bagi umat manusia yang harus dikembangkan. Pengakuan terhadap adanya perbedaan berarti pengakuan adanya kemutlakan yang hanya berasal dari Allah SWT yang berarti juga tunduk dan pasrah kepada Tuhan (Islam).
Nurcholish Madjid, misalnya, mengemukakan gagasannya tentang sekularisasi. Ia mengakui, secara etimologis, istilah sekularisasi belum mantap. Sekularisasi yang ia maksudkan adalah suatu bentuk proses pembebasan diri dan umat dari cara pendekatan dan penyelesaian yang salah kaprah terhadap problem, khususnya di bidang sosial politik.
Sekularisasi adalah proses pembebasan untuk menduniawikan nilai yang bersifat duniawi, dan melepaskan umat Islam dari kecenderungan mengukhrawikan (mengakhiratkan)-nya.
Sekularisasi juga berarti desakralisasi. Dengan tegas ia membedakan antara sekularisasi dan sekularisme. Sekularisasi merupakan suatu ideologi yang berkaitan dengan pemisahan antara urusan agama dan politik.
Menurut Rektor Universitas Paramadina, Jakarta, sekularisasi ini merupakan kesalahkaprahan pendekatan dan penyelesaian itu terjadi karena ketidaktepatan memahami prinsip umat Islam dan kegagalan menangkap pesan zaman dan tuntutan ruang, contohnya introduksi huruf Latin dan ilmu pengetahuan umum dalam lembaga pendidikan Islam.
Selain itu salah satu maksud sekularisasi adalah membumikan ajaran agama sehingga relevan dengan kehidupan nyata, contohnya Nurcholish mengemukakan pemikirannya, yang dikenal dengan “Islam yes, partai Islam no!”
Nurcholish juga mengemukakan pemikirannya tentang “Negara Islam”. Dalam surat politiknya kepada Mohamad Roem, tokoh partai politik Masyumi, ia mengemukakan pemikirannya tentang “Negara Islam”.
Nurcholish sependapat dengan Roem, bahwa “tidak ada yang namanya negara Islam”. Kitab suci Al-Qur’an dan Sunnah Nabi Muhammad SAW tidak pernah menyebut secara eksplisit adanya perintah kepada umat Islam untuk mendirikan “Negara Islam” suatu istilah yang dikemukakan banyak orang zaman mutakhir ini.
Bagi Nurcholish, “Negara Islam” itu eksklusif (tidak inklusif). Munculnya gagasan “Negara Islam” atau “Islam sebagai negara” selama ini berasal dari sikap apologetis kalangan umat Islam.
Pemikiran Nurcholish lainnya tentang oposisi. Menurut Nurcholish, secara harfiah oposisi (to oppose) memang berarti “menentang”. Dalam oposisi sebenarnya juga terkandung unsur mendukung (to support), sehingga dalam konteks politik, oposisi sebetulnya lebih merupakan suatu kekuatan pemantau atau pengawas dan pengimbang atau penyeimbang (check and balance).
Nurcholish mengajukan gagasan tentang oposisi loyal, yaitu beroposisi kepada pemerintah, tapi loyal kepada negara dan cita-cita bersama.
Oposisi adalah temuan dan wujud modern dari ide demokrasi. Oposisi tercipta dari sistem demokrasi, yang di dalam dirinya terkandung mekanisme untuk mampu mengoreksi dan meluruskan dirinya sendiri, serta mendorong pertumbuhan dan perkembangannya ke arah yang lebih baik.
Dengan tegas Nurcholish membedakan antara oposisi dan oposisionalisme. Dalam diri oposisi terkandung nilai positif yang bisa mengarah dan mendatangkan kebaikan. Dalam oposisionalisme terdapat nilai negatif, sehingga bisa menimbulkan kekacauan dan kerusakan di dalam suatu masyarakat.
Hal itu disebabkan oposisionalisme adalah menentang sekadar menentang dan sangat subjektif, bahkan mungkin itikadnya kurang baik.
Selain aktif mengemukakan berbagai pemikiran pembaruan Islam yang kontroversial, Nurcholish juga membuat kejutan bagi kalangan politisi. Pada 1999, Cak Nur pernah diajukan sebagai calon presiden, tetapi ia menolak karena menyadari dirinya tidak pernah berkiprah dalam dunia partai politik.
Menjelang pemilihan umum (pemilu) 2004, ia bersedia dicalonkan menjadi presiden RI. Ketika mengungkapkan kesediaannya itu, Nurcholish mengajukan platform politiknya berjudul “Membangun Kembali Indonesia” yang berisi 10 butir sikap politik, antara lain ia menginginkan pemerintahan bersih, penegakan supremasi hukum, adanya rekonsiliasi nasional, terwujudnya reformasi ekonomi, penguatan pranata demokrasi, peningkatan ketahanan dan keamanan nasional, keutuhan wilayah, peningkatan mutu pendidikan, penegakan keadilan sosial, dan aktif dalam perdamaian dunia.
Langkah politik Nurcholish semakin mengejutkan, karena ia ternyata memilih Partai Golkar sebagai kendaraan untuk pencalonan dirinya sebagai presiden. Nurcholish bersedia ikut proses konvensi yang diadakan Golkar dan juga kembali mengejutkan, karena ternyata Nurcholish mengundurkan diri dari konvensi Partai Golkar.